-Empat puluh satu-
"Apa? ART?" Tanyaku.
"Yap, Mbak Sumi, ART kepercayaan gue. Gue kan gak bisa pake dia gitu aja, entar kalau gue dilaporin gimana? Terus... gue kehilangan orang kepercayaan gue yang udah kerja sama gue selama 7 tahun!" Jelas Marshel.
"Oke, oke... mbak Sumi kaya apa orangnya?" Tanyaku, mulai bisa menerima 'karakter' yang diinginkan Marshel.
"Emm mending dua lagi hari ini lo main ke apartment gue, ketemu sama Mbak Sumi langsung, terus baru deh kita main. Pas kita main, semua ART gue suruh liburan."
Aku mengangguk pada Marshel, tapi dalam hati seperti risih sendiri bisa ada di posisi seperti ini.
"Oke, kamis-jumat gue ke apartment lo, kasih tahu aja alamatnya di mana." Kataku, lalu bersamaan dengan itu, sebuah pesan masuk ke ponselku.
Nasi Aaron:
I miss you already, La
Lord!
Otak gue isinya semua hal tentang malam itu
Best night I ever had!
Aku hanya membaca pesan tersebut, tidak berniat membalasnya karena.... gosh, aku merasa berdosa. Tapi di sisi lain, aku juga senang memiliki pengalaman itu bersama Aaron, dan jujur.. sejauh ini, memang itu lah sex terbaik yang kurasakan.
"Yaudah, gue balik ya?" Kataku.
"Lo belum habisin makanan lo!" Ujar Marshel.
"Gampang, gue bisa makan nanti. Bye!"
"Okeeey!"
Meninggalkan restoran tersebut, aku langsung menuju mobilku yang ada di parkiran, baru ketika aku memasang seatbelt, sebuah pesan masuk ke ponselku.
Irene FaPet:
Heh? Di mana sih lo?
Lo cuti kuliah bukan berarti kita cuti temenan juga ya!!
Membaca pesan itu membuatku merasa bersalah. Jadi tanpa membuang waktu, aku langsung membalas pesan Irene.
Me:
Di Jakarta, Ren
Ngurus adek
Lo di mana?
Ketemu yuk!
Irene FaPet:
Di kandang hahaha
Sini dong ketemu
Me:
Kandang kampus?
Yaudah gue otw yaaa
Dari Jakarta, agak lama
Irene FaPet:
Setahun juga gue tungguin lo!
Hati-hati!
Aku tak membalas pesan itu, tapi mengirim pesan ke Gina kalau mungkin aku akan pulang larut hari ini.
Gosh! Baru aja chatan sama Irene, aku udah berasa punya kehidupan lain, selain hidupku yang penuh masalah itu.
Menyetir ke arah Bogor, setiap jalannya membuatku bernostalgia, dulu... Ayah yang tiap bulan anter aku balik ke kostan, atau kalau pulangnya sama Antony, kami jadi bertiga, kadang Ayah yang nyetir, kadang Antony yang nyetir. Gosh! Aku kangen hidupku dulu.
Entah berapa puluh atau berapa ratus menit yang kuhabiskan di jalanan, akhirnya aku memasuki kawasan kampusku lagi. Hawa dingin yang menyenangkan kurasakan kembali. Emang ya, ademnya kampusku tuh juara deh.
Menuju fakultas peternakan, aku langsung parkir di tempat yang tersedia lalu menghubungi Irene.
Me:
Sampe nih!
Masih di kandang lo?
Irene FaPet:
Wait
Lo parkiran mana?
Me:
Parkiran sebrang
Mobil putih sendiri nih di jejeran
Irene FaPet:
Oke!
Kutunggu Irene di dalam mobil, padahal aslinya aku pengin keluar, pengin hirup udara segar di kawasan kampus lagi, persis seperti dulu. Tapi... jujur gak tau kenapa, aku takut.
Kulihat Irene dari jauh, berjalan menuju mobilku, ia menggendong tas ransel dan membawa sebuah jinjingan. Begitu ia mendekat, aku langsung membukakan pintu dari dalam.
"Ila, ampunnnn, kangen banget gue!" Serunya, masuk ke dalam mobil lalu meletakkan barang-barangnya di belakang.
"Sama anjir.... berasa dari planet lain tau gak sih gue!" Kataku.
"Kostan gue yuk! Tapi beli makanan dulu!"
"Siaaap!"
Aku menjalankan mobilku, keluar area kampus, langsung menuju pusat jajanan deket kampus, parkir lalu nyari cemilan-cemilan yang di pengin.
Setelah borong semua jajanan yang kita mau, barulah aku dan Irene meluncur menuju kostannya yang serem itu.
