-Empat puluh tiga-

Sebuah e-mail masuk membuatku langsung menghentikan semua aktivitasku, aku syok... ada e-mail dari kampus. Aku harus registrasi ulang karena masa cutiku sudah berakhir.

Ya ampun, aku gak siap balik ke kampus, aku gak tahu mau PKL di mana, mau penelitian apa, aku gak tahu. Bahkan, aku udah lupa semua materi kuliah kayaknya.

Goblok banget Gamyla!

"Saudari Gamyla!" Terdengar namaku dipanggil dan aku langsung menutup e-mail tersebut, berjalan menuju sumber suara yang memanggilku.

"Silahkan, Mbak, dokternya sudah menunggu."

Aku mengangguk, lalu masuk ke ruang praktek dokter tersebut. Dengan senyuman lebar, dokter bernama Marni ini menyambutku hangat.

"Iya, gimana nih Mbak Gamyla? Ada yang bisa saya bantu?" Tanya bu dokter ini ramah.

"Ini dok, saya mau konsultasi, saya mau vaksin HPV," Kataku.

"Oh, iya bagus banget itu, Mbak."

Lalu, dokternya bertanya seputar riwayat kesehatanku, pernah ada keluhan atau apa, lalu beliau juga mempertanyakan aktivitas seksualku.

"Nah iya dok, saya pasang KB dok, jadi aman kan harusnya?"

"KB kan mencegah kehamilan Mbak, bukan memproteksi dari Penyakit Menular Seksual yang -amit-amit- diderita oleh pasangan Mbak Gamyla."

Aku diam. Selama ini, aku mikir cuma biar gak hamil aja. Ternyata itu juga penting... gosh, gimana kalau aku kena PMS?

"Jadi baiknya saya gimana? Cek kesehatan dulu aja kali ya? Abis itu baru pap smear buat suntik HPV? Atau gimana dok?"

Dokternya menjelaskan dengan baik, aku bersyukur dokter Marni ini gak menghakimi aku, malah ia banyak menasehati agar aku bisa main seaman mungkin, biar semua organ-organku sehat, walaupun harus kerja rodi.

Kuikuti semua saran dokter Marni, lalu setelah selesai, aku pamit.

Di jalan pulang, aku ngeri sendiri. Jujur, aku tuh takut banget kena kanker serviks, karena yang kuketahui, itulah penyakit yang paling banyak membunquh wanita.

Dan sekarang, aku jadi makin takut terjangkit penyakit mengerikan lainnya.

Begitu sampai rumah, kudiamkan Gina yang bertanya aku dari mana, aku langsung masuk ke kamar. Pikiranku sangat berat hari ini. Aku diselimuti rasa takut.

Tuhan? Apakah aku bisa berhenti dari semua ini?

Aku cuma bisa bengong, bahkan sambil ganti baju pun pikiranku hanya terisi berbagai penyakit mengerikan yang mematikan.

"Kak? Kak Febri dateng nih!" Terdengar seruan dari luar. Dan detik berikutnya kudengar pintu kamarku diketuk pelan lalu terbuka dan Febri masuk.

"Hay!" Sapanya, aku menoleh, tersenyum padanya.

"Hay Feb," Sahutku pelan.

Febri lalu duduk di pinggir kasur, di sampingku. Ia melirikku dengan penuh minat, seperti tahu kalau aku banyak pikiran.

"Kamu kenapa?"

"Aku pengin berhenti, Feb." Kataku.

"Berenti? Berenti apa?" Tanyanya.

"Aku... aku takut kena penyakit. Aku tadi abis dari dokter, konsultasi dan dokternya jelasin semua resiko yang akan aku hadapi kalau aku gini terus."

"Yakan bukannya tinggal pakai kondom ya? Selesai?"

Aku menoleh tak percaya pada Febri.

"Banyak kok yang bikin syarat harus pakai kondom, atau ada yang gak mau anal, atau gak mau oral seks. Dan santai aja La." Ucap Febri pelan.

Aku menarik napas panjang, merasa lelah dengan semua ini.

"Kamu tahu, kamu bisa cuma sama satu orang aja kalau kita pacaran." Ujar Febri.

Kali ini aku tak meliriknya, pandanganku jatuh ke bawah, ke jari-jari kaki kami.

"Kamu tahu gak sih? Segimana aku berharap aku bisa punya perasaan ke kamu, biar kita bisa pacaran yang beneran." Kataku putus asa.

"Kalau kamu gak ada perasaan pun it's okay, aku gak ada niat maksa. Aku cuma pengin ada orang yang bisa kubawa ke luar, aku tunjukin sebagai pacar aku, ajak makan malem bareng orang tua, ikut ke undangan, dan lain-lain." Jelas Febri.

"Aku gak bisa, cukup di roleplayer aja aku pura-puraan. Karena itu kan one momment, one character. Setelah itu kita semua lupain karakter yang dipilih itu. Tapi kalau jadi pacar kamu, itu akan jadi tugas harian kan? Aku gak bisa stay in character terus menerus. Aku takut, nanti gak kenal sama diri sendiri." Kataku jujur.

