-Empat puluh lima-
Gina sudah kuliah di Belanda, dan aku sendirian di Bogor. Meskipun ada di kota ini, tapi aku tak melanjutkan kuliahku. Entah lah, aku terlalu pengecut untuk kembali ke kampus.
Jadi, kegiatan rutinku ya begini, Senin sampai Jumat ke Salon, Sabtu sampai Minggu pagi dengan siapapun yang sudah ada jadwal denganku, dan Minggu siang aku istirahat full.
Ya, dalam satu bulan aku hanya mengambil 4 orang klien saja dan menurutku itu sudah lebih dari cukup.
Saat ini aku sedang ada di rumah, ini hari minggu dan aku baru saja pulang dari apartemen Marshel. Ya, tadi malam fantasinya adalah bermain dengan ibunya. Jadi.... aku jadi emak-emak deh semalem.
Ponselku berbunyi, membuatku menghentikan proses menghapus cat kuku warna merah darah ini.
Pak Nussa calling....
Lha? Kenapa ya?
"Hallo? Selamat siang Mbak Ila?" Sapanya ramah dikejauhan sana.
"Iya Pak Nussa, siang. Ada apa ya? Ada masalah sama rumah?" Tanyaku. Pak Nussa dan keluarga adalah orang yang menyewa rumah peninggalan Ayah dan Bunda.
"Naah ini Mbak, ada yang dateng ke sini, terus bilang kalau ini rumahnya Mbak, dan saya sama keluarga saya mau diusir sama dia."
"Ehh? Siapa? Itu rumah punya saya kok, Pak." Kataku.
"Tadi bilang namanya Jati, Mbak, dia ada di depan pagar, gak mau pergi, anak saya sampe takut."
"Ya ampun Pak, yaudah, Pak Nussa sama keluarga di dalem aja dulu yaa, saya ke sana sekarang, tapi saya dari Bogor, Pak, jadi agak lama." Kataku.
"Iya, Mbak, maaf sekali ya mengganggu."
"Saya yang minta maaf, kenyamanan Bapak tinggal di sana terganggu."
"Baik, Mbak Ila, saya tunggu ya."
Begitu sambungan terputus, aku menarik napas panjang. Jatiiiiiii.... kenapa harus balik lagi sihhh??
Dengan kesal, kulempar kapas yang sedang kupegang ini. Gosh! Ini hari minggu, harusnya aku istirahat dan mengurus diri. Tapi gara-gara Jati, aku harus nyetir jauh ke Jakarta. Sial!
Aku mengemudi dengan kecepatan lumayan. Tapi ya hari minggu, jalanan lengang pas di tol doang, begitu keluar tol... macet lagi di mana-mana.
Sesampainya aku di depan rumah lamaku, aku melihat Jati yang langsung bereaksi, dan.. dia gak sendiri, ada dua orang bersamanya, tampang mereka sama, begajulan.
Jati berjalan mendekati mobil, membuatku keluar dan menghampirinya.
"Adik kesayangan gue... makin cantik aja lu!" Serunya ingin memelukku tapi aku mendorongnya.
"Mau apa lu, Bang?"
"Oh please... gak ada sambutan buat abang lo ini? Dua tahun loh La, kita gak ketemu!"
"Serius, lo mau apa? Dua tahun lo ilang, terus tiba-tiba balik ke sini tuh apa? Lo mau apa?"
"Gue cuma mau pulang, tinggal di rumah gue sendiri. Masa gak boleh?"
"Rumah lo? Rumah lo? Eh anjing! Gak ada ya satu jengkal pun hak lo di rumah ini!" Seruku marah.
Mendadak, aku teringat dua tahun lalu, ketika aku memeluk kakinya, menahannya untuk tidak pergi meninggalkan aku dan Gina.
"Wowww! Jangan marah gitu dong, sist! Ini kan rumah Ayah sama Bunda, gue kan anak mereka juga. Masa iya gue gak ada hak di rumah ini?"
"Lo gak inget? Lo bawa kabur uang Ayah sama Bunda 5 M lebih? Bikin gue harus pontang-panting cari duit buat sekolahnya Gina!"
"Tapi lo lewatin itu semua kan? Berkat gue dulu, lo sekarang jadi begini... cantik banget... mobil mewah! Itu... berlian di jari lo, berapa krat?"
Refleks, aku langsung melayangkan tinjuku ke rahangnya, membuat Jati tersenyum kecil dan aku mengaduh.... aku gak bisa nonjok orang, malah tanganku yang sakit.
"Jangan kasar sist, malah nyakitin diri sendiri kan?"
"Lo pergi deh, Bang!"
"Kalo gue gak mau, gimana?"
"Please, jangan bikin hidup gue susah bang!"
"Well, kalo diliat-liat, kayaknya lebih susah hidup gue dari pada lo, La. Lo ada mobil, dandanan oke... lo gak tinggal di sini yang artinya, lo ada tempat lain. Lha gue? Gue cuma punya kaus di badan. Dandanan gue lusuh, gue gak punya tempat tinggal."
