-Lima puluh empat-
"Padahal aku kira, kamu bakalan sama Aaron loh, karena dari awal pacaran sama kamu, aku ngerasa Aaron tuh ancaman terbesar."
"Aku gak akan pernah bisa sama Aaron." Kataku.
"Kenapa?"
"Eh? Emang Irene gak cerita?"
"Hah? Engga, Irene cuma cerita si Febri itu aja, gak ada bawa-bawa nama Aaron. Emang Aaron kenapa?" Tanya Antony.
"We're basically a twins." Kataku.
"What?" Antony syok mendengar itu.
Setelah cerita soal Febri, kini aku menceritakan soal Aaron, hubungan asliku dengan Tante Hilda dan Om Fauzi. Karena Antony akan menjadi bagian dari hidupku, jadi kuceritakan semua, sampai akhirnya gimana kami ketemu di salah satu resto ketika aku sedang bersama Om Fauzi.
"Mereka sampe cerai, La? Padahal kayaknya mereka saling sayang gitu jadi suami-istri," Tanya Antony.
"Aku juga sedih pas Aaron bilang Mama-Papanya bercerai. Tapi gimana ya? Gak ada yang bisa disalahin dan gak ada yang bisa dibenerin. Tente Hilda udah minta maaf, kata Aaron bahkan sampe sujud-sujud gitu tapi Om Fauzi gak maafin. Cinta mereka kalah sama ego dan emosi. Lalu, Om Fauzi juga berubah, saking penginnya aku ganti nama, ganti kartu keluarga dan lain sebagainya, Om Fauzi malah jelek-jelekin Ayah dan Bunda, Tante Hilda gak terima sahabatnya dibegituin, apalagi Ayah sama Bunda udah gak ada kan ya? Sampe akhirnya Tante Hilda udah gak kuat lagi, dan mereka pun memilih cerai." Jelasku.
"Terus Aaron gimana?"
"Aaron begitu lulus kuliah pindah ke Kanada, dia cari kerja di sana dan mulai hidup baru. Tadinya dia ajak aku, tapi... aku gak bisa."
Antony mengangguk.
"Jadi selama ini emang si Febri yang temenin kamu?" Tanyanya.
Aku mengangguk.
"Tapi dia gak sepenuhnya temenin kamu yang tulus gitu kan?"
"Dia emang rada aneh, tapi itu gak sering kok. Kita lebih sering yang duduk-duduk ngobrolin bisnis, ngobrolin orang. Bahkan kita pernah, liburan berdua ke Turki dan itu gak ngapa-ngapain sama sekali, cuma yang beneran liburan karena capek kerja." Jelasku.
Antony tersenyum sinis.
"Setelah kamu cerita ini semua... kamu masih minta aku buat ketemu dia?" Tanya Antony.
"As a friend, Ton. Sumpah, aku sama Febri sekarang ya emang cuma temenan. Dia temen yang baik dan aku banyak hutang budi sama dia."
Kudengar Antony menggretakan giginya. Lalu aku mendekat, menepuk punggungnya.
"Yaudah, kalau kamu gak bisa pun gak apa, tapi aku tetep temenan sama dia, kalau kamu gak bisa nerima, yaudah, aku gak akan maksa."
Antony menatapku tajam, matanya terlihat lelah.
"Aku pengin kamu ninggalin kehidupan kamu yang itu, La."
Aku menelan ludah.
"Kamu tahu? Aku udah pengin tinggalin itu dari bertahun-tahun lalu. Tapi... baru bisa ya akhir-akhir ini. Dan aku gak ada niat balik lagi. Tapi Febri, dia temen aku,"
"Aku gak tahu obrolan ini bakal berakhir gimana, La. Karena kamu bakal selalu belain dia ya kayaknya?"
Aku diam, tak menyahuti ucapan Antony karena enggan berdebat lebih jauh dengannya.
Kemudian, terdengar seruan informasi kalau cuaca sudah membaik dan pesawat kami sudah siap, kami diminta masuk melalui gerbang utara. Antony langsung sigap berdiri, ia menggengam tanganku dan kami pun berjalan menuju pintu yang disebutkan tadi.
