-Lima puluh tiga-
Aku terbangun, melihat kasur di sampingku kosong. Lalu, kudengar suara Antony sedang mengobrol, tapi aku tak mengerti karena dia pakai bahasa lain.
Tak lama, Antony memasuki ruangan ini. Ia tersenyum melihatku sudah bangun, lalu mengatakan sesuatu pada ponselnya, dan ia mematikan panggilan itu.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Siang ini aku harus balik ke Norway, aku ninggalin rapat penting 2 hari. Kamu ikut ya?"
"Tapi..."
"Tapi apa? Kamu udah setuju loh kita balikan."
"Yaudah, iya!" Aku sudah benar-benar malas berdebat, karena... buat apa? Ya kan?
"Gitu dong, sayang!" Ia mendekat, naik ke kasur hanya untuk mencium keningku.
"Barang-barang kamu di mana?"
"Di hotel lah,"
"Yaudah, kamu pake baju aku dulu aja, terus kita ke hotel tempat kamu nginep, ambil barang kamu, baru kita ke Norway, oke?"
Aku mengangguk.
"Gosh! Jalanin hidup ini asik ya kalau berdua gini." Katanya membuatku tersenyum.
***
Kami berdua gak ada yang mandi. Cuaca terlalu dingin untuk mandi. Jadi ya kami bersihin diri gitu aja.
Aku gak masuk ke kamar hotel, tapi cuma sampai resepsionis karena sadar kalau aku book hotel ya cuma buat dua hari, jadi aku sudah melewati batas nginepku.
Antony yang membantuku bicara, dia tahu aku males ngurus ginian, akhirnya ketemu lah barang-barangku, dan aku kena denda sekian euro, iyaps, euro, bukan mata uang sini. Sialan emang!
"Dah, yang penting kelar." Kata Antony, aku hanya mengangguk.
Sumpah sih, aku beneran gak tahu harus melanjutkan hidupku seperti apa, karena aku gak punya rencana melanjutkan hidup..
Sekarang, bersama Antony, aku tahu aku gak akan bisa lari dari dia untuk menjalankan rencanaku, jadi ya... aku cuma bisa nurut aja sama dia.
Setelah barang-barangku kembali, kami balik lagi ke hotel tempat Antony menginap. Dan, aku baru memperhatikan, kalau pemandangan di sini, walau cuma di pinggir jalan tapi bagus banget, sumpah.
"Kenapa kamu?"
"Ini negara cantik banget ya? Kalau Bandung diciptakan pas Tuhan lagi senyum, kayaknya Tuhan lagi jatuh cinta deh pas ciptain Iceland." Kataku, Antony tersenyum di sampingku.
"Nanti kita balik lagi ke sini ya pas rapat aku kelar, aku ajak kamu jalan-jalan, ke Glacier Lagoon, ke Diamond Beach, semua deh, oke?"
Aku menatap Antony, tersenyum sambil mengangguk.
Mendadak hatiku tenang, kaya gak ada lagi rasa sakit yang tertinggal di sana. Adanya Antony di sini, seolah sebagai penyembuh semua rasa sakit yang selama ini kurasakan.
"Makasi, ya." Kataku pelan.
"Buat apa?"
"Buat dateng ke sini,"
Antony menatapku heran, tapi akhirnya ia mengangguk.
"Aku yang makasi, kamu udah kasih aku kesempatan kedua, aku janji gak akan sia-siakan ini semua." Ucapnya lembut.
Kami sampai di hotelnya Antony, ia menyusun ulang barang bawaan kami. Karena koperku termasuk besar dan bawaanku gak banyak (ya, aku sengaja bawa koper besar biar Gina percaya aku mau liburan keliling Eropa, tapi isinya ya sedikit karena aku tahu, aku gak butuh barang-barangku, karena aku tahu betul apa rencanaku) Antony memasukkan barangnya ke dalam koper, lalu melipat travel-bag miliknya, jadi barang bawaan kami hanya satu.
"Paspor kamu mana?" Tanyanya.
"Tas kecil aku mana?"
"Oh iya, ada tas kamu di laci. Semua di situ?"
Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Yaudah, kita makan dulu, abis itu langsung ke Bandara ya?"
"Iya,"
Antony lalu sibuk dengan ponselnya, ia menelepon seseorang lalu bicara dengan bahasa yang tak kumengerti. Jadi ya aku mending rebahan di kasur dulu, sambil menunggunya.
Membuka ponselku, ternyata ada satu pesan masuk dari Febri, isinya undangan pernikahan, satu bulan dari sekarang. Aku tersenyum melihat itu.
"Kenapa senyum-senyum?" Aku menoleh ketika Antony bertanya seperti itu.
"Febri bulan depan mau nikah." Kataku.
"Febri? Cowok yang cuma koloran pas nganter kamu pulang itu?" Nada suara Antony berubah tidak suka.
"Gosh, itu tahun kapan coba? Masih aja kamu inget."
"Ya mana bisa lupa, aku sama Aaron panik nyariin kamu kemana-mana, lha kamu pulang dianter cowok yang nyaris telanjang."
"Febri temen aku, dia baik!"