Aku membawa semua belanjaan, sementara Irene membawa barangnya yang banyak itu.
Gosh! Kangen juga aku nongkrong sama temen gini. Apalagi kostanku, kangen bangeet aku!
"Gimana? Gimana? Lo gak ada kabar apapun ya anjir setelah gue kasih nomornya Laura!" Ujar Irene ngambek.
"Sorry, gue pusing banget soalnya, lagian, om-om si Laura tuh miskin!" Kataku, sedikit becanda.
"Heh? Seriusan lu? Lu jadi La?" Tanya Irene, aku paham maksudnya apa.
"Iya, Ren. Gimana lagi coba?"
"Tapi urusan adek lo kelar kan? Lo dapet duit dari mana jadinya?"
"Kelar, Ren. Yaa gitu, gue ketemu sama cowok, pengusaha gitu yang punya fantasi sinting sama seleb."
"Hah? Gimana maksudnya?"
Akhirnya kuceritakan soal role-palyer yang kumainkan dengan Febri, dan entah kenapa.... aku bisa menceritakan semuanya pada Irene, dan itu bikin aku sedikit lega.
"Anjirrr! Lahan basah itu, La! Seger juga lu nyari duit pasarnya pengusaha-pengusaha muda tajir melintir!"
Aku cuma nyengir, entah kenapa Irene gak menganggap ini hina. Padahal... aku aja jijik sama diriku sendiri.
"Terus masalah lo apa lagi? Harusnya kelar dong ya?"
"I wish!" Kataku... lalu, kuceritakan soal drama orang tuaku dan Aaron, di sini Irene cuma bisa mengumpat saat semua rahasia Bunda dan Tante Hilda kubuka.
"Gilaaak! Asli, gilak!"
Aku menarik napas panjang, menghisap minumanku lalu setelah itu merebahkan diri.
"Gue jadi lo bunuh diri sih kayaknya La!"
Aku tersenyum kecil, mengingat ada momen di mana aku hampir menabrakan mobil yang ku kendarai.
"Terus lo sama Aaron gimana?"
"Aaron balik ke Amrik, buat nenangin diri dan ngurus kuliahnya. Bagus sih, dia butuh waktu buat proses semua masalah ini."
"Lo sendiri gimana?"
"Gue ada Gina, Ren. Dia masih terlalu kecil buat ditinggal sendiri. Salah-salah, entar dia masuk pergaulan gak bener dan itu malah bikin gue tambah pusing."
"Gilak, La! Lo lagi begini kepikiran gitu ya ngurus orang lain."
Aku hanya mengangkat bahu.
"Oh iya, Antony nanyain lo mulu. Tapi gue gak pernah jawab, karena ya gue gak tau kabar lo terkini kan?"
Aku diam mendengar nama Antony. Mendadak jantungku berdetak liar. Respon yang selalu diberikan tubuhku ketika mendengar namanya.
"Dia cerita ke gue, kalau dia di telepon Aaron suruh ke sana, nyari lo. Terus dia kebingungan sendiri, lo tuh kenapa. Yaa, gue kan cuma tahu kalau Bokap-Nyokap lo meninggal yaa, terus abang lo bawa kabur duit."
"Lo cerita sama dia?" Tanyaku kaget.
"Kaga! Gue cuma mikir, ya kalo lo atau Aaron atau Gina aja gak cerita... gue siapa sih buat ceritain masalah lo ke orang lain?"
Aku lega mendengar itu.
"Dia khawatir banget sama lo, La. Kaya nyesel gitu dia main sama Anita."
"Anita?" Tanyaku bingung.
"Itu, cewek bispak dari kampus laen, seneng banget tu cewek kalo dideketin cowok, padahal cuma jadi WC umum. Lonte emang!"
Aku diam mendengar itu. Pengin ikutan maki Anita, tapi... apa bedanya sekarang aku sama dia kan?
"Biarin lah, Antony harus nerusin hidupnya, dia punya cita-cita yang dari kecil udah dia penginin, biar aja kaya gitu. Gue gak mau ganggu hidupnya dengan masalah gue ini."
"Nah, gue juga bilang kaya gitu ke dia. Kan lo udah berulang kali kan bilang ke si Antony kalo emang dia hargain lo, biarin lo sendiri."
Aku mengangguk.
"Gue bilang itu ke Antony, dan bilang juga kalau kalian emang jodoh, ya entar juga balik lagi."
Untuk ucapan Irene itu, aku tak memberi respon. Aku hanya diam. Entah lah, dengan kondisiku yang begini, mikirin jodoh tuh bukan sebuah prioritas.
Sekarang, yang aku pengin ya hidupku tenang. Itu aja sih, simple, tapi susah.
