-Empat puluh tujuh-
Here you go, double up~
Jangan emosi sama chapter ini yaw~
***
Bukan aku yang emosi, tapi Febri. Ia berjalan mendekati temannya itu lalu sebuah tinju mendarat di wajah Galant.
"Lo bilang ke dia, lo bakal urusin itu!"
"Ya udah, tapi gak bisa, tetangganya punya bukti!"
"Sinting lo ya! Lo bilang ke gue rekaman CCTV itu udah lo hapus! Kenapa bisa ada lagi?" Bentak Febri.
"Ya gak tahu!" Jawab Galant santai.
"Udah, ayok La!" Febri berbalik dan ia membawaku keluar.
Sudah diputuskan, Jati bersalah dalam kasus ini karena ia tertangkap kamera menyiram bensin ke sekitaran rumah dan mobil milik pak Nussa, lalu membakarnya.
Saat ini, statusnya Jati itu buronan. Tapi aku selaku orang yang bertanggungjawab karena menyewakan rumah pada Pak Nussa, harus menanggung semua kerugian yang diminta Pak Nussa dan para tetangga yang menjadi korban.
Pak Nussa tidak memberatkanku. Ia memang hanya meminta biaya perawatan untuk anaknya dan ganti rugi mobil yang dibakar. Pak Nussa bahkan tidak meminta ganti rugi motor ataupun beberapa barang berharganya yang ada di rumah.
Namun tetanggaku... mereka menaikan tuntutannya sebanyak 5 Miliyar, dan permintaan itu dikabulkan.
Udah, aku udah gak bisa apa-apa lagi.
Aku hanya bisa menangis ketika Febri mengajakku masuk ke dalam mobil.
"Kamu tenang yaaa, gak apa-apa nangis, wajar." Ucap Febri.
"15 Miliyar Feb, uang dari mana aku? Belum buat Pak Nussa?" Isakku, dan jangan lupakan kebutuhanku sehari-hari dan jatah bulanan Gina di Belanda sana.
"Aku pinjemin kamu uang, kamu bisa kok bayar ke aku nyicil. Nanti pas bayar ke tetangga kita harus didampingi Pak Frans, biar mereka gak bisa nuntut apa-apa lagi."
Pak Frans adalah pengacara pribadi Febri. Sayangnya, beliau sedang sibuk hingga tidak bisa ikut menangani kasusku.
"Gosh, 15 M, Feb! Nyicil berapa tahun aku?"
Ya, penghasilanku dalam hal roleplayer gak sebanyak dulu lagi. Sekarang, ada yang mau bayar 100 juta aja udah gede banget itu itungannya.
"Udah kamu gak usah pikirin itu ya? Biar urusan kamu sama aku aja, jadi kamu gak ada masalah ke orang banyak. Jadi beban pikiran kamu pun berkurang."
Aku mengangguk.
"Sampai, Pak!" Supir Febri, Pak Jamil, memberitahukan kami kalau sudah sampai apartment Febri.
"Yuk!"
Tangan Febri tak lepas merangkul bahuku, ia memegangiku terus, agar aku gak tiba-tiba ambruk.
Di unit apartment Febri, aku terduduk di sofa, lemas. Kulihat Febri mendekatiku dengan segelas air putih di tangannya.
Gosh! Dia nih udah baik banget? Kenapa sih??? Kenapa aku gak bisa suka sama dia aja???
Ketika Febri duduk di sebelahku, ia mengulurkan gelas tersebut, kuterima tapi langsung aku letakkan di meja.
Febri melihatku heran, tapi aku langsung menyerangnya, mencium Febri dengan penuh napsu agar aku bisa menyukainya. Dan hati ini terbuka untuk menerimanya.
Febri membalas ciumanku, ia langsung menggendong tubuhku dan membawaku ke kamar.
Di dalam kamar, aku langsung melucuti semua pakaian yang ada di tubuhku dan tubuh Febri, kudorong Febri ke kasur lalu aku menaiki tubuhnya.
Aku tak peduli dengan sakit yang kurasakan. Yang saat ini kumau, hanyalah aku bisa menyukai Febri tanpa kepura-puraan.
**
Aku merasa bersalah ketika permainan ini seselai. Febri masih terlihat bingung dan aku pun gak tahu harus bilang maaf karena menyerangnya atau makasih karena ia sudah meladeniku.
Dengan kikuk, aku berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Singgah ke walk-in-closet untuk mengambil baju ganti.
Febri menyusulku ke kamar mandi, tapi ia tak berkata apa-apa, hanya membersihkan diri. Sama sepertiku.
Saat aku sedang berpakaian, Febri meninggalkan aku sendiri di kamar mandi, ia sudah selesai dan pergi begitu saja.
Jujur, aku bingung dengan perasaanku sendiri. Tuhan, kenapa begini sih??
Selesai berganti, aku kembali ke kamar, namun ruangan ini terlihat kosong. Jadi aku keluar, dan kulihat Febri, sedang duduk termenung di kursi bar mini miliknya.
Aku berjalan menuju sofa, mengambil ponselku untuk menyibukan pikiran.