"Ohh please... jangan bikin gue iba dengan kegoblokan elu, Bang!"
"Gue dari tadi baik loh sama lo, La! Tapi lo ngatain gue anjing, lo nonjok gue, lo bilang gue goblok. Sakit hati loh gue La."
Aku menarik napas panjang, sudah tidak kuat meladeni Jati lagi.
"Dah, gue gak peduli! Ini rumah ada orang yang tinggal di dalemnya, lo jangan bikin masalah, gue mau balik!" Kataku lalu membalik badan dan Jati menahan tanganku.
Langsung kutepis tangannya, lalu menampar wajahnya, membuat ia lagi-lagi tersenyum.
"Yaudah, kalo lo mau kasar, okee! Gue sama temen-temen gue bakal bakar ini rumah!"
Aku langsung melotot.
"Gila kali lu ya? Ada manusia di dalemnya! Sakit jiwa lo Bang!" Seruku marah.
"Ya lo gak bolehin gue tinggal di rumah ini."
"Ya lo gak ada hak!!! Ini rumah punya gue sama Gina! Lo udah ambil tabungan Ayah sama Bunda. Gue sama Gina cuma punya rumah ini!"
"Heh... ini rumah kalau dijual laku kali 10 M! Jangan maruk lu! Gue juga mau." Suara Jati mulai meninggi.
"Yaudah, kalau emang 10 M kan pas dong? Lo udah ambil duit 5 M lebih, ini 10 M jatah gue sama Gina bagi dua jadi 5 juga kan?"
"Ya gak bisa gitu lah! Gue kan anak laki, jatah gue harus lebih banyak dari lo sama Gina."
"Astaga Bang... lo tuh ya... udah gak mikirin gue sama Gina, sekarang muncul mau jatah dari rumah. Lo gak punya hati ya?"
"Yaudah, lo pergi aja sana La, lo balik ke sini, ini rumah udah rata sama tanah."
"Ini rumah ada CCTV-nya Bang, muka lo kerekam dan gue tinggal bawa rekaman itu ke polisi! Mampus lu dipenjara." Kataku kalem, lalu berbalik, masuk ke mobil dan langsung menjalankanya.
Saat aku sudah agak jauh, aku melihat ke belakang dari kaca spion tengah, terlihat Jati dan dua temannya meninggalkan rumah itu. Syukurlah.
Aku segera menelepon Pak Nussa, yang untungnya langsung diangkat.
"Hallo Mbak? Tadi saya lihat Mbak Ila, ribut sama orang tadi ya Mbak?"
"Iya Pak, maaf yaa bikin gaduh. Tapi udah pergi kan dia sekarang?"
"Iya Mbak sudah pergi, alhamdulillah, makasi banyak ya Mbak Ila."
"Iya Pak, nanti kalau ada apa-apa lagi telepon saya aja ya?"
"Siap Mbak!" Katanya, lalu aku pun mematikan sambungan telepon ini.
Mumet gara-gara Jati, aku jadi mampir dulu ke sebuah cafe yang dulu sering kudatangi bersama Aaron.
Duh Aaron, sudah setahun lebih aku gak ketemu dia.
Setelah Tante Hilda dan Om Fauzi bercerai, Aaron memilih pindah ke Kanada, sekarang ia bekerja dan tinggal di sana. Serius deh, hidup kami sekarang sudah sangat berbeda.
Sebenernya, Aaron sempet ajak aku pindah bareng dia, kita tinggal di sana dan melupakan semua masalah yang ada. Tapi, aku masih cukup waras untuk tidak menerima ajakan tersebut. Karena... gimana pun, kami itu itungannya ya saudara sedarah.
Menyesap milkshake cokelat ku, aku bengong memandangi mural yang menghiasi dinding cafe ini.
Gosh! Aku sekarang 23 tahun, tapi hidupku masih gak jelas. Gimana ini?
Ponselku yang ada di meja bergetar, panggilan masuk dari Febri.
"Hay!" Sapaku.
"Hay? Kamu di mana? Tumben minggu gak di rumah?"
"Kamu ke rumah?"
"Iyaaa,"
"Mau nunggu gak? Kalau mau ya tungguin, aku di Jakarta, abis cek rumah." Kataku, tak sepenuhnya jujur.
"Ke apartment aku aja, mau gak? Kamu jadi gak usah nyetir jauh-jauh."
"Boleh langsung masuk?"
"Ya boleh lah, semua juga udah kenal kamu." Ucapnya.
"Okee!"
"See you there, Ila. Aku berangkat nih!" Serunya lalu sambungan pun terputus.
Sekarang Febri udah single lagi, dia menolak ketika Maminya menyuruhnya melamar Dewi. Febri bilang, dia masih pengin bebas.
Dan... aku pun masih berharap, seandainya aku punya perasaan pada Febri. Tapi entah kenapa, perasaan itu gak pernah muncul. Padahal kalau dipikir, Febri tuh kurang baik apa coba sama aku?
Gosh!!!
*******
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
Ps: terima kasih buat semua ucapannya 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top