Febri merangkulku, ia menepuk-nepuk bahuku beberapa kali.

"Aku gak mau maksa, semua terserah kamu. Terus kalau kamu gak mau jadi pacar aku, gak mau jadi roleplayer lagi, kamu maunya apa?"

Aku diam.

Pengin mati aja, boleh gak sih?

*********

"Galant telepon aku, katanya minta tolong sampein ke kamu, suruh bales chat." Ujar Febri, hari ini dia mampir ke salon ku.

"Aku gak mau ladenin Galant, kamu tahu, aku gak mau berhubungan sama cowok yang udah punya pacar, apalagi istri."

"Ya emang kenapa sih?"

"Ya gak mau aja, dia kan bisa minta istrinya buat jadi apa yang dia pengin, kenapa harus aku?"

"Ya gak setiap pasangan kan siap nerima keanehan pasangannya." Ujar Febri.

"Ya harusnya bisa dong! Udah setuju nikah ya harus siap sama semua hal yang ada di diri pasangannya." Kataku.

"Kalau gitu kita gak bisa lagi dong?" Tanya Febri, bikin aku heran.

"Maksudnya?" Tanyaku.

"Aku udah punya pacar La,"

Aku terdiam mendengar itu, entah kenapa aku merasakan lega dan sakit di waktu yang bersamaan. Lega karena akhirnya Febri menemukan orang yang bisa jadi pendampingnya, dan sakit karena orang tersebut bukan aku.

"Ya--ya bagus dong ka-kalau kamu punya pacar." Kataku sedikit terbata.

"Iya, dijodohin sama Mami, abis katanya udah waktunya aku punya hubungan serius."

Aku mengangguk.

"Kita masih bisa sering ketemu gak? Misal aku nginep di tempat kamu, boleh?" Tanya Febri.

"Ja-jangan deh, meskipun nanti kita gak ngapa-ngapain, kalau ada orang yang tahu tetep aja kesannya jelek. Dan, a-aku gak mau bikin pacar kamu sakit hati." Kataku, ya... mergokin orang yang kita sayang lagi sama orang lain tuh sakit banget, sumpah.

"Yaudah, tapi kita bisa tetep ketemu sebagai partner bisnis kan?"

Aku mengangguk, memberikan senyuman termanisku padanya.

Gosh, kenapa rasanya sesakit ini ya, tahu kalau Febri punya pacar?

**

Setelah Febri pamit, aku mencari iklan jual rumah, ya... aku pengin pindah dari rumahnya Febri. Aku jadi gak enak tinggal di situ.

Ku cari rumah daerah Bogor karena tempat usahaku kan juga di kota ini ya? Jadi bisa lebih gampang. Selama ini kan aku bolak-balik Jakarta-Bogor. Toh Gina juga udah mau lulus, jadi udah gak penting lagi tinggal di Jakarta.

Mendapat satu rumah yang menarik, aku hopeless sendiri liat harganya. Tuhan, kenapa sekarang harga murah mahal-mahal banget sih??

Kucari terus rumah-rumah yang dijual, atau minimal disewakan sampai akhirnya ada rumah yang aku sreg banget, dan harganya pun sepertinya bisa kuusahakan untuk mencari uang segitu.

Aku keluar dari ruanganku, pamit pulang ke beberapa karyawan ku yang sedang bekerja, langsung masuk mobil untuk menuju lokasi perumahan tersebut.

Yang aku senangi, lokasi rumah ini tuh agak masuk pinggiran tapi itungannya masih di dalam kota, begitu masuk gerbangnya aku langsung bertanya soal kantor pemasarannya.

"Di sini udah gak ada rumah baru lagi, Mbak. Kalau ada yang jual, berarti itu pemilik aslinya. Jadi bisa langsung ke yang bersangkutan."

"Ohh gitu, Mas, berarti ini saya langsung aja?" Tanyaku.

"Iya langsung aja kalau emang mau cek rumahnya, di jalan apa Mbak?"

"Kayu manis 2, Mas."

"Okee, mbaknya lurus aja ikutin jalan utama, di puteran ke tiga baru ambil kanan yaa, setelah taman."

"Sip, makasih Pak!"

Kututup kembali kaca mobil, lalu masuk ke dalam, berjalan sesuai instruksi yang diberikan security tadi.

Ternyata jaraknya gak terlalu jauh, dan begitu aku memasuki jalan kayu manis raya, kucari nih jalan yang ke 2, di lorong tersebut, ku lihat plang rumah yang dijual.

Well, rumah aslinya gak sebagus di gambar, karena warna cat-nya agak sedikit lebih kusam, tapi untuk bangunan sih sama aja. Kulihat halamannya, agak berantakan tapi bisa sih diberesin, hemmm, boleh nih kayaknya.

Mencatat nomor yang ada di banner, langsung ku hubungi saja, biar makin cepet.

Ketika panggilan terangkat, aku syok mendengar suara orang yang akan menjadi lawan bicaraku.

Gosh, itu suara dari seseorang yang amat sangat aku kenal.

*********

TBC

Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top