****
Sesampainya di Norwegia, kami langsung menuju hotel tempat Antony menginap. Jujur, sejak di bandara tadi, Antony benar-benar gak banyak bicara. Aku jadi bingung harus gimana.
"Kamu ikut aku ya rapat? Biar gak bosen di kamar sendiri." Katanya.
"Eh? Gak apa, aku di sini aja. Lagian, aneh banget aku masuk ruangan rapat? Kan aku bukan bagian dari rapat itu, kan?"
"Tapi kamu jangan kabur ya? Aku takut..." Katanya terdengar khawatir.
"Iya, aku janji gak akan kemana-mana, aku di sini, nungguin kamu."
Antony mendekat, ia lalu memelukku erat.
"Aku lagi proses semuanya di kepala. Maaf kalau aku banyak diemnya. Aku terima semua kurangnya kamu, karena aku sadar aku juga gak sempurna. Tapi soal nerima Febri... aku masih proses itu ya, La. Maaf."
Kulepas pelukan ini, lalu menatap Antony lekat-lekat. Tersenyum kecil padanya.
"Kamu rapat dulu aja, kita bahas ini kalau kamu udah selesai rapat. Aku janji gak bakal kemana-mana, kayaknya di antara kita emang harus ada yang diselesaikan." Kataku.
"Aku gak mau selesai, La. Aku malah mau jalanin hubungan baru sama kamu."
"Yaudah, oke, maaf kata-kata aku salah, maksudnya harus ada yang kita luruskan. Kamu rapat aja, fokus oke? Jangan mikir macem-macem dulu."
Antony mengangguk, ia merengkuh wajahku dengan kedua tangannya lalu mencium bibirku dalam-dalam.
Aku diam saja menerima ciuman Antony ini, dan setelah beberapa saat, ia akhirnya menarik diri.
"I love you, Gamyla!" Bisiknya pelan dan terdengar tulus.
Aku tersenyum, mengangguk lalu mencium tangan Antony yang ada di sisi wajahku.
"Yaudah, aku keluar ya, kamu tungguin aku, kalo mau pesen makan, pesen aja."
Lagi, aku mengangguk.
Lalu, Antony membereskan barang-barangnya di meja, kemudian ia mendekat ke arahku lagi, mengecup pipiku sebelum keluar dari kamar.
Sendirian di kamar, aku memikirkan banyak hal. Aku harus yakin dulu apakah Antony bener-bener mau sama aku, karena kalau kita terus lalu hubungan ini berhenti di tengah jalan karena satu dan lain hal, kayaknya aku gak siap untuk tambahan rasa sakit lagi di hidupku.
Dan, apakah kalau aku sama Antony aku harus kehilangan Febri sebagai temanku? Atau aku egois jika ingin tetap berteman bersama Febri padahal Antony sudah menerimaku?
Aku melamun sepanjang hari sampai akhirnya pintu kamar ini dibuka dari luar. Antony masuk dan ia membawa satu troli makanan.
"Aku tanya resepsionis, katanya kamu gak pesen makan, jadi nih deh, yuk kita sekalian makan." Ucapnya mendorong troli itu mendekat. Lalu meletakkan barang-barangnya di kursi.
"Ayok makan, La." Ajaknya, aku mengangguk, turun dari sofa yang menempel di jendela ini, lalu bergabung bersamanya.
"Gimana rapatnya?" Tanyaku membuka obrolan, sambil mulai makan.
"Ya gitu, besok hari terakhir, jadi maaf ya kalo besok kamu masih kutinggal."
"It's okay Ton, kamu kan ada di sini emang buat rapat kan?"
Ia mengangguk pelan.
Kami makan dalam diam, sampai akhirnya Antony merapikan semua sisa makanan kami, memanggil petugas untuk membawa kembali troli makanan ini biar gak bikin kamar sumpek.
Setelah itu, aku kembali duduk di pinggir jendela, memandang ke luar, di sini, jalanan kota gak penuh sesak, ramai tapi tetap lancar, gak ada kemacetan, terus penataan kotanya bagus, jadi mandangin jalan aja bikin betah.
Kulihat Antony masuk ke kamar mandi, kubiarkan ia, sekian aku mempersiapkan diriku untuk ngobrol lebih lanjut.