Dan, ada satu pesan dari Gina, ia bahkan melampirkan foto yang membuat jantungku berhenti.
Gina:
Liat apa yang gue temuin di Belanda?
Hahahahah!
Dia kangen lo katanya!
Dadaku mendadak sesak melihat foto Gina bersama Antony.
Lord! Sudah berapa waktu berlalu? Tapi kenapa responku masih selalu sama ketika melihat wajahnya?
Air mataku mengalir begitu saja, entah kenapa aku malah menangis kembali.
Kudengar langkah kaki Febri mendekat, jadi aku langsung mengunci layar ponsel agar ia tidak melihatnya.
"Kamu kenapa?" Febri duduk di sampingku, membawaku ke dadanya dan terasa ia mencium rambutku.
"Gak ngerti, kenapa hidupku berat banget yaa? Apa di kehidupan sebelumnya, aku nih orang jahat kali ya? Jadi balesannya sekarang."
"Apa sih? Kenapa ngomong kaya gitu? Ujian ya ujian aja. Kadang emang ada orang yang garis hidupnya berat, tanpa bikin salah apa-apa. Mungkin Tuhan lagi siapin bahagia gak berujung di hari depan, siapa yang tau?"
Aku tak menyahutinya, hanya bisa menangis untuk saat ini.
Gosh, aku lelah.
*****
"Liburan yuk?" Ajak Febri. Baru saja urusan bayar ganti rugi kami selesaikan.
"Ke mana?"
"Ya kemana gitu? Samperin Gina, ke mana aja."
Aku batin astaga, ini dia baru keluar duit segitu banyak masih bisa ngajak liburan? Sinting apa gimana sih?
"Gak deh kalo samperin Gina, malah tambah pusing kayaknya kalau ketemu anak itu." Kataku beralasan. Padahal, aku tahu Antony ada di Belanda sekarang ini, dan aku takut kalau bertemu dia.
"Yaudah ke mana? Jepang? Korea? Amrik? Tapi Amrik sekarang lagi susah ah urus visanya."
"Ke Kanada mau kamu?" Tanyaku. Ya, rasanya aku ingin mengunjungi Aaron.
"Ayok aja... ketemu siapa tuh temen kamu?"
"Aaron,"
"Nah iya ketemu Aaron,"
"Kapan mau berangkat?"
"Aku suruh Rinto ngurusin semua ya, biar bisa cepet, baru deh kita liburan."
Aku tersenyum, memeluk Febri yang langsung membalas pelukanku.
Tuhan? Kenapa perasaan itu belum muncul juga??
******
Aaron menyambut kedatangan kami, ia memelukku erat dan lama sekali, sampai akhirnya terlepas karena suara batuk yang disengaja oleh Febri.
"Sehat, Bang?" Ujar Aaron menjabat lengan Febri.
"Gak usah panggil Bang, nama aja!"
"Hahah oke, Febs!"
Febri tersenyum.
Aaron mengambil alih koper dari peganganku, ia berjalan duluan menuju sebuah mobil yang terparkir menunggu kami.
"Kalian nginep di tempat gue aja ya?" Ujar Aaron sambil menyetir.
"Eh? Kita udah book hotel." Sahut Febri.
"Yaah gak asik, kan kalau di tempat gue bisa seru-seruan, agak sempit sih emang, tapi bisa kok!"
"Tempat lo ada berapa kamar?" Tanya Febri.
"Yaa cuma satu, tapi kalau kalian mau, sok dah kalian yang tidur di kamar, gue di sofa gak apa-apa. Atau mau bertiga? Ahhahahaha, canda!"
"Yaudah boleh deh Ron!"
"Boleh yang mana nih?" Tanya Aaron.
"Tidur di tempat lo, setan!" Seruku kesal, ini anak suka mancing-mancing ya kampret! Dia gak tahu apa Febri tuh orangnya gampang terinspirasi. Kan nanti yang pusing siapa? Ya aku lah!
Benar saja, apartment Aaron nih sempit. Gimana ya? Kamar tuh kaya ngepas buat kasur sama lemari sama meja, udah gak ada tempat lagi, dimasukin koper langsung gak ada tempat buat lewat. Kalau di ruangan satu lagi, ya semua jadi satu di situ, ada dapur, ada sofa, ada lemari mesin cuci, padet banget ruangannya.
"Home sweet home!" Ujar Aaron, membuat aku amat sangat memaklumi keadaannya.
Kalau Aaron mau pulang, mungkin dia gak akan kaya gini. Dia bisa tinggal di apartment mewah, mengelola bisnis Om Fauzi atau bisnis tante Hilda. Tapi, demi ketenangannya, dia memilih hidup seperti ini, di sini.
Aku bangga sama Aaron.
"Eh? Punya siapa nih?!" Febri berseru, ia mengacungkan CD wanita berwarna biru muda dari sofa yang ia duduki.
"Hahaha, sorry!" Aaron langsung merebut benda tersebut dan melemparkannya ke keranjang cucian yang ada di sudut ruangan.
"Gila juga lu ya Ron!" Seruku.
