-Empat puluh dua-
"Feb?" Panggilku, malam ini Febri main ke rumah, tapi di rumah cuma ada aku, soalnya Gina ada pergi gitu dari sekolahnya ke Singapore.
"Hemm?"
"Aku mau ambil franchise salon kamu dong, mau mulai usaha aku." Kataku.
Ya, duit yang banyak ini harus aku pake usaha, karena... aku gak mau terus-terusan jadi roleplayer. Duh apalagi dapet yang kaya Steve, salah satu temennya Febri yang pernah memintaku menjadi dominatrix.
"Aku kasih aja satu buat kamu ya? Hadiah dari aku."
"Hadiah apaan?" Tanyaku.
"Bukannya bentar lagi kamu ulang tahun ya?"
Aku diam.
Terkejut begitu menyadari betapa cepatnya waktu berlalu. Dan tak percaya aku mampu melewati setahun ini, dan masih tetep hidup sampai sekarang.
"Kamu mau buka cabang di mana?" Tanya Febri.
"Emmm, di mana ya? Di Bogor kali ya?"
"Boleh, kamu bilang aja ke Rinto ya? Nanti dia urusin."
"Okeee! Tapi management-nya aku yang urus ya?"
"Sip, aku cuma kasih buat kamu usaha aja, gaji karyawan dan lain-lain ya kamu yang urus, kan mau mulai usaha." Jelas Febri.
Aku mengangguk, tersenyum.
"Cuti kuliah aku udah mau kelar Feb, aku bingung mau balik lagi ke kampus apa engga." Kataku, mendadak curhat.
"Kenapa bingung?" Tanyanya, lalu ia merangkulkan tangannya di pundakku.
"Ya gak tahu, kaya gak siap aja gitu balik ke kampus, aku ngerasa jadi orang yang beda gitu."
"Ya bagus dong kalo ngerasa beda? Tandanya kamu berproses dari masalah yang ada. Lagian, semua orang pasti ngalamin perubahan kok."
"Tapi, gak semua perubahan yang aku alami itu baik, Feb."
"Ya gak apa, emang kenapa? Namanya juga hidup, all about balancing, ada yang baik, ada yang buruk, it's a normal thing,"
Aku hanya diam, mengangguk.
"Oh iya, kalau franchise salon kamu kasih, yaudah, aku beli franchise minuman kamu aja ya?"
"Coba satu dulu, sayang, kalo udah tau pola handle-nya gimana, baru buka yang lain." Jelas Febri,
"Yaudah, oke-oke!"
"Kamu mulai investasi juga, La. Gak usah jadi trader yang jual-beli gitu, capek, beli aja terus simpen, pantau paling satu bulan sekali buat liat pergerakannya, kalo dalam 3 bulan ada kenaikan, walau cuma dikit keep aja, terus beli yang lain, yang menjanjikan juga."
Aku mengangguk.
"Thanks Feb, sarannya."
Kali ini Febri yang mengangguk.
"Albatros ada di pasar saham? Aku beli itu ya?"
"Hahahaha, ya ada lah, yaudah, beli aja."
"Iya, beli ah, soalnya menjanjikan, kamu kan selalu inovasi, terus semangat lagi kerjanya, stabil tuh pasti, naik teruuus!"
"Amin, semoga aja bisa naik terus."
Aku tersenyum.
Kalau ngabisin waktu santai sama Febri gini tuh enak. Dia gak pelit sharing ilmu, well, dia gak pelit dalam hal apapun sih. Aku beneran dapet temen yang berharga deh. Tapi, ya kalau dia udah mulai kenalin aku ke temen-temennya, atau kalau dia request aku yang aneh-aneh, dah lah males aku.
Terakhir jadi chef aja ujung jariku kena panci panas, kan edan. Ya, gara-gara aku sih, lupa pindahin pancinya.
"Geter tuh HP kamu," Ujar Febri. Aku langsung mengambil ponselku dari atas meja.
Sebuah panggilan masuk dari Gina.
"Hallo dek, kenapa?"