"Elu La, hidup stress tapi tambah glowing ya? Kurusan juga." Ujar Irene, mungkin mengalihkan pembicaraan karena aku gak menyahut lagi soal Antony.
"Kurusan tuh karena stress!" Seruku.
"Kalah gue yang beneran diet sama lo."
Aku nyengir, lalu Irene menceritakan semua gosip di kampus yang kulewatkan. Sistem ospek yang udah berubah menjadi lebih baik, anak baru yang songong, sampe ada mahasiswi yang affair sama dosen. Seru banget lah pokoknya.
Sampai malam, kuhabiskan waktuku di tempat Irene, merasakan lagi suasana jaman dulu, seolah-olah, hidupku ini gak ada beban.
******
Aku melirik ke samping, melihat Marshel yang berjalan ke luar kamar, gosh.... akhirnya permainan melelahkan ini berakhir juga.
Masih terbaring di kasur, aku mengatur napasku yang sempat terengah-engah, lalu ketika sudah merasa lebih baik, aku bangkit, merapikan kamar Mbak Sumi sebelum ia kembali. Kata Marshel, malam ini semua ART-nya pulang, karena cuaca puncak lagi jelek, mereka gak bisa lanjutin perjalanan, jadi memilih pulang.
Aku menarik sprei yang kotor karena cairannya Marshel, menggulungnya lalu memasukannya ke keranjang yang ada di kamar ini.
Menutup tubuh dengan kimono, aku berjalan ke luar, masuk ke kamar ART satu lagi, melepas sprei nya juga biar gak dicurigai.
"Lo ngapain?" Tanya Marshel ketika aku keluar dari kamar ke dua, ia sudah berganti baju.
"Ngilangin jejak, ini sprei kotor mau di bawa kemana?"
"Taro aja, sebentar gue telefon petugas buat sekalian ambil baju kotor."
Aku mengangguk.
"Gue numpang mandi dong," Kataku.
"Ke kamar gue aja, sekalian bawa barang-barang lo,"
"Okay!"
Aku menuju ruang tamu, mengambil tas lalu masuk ke kamarnya Marshel. Langsung menuju kamar mandi, segera saja aku membersihkan diri.
Kuhabiskan waktuku berlama-lama di dalam kamar mandi, membersihkan diri berulang kali karena.... entah lah, aku merasa diriku ini kotor.
"La? Lo masih mandi?" Terdengar seruan Marshel dari luar.
"Ya? Kenapa?"
"Gak, ngecek aja, lo udah 2 jam di kamar mandi."
"Okee, bentar lagi kok." Sahutku.
"Sip, gue udah beli makanan juga nih, yok kita makan bareng!"
"Okeee!"
Ku selesaikan acara mandi ini, lalu mengeringkan tubuhku dengan handuk. Setelah itu, aku juga mengeringkan rambutku dengan hairdryer yang tersedia.
Selesai mandi dan berganti, aku keluar dari kamar Marshel, menghampirinya yang duduk di meja makan.
"Sorry ya bikin nunggu lama," Kataku.
"It's okay! Gue ngerti kok, cewek emang mandinya lama."
Well, aku sendiri sih sebenernya mandinya gak lama, apalagi kebiasaan dulu di asrama mandi gantian, jadi ya cepet. Cuma kan ini.... ya gitu lah, yaaa~
"Pesen apa?" Tanyaku, duduk di seberang Marshel.
"Chinesse food nih, doyan gak?"
Aku mengangguk, lalu kami pun mulai makan bersama.
"Oh iya, gue transfer kekurangan duitnya ya?" Ujar Marshel di sela-sela makan.
"Makan aja dulu sih," Kataku, tapi ia sudah sibuk dengan ponselnya.
"Hahah, gak apa, takut kelupaan nanti."
Aku hanya mengangguk, padahal kan kalau dia lupa ya aku tinggal ingetin kan yaa, soalnya... ya gak mungkin dong aku lupa dia belum bayar 150 juta? Hahahaha!
"Tuh, udah gue kirim, cek aja mutasi rekening lo."
Aku mengangguk, menghentikan makananku sebentar untuk membuka ponsel, lha? Kok yang masuk 200 juta?
"Shel, kayaknya kelebihan gak sih? Kan kemarin lo udah transfer 150?"
"Gak apa, bonus buat lo! Soalnya lo melebihi ekspektasi!"
Aku cuma melongo, lha anjir, ini mau bilang alhamdulillah juga kok kesannya agak rancu ya? Ditambah kemarin, Febri juga kasih aku 300 juta yang gara-gara jadi anak SMA.
Bener kata Irene, lahan basah banget ini pengusaha-pengusaha muda temennya Febri.
Hehehehehe!
*******
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top