-Enam-
Aku bingung, hubunganku dengan Rizal sepertinya makin hari makin dekat sementara aku menganggap kedekatan kami hanya sebatas pertemanan. Gosh.... aku masih sayang Aaron, meskipun sekarang dia sudah jarang mengabariku.
"Aku gak bisa Zal, orang tuaku mau jenguk hari ini." Kataku, Rizal pagi ini menghampiriku, ke kantin asrama putri. Bikin aku jadi pusat perhatian beberapa mahasiswi yang sedang sarapan.
"Kan malem La, orang tua kamu sampe malem?"
"Ya kan aku mau ajak mereka jalan-jalan juga. Kalo kamu mau jalan ya besok aja gimana?"
"Besok aku pergi!"
Aku diam, bingung. Tapi yang jelas sih aku lebih mengutamakan keluarga ya. Aku kan udah lama juga gak ketemu keluargaku.
"Yaudah kalau kamu gak mau main bareng aku!" Seru Rizal dengan nada kecewa lalu ia berjalan menjauh, menuju gerbang, keluar.
Aku menggaruk rambutku yang tak gatal, bingung harus gimana. Dan risih aja saat ada orang yang menuntut waktuku untuknya padahal kita hanya teman.
Gosh, apa aku nih spesialis friendzone ya? Duh jangan sampe deh, karena aku di-friendzone-in Aaron aku malah gitu ke orang.
Tapi... aku juga gak bisa buka hatiku buat Rizal. Aku gak ada hati sama dia.
Pusing!
*****
Aku yang sudah menunggu sedari pagi langsung tersenyum ketika melihat mobil Ayah memasuki gerbang asrama, lalu parkir di bawah pohon kersen.
Sedikit berlari, aku menghampiri keluargaku yang sayangnya... Bunda gak ada.
"Bunda mana Yah? Kok cuma Ayah sama Gina?" Tanyaku.
"Bunda lagi ngurusin Jati,"
Aku mengangguk kecil, bikin ulah apa lagi abangku itu?
"Kak, nih barang-barang lo!" Seru Gina sambil membuka bagasi.
Aku mengangguk lagi.
"Udah sini, Ayah bawa aja."
Aku dan Gina membawa tas kecil berisi camilan sementara Ayah bawa tas yang berat berisi gula, teh, sarden, kornet, beras, mie dan lainnya.
"Mana kamar lo Kak?" Tanya Gina.
"Gak diizinin masuk, cuma boleh sampe sini aja." Kataku, lalu mempersilahkan Ayah dan Gina duduk di sofa yang tersedia di lobby asrama.
"Bagus lah, jadi isinya cewek-cewek semua. Gak macem-macem."
"Gak kepikiran buat macem-macem juga Yaah," Kataku.
Ayah mengangguk.
"Di Bogor udah ke mana aja lo Kak? Jalan lah!"
"Hayoo, aku bawa barang-barang ke kamar dulu sambil ambil tas ya?"
"Bisa La?" Tanya Ayah ketika aku berusaha mengangkat semua belanjaan ini.
"Ya harus bisa Yah," Kataku nyengir.
Ayah tersenyum lalu menyemangatiku membawa ini semua ke kamarku, lewat tangga, gosh!
********
Rizal-Senior:
Aku Rabu malem balik
Kamisnya main yuk?
Sebuah pesan masuk ketika aku sedang membaca buku catatanku.
Me:
Kamis aku ada kuliah sore
Jadi paling bisa malem
Gimana?
Rizal-Senior:
Malah lebih asik
Me:
Oke
Rizal-Senior:
See you Gamyla
Aku tak membalas pesan tersebut, memilih melanjutkan membaca biar materi yang siang tadi diajarkan dosen bisa meresap ke kepala.
"Gengs!" Irene memecah keheningan. Kami semua sedang asik membaca soalnya.
"Kenapa?" Tanya Jingga.
"Sabtu jalan yuk? Bareng cowok gue, hehehehe!"
"Ke mana?" Tanyaku.
"Curug, mau gak? Kita butuh yang asik-asik,"
"Curug tuh apa?" Kini giliran Olive bertanya.
"Emmm air terjun gitu, bahasa sundanya Curug."
"Ohh, yok boleh." Olive setuju.
"Bisa mandi di sana? Enak kayanya mandi air terjun." Ujar Jingga.
"Ya bisa lah, kita sekalian piknik, pas udah gerah, baru deh nyebur."
Aku, Jingga dan Olive langsung mengangguk.
"Eh iya, gimana La? Lo deket sama Rizal kan? Ajak aja!" Tanya Irene.
"Cuma temen, dan gak deh, biar main sama kalian-kalian aja."
"Masaaaa? Rizal bilang kalau kalian udah jadian."
"Hah?"
"Bener, kalo gak salah gue juga denger gitu. Senior gue bilang lo sama Rizal udah jadian." Seru Jingga.
"Iya betul," Sahut Olive.
"Edan, gak bener tuh, gue belum jadian."
"Belum? Berarti soon mau dong?" Tanya Jingga.
"Ya gak tahu, gue seneng deket sama dia, ngobrolnya enak, tapi ya belum nyampe aja ke hati."
"Ya karena baru sebentar, nanti juga lama-lama muncul." Ujar Irene.