"Kak, gue boleh pake kartu kredit yang lo kasih kan? Ada hal penting yang harus gue beli."
"Heh? Hal penting apa?"
"Entar lo tahu kok kak, boleh kan?"
"Emm, kalo penting yaudah, pake aja."
"Oke kak, makasi, bye!"
Panggilan terputus, aku melongo sendiri memandangi ponselku. Ini Gina kenapa lagi sih???
"Gina?" Tanya Febri.
"He'em."
"Kenapa dia?"
"Gak apa, cuma izin mau pake credit card."
"Ohh, mau beli apa emang dia?"
"Gak tahu, katanya sih penting," Jawabku.
"Yaudah, kan emang suka gitu kan, ada keperluan dadakan."
Aku mengangguk.
"Kamu laper gak La? Aku laper."
Aku langsung menoleh, entah kenapa pertanyaan itu membuatku teringat Antony. Dulu, dia yang sering nanya begitu. Gosh!
"Mau makan apa?" Tanyaku.
"Keluar yuk? Jalan-jalan cari makan." Ajak Febri. Duh Tuhan, aku makin kangen sama Antony jadinya.
"La? Kenapa bengong?" Febri menepuk bahuku pelan.
"Eh? Yaudah ayok!"
Kami berjalan ke luar rumah, ke mobil Febri yang terparkir di pinggir jalan. Dia nih ya, kalau balik kantor sukanya nyetir sendiri, kalau kemana-mana di jam kantor, baru pake supir. Aneh. Orang mah mending 24 jam gitu pake supir ya, biar gak capek, apalagi abis pulang kerja gitu ya.
"Shit!" Seru Febri, ia menendang ban mobilnya.
"Kenapa?"
"Kempes ini, tadi kayaknya engga,"
Aku menoleh ke ban yang ditendang Febri, dan iya dong, gembos banget bannya.
"Lha? Mau pake mobilku aja?" Tawarku.
"Jadi gak mood aku, delivery aja deh." Katanya. Aku mengangguk, lalu kami masuk kembali ke dalam rumah.
Di ruang tamu merangkap ruang keluarga ini, Febri berbaring di sofa, jadi aku memilih duduk di karpet, bersandar padanya.
"Aku pesen taco, dimsum sama donat! Bantuin abisin ya." Katanya.
"Lha? Banyak amat?"
"Bete abisnya, ban kempes gitu. Apa dikempesin orang ya gara-gara parkir di pinggir jalan gitu?"
"Emmm, kayaknya engga sih Feb, soalnya tetangga lain juga ada kok yang parkir di depan. Kamu mau bannya aku pompa? Aku punya pompa ban yang elektrik itu loh, jadi gampang."
"Gak deh, besok aja suruh supir anter mobil ke sini, terus itu mobil dia bawa. Boleh kan aku nginep sini?"
Aku mengangguk.
Kalau soal tidur bareng Febri, aku tuh tenang. Karena kalau sama dia tuh beneran tidur yang masing-masing gitu, kita di kasur yang sama tapi ya tidur aja biasa. Kaga pake peluk-peluk, apalagi cuddling yang menjurus gitu, aman lah pokoknya.
Hampir satu jam berlalu, makanan yang dipesan Febri mulai berdatangan, dan ngeliat semua menu yang dia pesan, aku jadi laper.
"Eh iya, La, besok suntik yuk!" Ajak Febri tiba-tiba, bikin aku jadi menahan donat yang akan kugigit ini.
"Hah? Suntik apa?"
"Biasa, sekalian kita perawatan aja yuk? Kalau sendiri aku malu, kan kalo sama kamu santai."
"Jihhhh?"
"Iya gak?"
"Yaudah iyaaa!" Ya gak nolak juga sih aku, wong di kliniknya kecantikannya Febri sekali suntik plus perawatan bisa sampe 25 juta. Kan lumayan ya, aku dapet gratisan.
******
Bulan ini, aku syok liat tagihan kartu kredit ku, asli, ini sih Gina harus aku marahin.