"Berisik! Dah cuma ada kita di sini. Ayok kalian mau hiburan apa? Gue jabanin dah ke semua tempat yang gue tahu!"
"Hari ini di rumah aja dulu, Ron. Ila capek kayaknya, besok baru deh ya mulai jalan?" Ujar Febri.
"Yaudah, kalian berdua mau istirahat? Atau kita mau nonton atau main Zathura?"
"Zathura?" Tanyaku dan Febri berbarengan.
"Serius, gue punya papan Zathura, tapi kartunya isinya kek truth or dare gitu, terus ada black card yang isinya dare yang parah-parah."
"Boleh deh!" Kataku.
"Oke siap, gue ambil cemilan sama minum dulu kita, biar panas!" Aaron membuka kulkasnya, mengeluarkan beberapa botol bir, lalu ia juga mengambil snack dari atas lemari kitchen set.
Setelah amunisi untuk menemani permainan siap, Aaron mengeluarkan papan permainannya yang lebih mirip kaya ular tangga sih. Tapi ini tiap kotaknya ada pilihan truth or dare gitu, bahkan ada yang dalam satu kotak isinya dua pilihan.
"Ladies first!" Ujar Febri.
Aku mengambil karakter pesawat kuning, lalu mengocok dadu dan jatuh di nomor 3. Dare!
Brengsek!
"Ya ampun, baru juga main." Kataku.
"Udah ambil, jangan lemah!" Febri meledekku.
Mengambil kartu berwarna merah, aku pengin marah pas baca tulisannya.
"Apa?" Tanya Aaron.
"French kiss with someone on your left!"
Dan... Yang ada di samping kiriku itu Aaron. Kan kacau!
"A dare is a dare, La!" Ucap Febri jahil. Ku minum bir dari botol milik Febri lalu mendekat ke Aaron.
Si anak ini lagi... udah cengengesan dan, dia lah yang menyerangku. Asli, ini jatohnya Aaron yang cium aku.
Hanya beberapa saat, aku langsung menarik diri.
"Turunan bekicot lo ye? Basah semua ini!" Aku mencoba santai, ngusap bibirku yang basah dengan baju.
"Dah sekarang gue ya." Kata Aaron.
Ia melempar dadunya, membuat pesawat berwarna merah itu jatuh di nomor 2, dare juga.
"Brengsek!" Maki Aaron saat membaca kartu tersebut.
"Apa?" Tanyaku penasaran.
"Masuk ke dalam closet dengan orang yang ada di kirimu selama 5 menit."
Aku nyengir, itu artinya Febri dong yaaah.
"Dihhh!" Seru Febri.
"A dare is a dare, Feb!" Aku meledeknya.
"Apaan sih?"
"Dah itu closet maksudnya lemari kan? Kaga ada lemari gede, masuk kamar aja kalian sono berdua." Kataku.
"Dih ngapain?" Seru Aaron.
"Ya lo berdua mau diem-dieman juga gak apa! Sana ayok!"
Keduanya menurut, aku sendiri memasang timer selama 5 menit agar mereka gak curang.
Sendiri di ruangan, aku cuma bisa senyum-senyum sendiri.
Ketika 5 menit berakhir, keduanya langsung rebutan keluar.
"Ayok Febs, giliran lo!" Seru Aaron.
Lagi, pesawat Febri yang berwarna hitam itu berhenti di kotak dare.
"Pilih salah satu orang yang mau diajak ke dalam closet selama 3 menit." Ia membacakan kartunya.
"Ya Ila, laaah!" Serunya langsung.
"Closet banget nih? Kamar aja ya?" Kataku.
"Dah serah lo berdua aja."
Akhirnya aku dan Febri masuk ke dalam kamar. Dan, kami gak ngapa-ngapain, cuma ngobrol.
"Kamu tadi ngapain sama Aaron di sini?" Tanyaku.
"Aku nanya, dia mau gak threesome, eh jawabnya mau."
"Hah? Threesome sama siapa?" Syok aku dengernya.
"Ya sama kamu lah, siapa lagi? Katanya Aaron, mumpung ceweknya lagi dia suruh nginep di tempat lain."
"Gak! Aku gak mau! Sinting kali ya?"
"Enak tahu, La. Kamu belum pernah kan?"
"Gak akan pernah!" Kataku kesal.
"Coba aja, kamu kenal aku, kamu juga kenal Aaron, apa yang harus bikin kamu gak nyaman? Iya kan?"
"Daah!" Terdengar seruan dari luar dan aku langsung meninggalkan Febri di kamar.
Di luar, Aaron langsung menatapku disertai senyuman sejuta arti.
Dah, permainan makin gak kondusif. Minuman baru yang dikeluarkan Aaron bikin kita makin gak jelas, keduanya seperti ingin segera melaksanakan apa yang sudah mereka rencanakan.
Dan, aku gak bisa menghindar.
******
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
***
Iklan
Jan cuma diliatin aja ini iklan
Ayok buat yang penasaran go to your apps/play store buat download e-book nya
Keyword: kadallilah
Atau ketik aja judulnya, cuss~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top