Ketika Antony keluar kamar mandi, dia sudah berganti dengan celana training panjang dan kaus lengan panjang, persis seperti yang aku kenakan. Di sini emang dingin banget, gila. Padahal ruangan ini ada pemanasnya.
Antony bergabung denganku, duduk di sofa ini, tapi ia menghadapku, kaki kami yang menekuk bersatu di tengah sofa.
Kulirik ia, tersenyum kecil padanya.
"Obrolan kita sampe mana tadi?" Tanyanya.
"Kamu bener mau sama aku? Hidup aku gak jelas Ton. Kamu sendiri punya kehidupan yang harus kamu jalani kan? Kenapa gak fokus sama itu aja? Kenapa mau pas Ginya nyuruh kamu ke Islandia?"
"Oh please, kita mau bahas ini lagi?" Tanyanya dengan nada suara lelah.
Aku diam.
"La, aku tahu aku salah waktu itu, dan aku nyesel. Kamu minta waktu buat sendiri, 8 tahun, La! 8 tahun sampe akhirnya aku ngerasa aku memang perlu temuin kamu, kamu udah setuju kan mau kasih aku kesempatan kedua?"
"Tapi gimana kalau aku gak bisa bahagiain kamu? Waktu dulu... kamu sama cewek itu karena aku gak mau kan? Kamu jadi cari pelarian. Sekarang masalahnya lebih serius Ton, kalau kita sama-sama, aku gak bisa kasih kamu anak nanti. Aku..." Aku menarik napas sebelum menyelesaikan kalimatku, tapi Antony sudah lebih dulu bersuara.
"Ya udah, emang kenapa? Aku janji, demi Tuhan aku gak bakal cari cewek lain yang bisa kasih aku anak!! Aku sumpah, La! Aku cuma mau sama kamu. Kita bisa fokus saling membahagiakan masing-masing seumur hidup kita. Udah!" Ucapnya sungguh-sungguh.
"Makasi," Kataku.
"Gak usah bilang makasi, aku yang makasi karena kamu mau kasih aku kesempatan kedua."
"Yeah, tapi aku juga harus bilang makasi. Jujur, kalau gak ketemu kamu di Skógafoss, aku udah gak bakalan ada di sini."
"Maksud kamu?"
Aku menarik napas panjang, ingin jujur sejujur-jujurnya pada Antony.
"Aku capek sama hidup ini Ton, kaya... sejak kematian Ayah sama Bunda aku gak dikasih istirahat buat proses semua masalah yang ada, aku cuma harus terus berjuang-berjuang aja, tanpa ada waktu buat diriku sendiri. Dan... saat semua tanggung jawabku selesai, aku ke Skógafoss... bukan buat liburan, tapi buat akhiri semuanya."
"Maksudnya?"
Aku tersenyum kecil pada Antony, ia sudah tidak bersandar sepertiku, tapi mendekat dan duduk tegap di hadapanku.
"I had planned to end my life there." Kataku pelan dan raut wajah Antony langsung berubah, ia marah.
"Jangan pernah sekali lagi kamu mikir buat kaya gitu, oke?!" Ia mencengkram kedua bahuku, matanya menyala saat mengatakan itu.
"Janji sama aku kamu gak bakal mikir untuk bunuh diri lagi!" Serunya.
Air mataku keluar begitu saja dan Antony pun memelukku erat.
"Aku capek Ton, badanku, otakku, mentalku, capek!"
Antony tak berkata apa-apa, ia hanya memelukku sementara aku terus menangis.
"Please, aku gak mau kehilangan kamu La, please!"
Aku mengatur napasku, lalu mendorong Antony pelan untuk mengurai pelukan ini.
"Makanya, aku bilang makasi... kamu dateng ke sana, and save my life." Kataku pelan.
"I didn't save your life, I saved mine, coz you are my life, Gamyla!"
Hatiku mendadak hangat mendengar itu, kupeluk Antony dan mencium bahunya.
Oke La, satu kejujuran lagi yang harus dibuka.
Antony sudah terlalu baik untuk dibohongi dengan cara seperti ini.
******
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
***
Buat yang mau baca cerita-cerita di atas bisa langsung meluncur ke apps/play store yaaa
Keyword: kadallilah
Atau ketik aja judul bukunya 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top