Aku pulang dari Salon lebih cepat dari biasanya, mau langsung ketemu Gina kalau anak itu pulang sekolah.
Sekitar pukul 4 sore aku di rumah, tapi Gina belum juga pulang. Jadi, aku segera meneleponnya, mengecek keberadaan.
"Hallo Kak, kenapa sih?"
"Di mana lo?" Tanyaku.
"Mall, kumpul sama temen, dah ya?!"
"Balik gak lo sekarang!"
"Apa sih? Lo ribet banget kak?!" Serunya.
"Kalo lo gak balik sekarang, lo gak akan ketemu gue lagi!" Ancamku.
"Iya, iya, ini balik! Rese banget jadi orang!" Keluhnya.
Aku menghempaskan diri di sofa, beneran dongkol sama kelakuan Gina yang ini. Kesel banget, karena... sumpah ya, gak ada otak banget ini anak.
Empat puluh lima menit kemudian, kudengar suara mobil di depan rumah, dan tak lama Gina dateng sambil mencak-mencak.
"Kak? Lo gak asik banget! Gue lagi sama temen gue seru-seruan malah disuruh balik!" Omelnya, tapi kali ini aku lebih punya alasan untuk marah, jadi aku gak mengalah pada anak kecil ini.
"Lo gila tau gak dek! Lo seenak jidad aja pake kartu gue, tahu gak tagihan gue bulan ini berapa?!" Bentakku.
Gina langsung terdiam.
"Delapan ratus juta dek! Brengsek! Lo beli apa aja sampe segitu? Lo kira gue ada duit buat bayar itu semua?!"
Gina hanya diam.
"Dek... Kalau Ayah sama Bunda masih ada juga kayaknya gak bakal sanggup biayain hidup lo yang sinting ini!" Emosiku meluap, dan itu belum keluar semua. Aku masih mau marahin Gina.
"Gila lo, Gin! Lo sadar gak? Kita rumah aja numpang, lo anter jemput hasil dari belas kasihan orang! Jangan berasa anak konglomerat lu!"
"Ya... kan dapet uang kan dari sewa rumah?" Ucap Gina pelan.
"Itu rumah kita sewain per-tahun dek! Lo tahu berapa duitnya, lo juga udah ambil setengahnya kan? Setengahnya gue pake buat buka usaha, biar gue bisa hasilin duit sendiri dan gak bergantung sama orang."
"Yaa, lo kenapa gak mau pacaran sama Kak Febri? Sok cantik lo! Kan kalau lo sama Kak Febri gak usah pusing mikirin duit! Aneh dasar! Giliran gue mau deketin kak Febri, lo larang!"
Aku menarik napas panjang, gosh.... dia gak tahu aja Febri aslinya gimana. Dan aku gak sama Febri pun karena perasaan ke dia tuh gak pernah ada, dan aku gak mau maksain itu.
"Lo kalau gak mau hemat, lo cari sana duit buat kelakuan hedon lo itu, sekalian... buat bayar kuliah sono!"
Kutinggal Gina, aku masuk ke dalam kamar dan menguncinya.
Tuhan, kenapa sih Gina gak berubah? Dia malah makin parah.
Aku melihat rincian tagihanku, stress mikirin bayarnya gimana. Emang sih aku ada uang, cuma itu sudah kusiapkan untuk membeli franchise minuman milik Febri. Kan kalau aku buka kedai minuman itu, aku bisa dapet pemasukan yang lumayan, jadi aku gak perlu jadi roleplayer lagi.
Tapi karena tagihan ini, sepertinya aku harus menunda pensiun jadi roleplayer.
Gosh!
********
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
Ps: bakalan double update dalam rangka hari kemerdekaan Indonesia ke 76
Selamat ulang tahun Negeriku, semoga bisa lekas pulih dari pandemi sehingga Ibu Pertiwi tersenyum kembali.
Saya cinta kamu, dengan segala hiruk-pikuk di dalamnya 🇮🇩🇮🇩
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top