"Baik? Dia kan yang---"
"Aku gak mau kamu judge Febri sesuka kamu ya! Dia temen aku, dia baik!" Aku langsung memotong ucapan Antony. Ya, di samping semua hal yang Febri lakukan, aku hanya ingin mengingat bagian-bagian baiknya saja. Karena.... kalau memang Antony menjanjikan kehidupan yang baik untuk hari depan, aku akan menghapus semua bagian kelam yang pernah terjadi di hidupku.
"Kamu belain dia, La?"
"Iya! Dia temen aku, yang tahu dia kaya apa, semua sifat jeleknya, baiknya, aku tahu semua. Kamu gak kenal dia, kamu cuma denger ceritanya Irene, jadi kamu gak bisa ngata-ngatain dia seenaknya seolah-olah kamu yang paling kenal sama dia!"
Antony diam, ia melirik kesal padaku, tapi aku tak peduli.
Fokus kembali pada ponsel, aku membalas chat dari Febri tersebut.
Me:
Gosh!
Kamu beneran nikah ya Feb!
Sip, nanti aku fitting baju sesuai jadwal yang kamu kasih
Thank you! Aku juga dijaitin baju
Lancar terus yaaa
Bahagia selalu
Lord!
Aku ikutan seneng Febb!
Terkirim dan Febri secepat kilat langsung membalasnya.
Febri:
Oke! Sesuai jadwal ya La
Biar bajunya udah jadi sebelum acara
Iya lah bridesmaid aku ya harus aku bikinin baju
Ehh? Apa kamu mau pake tuxedo dan jadi groomsman aku?
Pasti lucu hahahaha
Me:
Gak usah ngaco
Aku pake dress
Gak ada pake tuxedo
Febri:
Ya kali gitu kamu mau hahaha
Yaudah pokoknya sesuai jadwal ya
Kamu sama siapa nanti dateng? Aaron?
Aku udah reservasi tempat kamu buat 2 orang soalnya
Me:
Aku gak dateng sama Aaron
Ada deh, nanti aku kenalin
Febri:
Siapppp
See you~
Aku tak membalas pesan terakhir tersebut, jadi kuletakkan ponsel di atas kasur.
"Kamu mau ikut aku ke nikahan Febri?" Tanyaku, ya... alasan aku bisa menghadiri pernikahan Febri kan karena Antony, jadi... dia harus ikut bersamaku.
Antony tidak menjawab pertanyaanku, ia sibuk dengan tablet di tangannya. Jadi aku diam saja.
Aku menarik napas panjang. Aku ngerti kenapa Antony ngambek. Karena kalo dari sudut pandang dia, Febri emang bukan cowok baik di hidupku. Tapi... ini hidupku dan aku tahu bagaimana jelasnya.
Jadi, kalau gak ada masalah, aku mau Febri tetap ada di hidupku, sebagai temanku dan orang yang membimbingku dalam membuka usaha, sudah, itu saja. Aku akan melupakan bagaimana perlakuannya ketika aku berperan sebagai wanita-wanita yang ia minta. Itu sudah tidak penting lagi karena kami akan membuka lembaran hidup baru kan?
"Kita jadi makan gak?" Tanyaku ke Antony, tapi ia masih tidak menjawab.
"Yaudah, aku ke resto bawah sendiri ya, aku laper."
Turun dari kasur, kuambil hoodie milik Antony yang ia pinjamkan padaku, lalu mendouble-nya dengan winter-coat milikku, karena... sumpah di luar dingin banget, gak kuat aku.
Ketika aku akan membuka pintu ruangan, tanganku tertahan.
"Jangan ke resto bawah sendiri, please."
"Lha? Kamu ditanya gak jawab."
"Sebentar, aku masukin laptop dulu, biar sekalian bawa barang-barang aja."
Aku mengangguk setuju, kubantu Antony beberes, lalu menyilangkan tas kecil di tubuhku, siap berangkat.
Antony menggengam tanganku, sebelah tangannya menarik koper, lalu kami keluar dari kamar hotel tersebut.
Aku melirik Antony, wajahnya terlihat sangat serius, aku jadi bingung cara baikan sama dia gimana, aku gak mau dia ngambek.
Di resto, kami makan dalam diam. Antony gak banyak makan, jadi dia menungguku yang sedang kelaparan ini.
"Langsung ke Bandara?" Tanyaku.
"Yuk!"
Antony diam lagi selama perjalanan, jadi waktu ini kupakai untuk menikmati pemandangan di jalanan yang asli deh, bagusnya tiada banding.
Begitu sampai Bandara, kudengar Antony mengomel, ya... karena cuaca kurang bagus, penerbangan jadi ditunda sekitar dua jam.
"Gamyla?" Antony memanggil namaku, membuatku menoleh, menatapnya.
"Kenapa?"
"Kita ada waktu dua jam. Kamu mau, jelasin supaya aku bisa nerima si Febri ini sebagai temen kamu?" Tanyanya.
Aku mengangguk.
"Kamu mau aku jelasin apanya? Baiknya aja? Jahatnya dia, atau semuanya?"
"Semuanya, biar aku bisa ngerti kenapa kamu mau masih temenan sama orang kaya gitu."
Aku tersenyum, lalu mulai menjelaskan semua masa-masa kelam yang sudah pernah kulalui itu.
Di sampingku, Antony fokus menyimak.
****
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top