Aku hanya menggeleng. Bingung mau respon apa karena di sudut hatiku, ya aku masih ngarep Aaron.
*****
Aku baru pulang main sama Rizal, dan aku seneng. Sumpah beneran aku gak bohong. Dia ngajak aku ke pasar malem, terus kita naik beberapa wahana yang ada, setelah itu, dia ngajak aku makan burger yang dibeli di abang-abang. Yah walaupun rasanya kurang, tapi oke lah buat ukuran burger di pasar malem.
"La, ngobrol bentar bisa gak?" Tanya Rizal ketika aku hendak masuk.
"Yaudah, ke kantin aja Zal, biar bisa duduk."
"Gak usah, di sini aja."
Aku mengangguk. Ini tuh motornya Rizal lagi terparkir di bawah pohon kersen, tempat biasa Ayah parkir.
"Yaudah, mau ngobrol apa?" Tanyaku.
"Kita kan udah deket banget yaa?"
Mampus!
"Sering main juga kan kita berdua?" Lanjutnya, aku hanya bisa mengangguk, asli, Tuhan, mau ngilang ini aku.
"Emm, aku pengin kita berdua ada hubungan yang jelas gitu loh La,"
Aku diam, gak tahu harus ngomong apa.
"Menurut kamu gimana?" Tanyanya.
"Emmm, apanya?" Aku balik bertanya, bingung.
"Yaa, kita... pacaran, gimana?"
Napasku tertahan mendengar itu. Gosh, sumpah aku gak tahu. Pikiranku sekarang ya ke Aaron. Tapi di satu sisi, mau sampe kapan aku ngarep sama Aaron?
"Yaudah, ayok." Kataku akhirnya,
Kulihat Rizal tersenyum, lalu ia bergerak cepat mendekat, mengecup pipiku, membuatku kaget dan mundur sedikit.
"Apaan sih? Entar kalo ada yang liat gimana?" Seruku syok.
"Hehehehe, sorry." Ujarnya tapi tidak merasa bersalah.
"Yaudah, udah kan? Aku masuk kamar ya?"
Rizal mengangguk, tapi ia menahan tanganku, lalu mengecupnya, bikin aku sedikit merinding. Gosh, apa-apaan sih?
"Good night, dear!" Katanya, aku hanya tersenyum, lalu sedikit berlari masuk ke asrama.
Ya Tuhan... apa-apaan sih?
Bukannya ke kamar, aku malah semangat banget naik tangga sampe rooftop. Meskipun aku tahu ini sudah malam, gelap, dingin dan agak seram, entah kenapa aku malah terus nekat naik.
Sesampainya di atas, aku ke pinggir, mendekatkan badan di tembok sambil berfikir.
Ini beneran kan? Terus Aaron gimana?
Mengambil ponsel dari tas, kuhubungi Aaron, sudah lama juga kami tidak bercakap-cakap.
Pada dering ketiga, panggilanku diangkat.
"Hoooy!" Seru Aaron terdengar bersemangat.
"Ron gue mau cerita!" Seruku.
"Kenapa, kenapa?"
"Gue jadian!"
"Woooaaaah? Serius lo? Pecah telor dong, wihhhh selamat La!" Serunya senang, tapi aku malah makin nyesek. Artinya dia sama sekali gak ada rasa ya buatku.
"Gue bingung, kalo pacaran ngapain?"
"Ya gitu, pacaran," Jawab Aaron santai.
"Gue takut kalo macem-macem kayak lo,"
"Kalo takut ya jangan, lo pacaran kan gak auto lo nyerahin hidup lo buat dia. Kalo ada yang lo gak mau atau gak suka ya tinggal bilang."
"Segampang itu?"
"Yak, segampang itu. Namanya juga pacaran!"
Aku manyun sendiri.
"Pokoknya jangan lakuin hal yang lo gak mau. Kalau lo mau, yaudah, tapi lo harus bertanggungjawab. Terus, jangan ambil keputusan saat lo lagi terlalu senang, terlalu sedih ataupun mabuk. Pokoknya pas lo lagi netral aja. Biar lo gak nyesel nantinya."
"Gue baru tahu lo bijak," Kataku.
"Dih, lo aja yang gak menghargai semua nasehat gue, hahaha!"
"Thanks ya Ron!"
"Siaap, apa lagi?"
"Udah sih itu aja, udahan ya teleponnya?"
"Siaap! Byeeee Ila!"
Sambungan telepon terputus. Meskipun masih ngerasa nyesek, tapi ada sebagian di hatiku yang merasa lega juga. Masih separo-separo lah intinya.
Menarik napas dalam-dalam, kuhembuskan perlahan seraya meyakini diri kalau mungkin memang ini saatnya untuk membuka diri kepada orang lain. Ke Rizal maksudnya.
Aku berbalik, berjalan menuju tangga, dan ketika berjalan, aku mendengar suara aneh....
Kudekati ruang penyimpanan jemuran dan suara itu makin terdengar. Gilak.... aku udah horor, takut, dan yang terdengar malah suara desahan seorang perempuan dan laki-laki.
Eh edan? Ada yang begituan di sini?
Berjalan mundur beberapa langkah, aku berbalik dan langsung berlari menuju tangga. Udah ah, gak mau ikut-ikutan begitu.
Tuhan!
********
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top