-Empat puluh delapan-

Hari-hari berlalu begitu saja. Sudah tidak ada semangat hidup dalam diriku. Jujur, aku pengin banget mati, biar semua beban ini terlepas dari pundakku.

Tahun demi tahun berjalan sangat berat, minggu depan aku akan terbang ke Belanda untuk menghadiri acara wisuda Gina. Ya, walaupun aku kuliah gak sampe beres, senggaknya aku bisa kuliahin adekku sampe selesai.

Hidupku makin gak jelas, sekarang seminggu bisa tiga atau empat kali aku 'main' bersama laki-laki aneh di luar sana. Gak cuma temennya Febri, tapi kenalan Febri yang umurnya jauh di bawah Febri juga. Karena rata-rata, sekarang temennya Febri sudah menikah, dan aku sudah gak mau berhubungan lagi dengan mereka semua.

Utang? Sedang menuju lunas, masih jauh sih, baru kebayar setengah, tapi lumayan kan ya?

Ponsel di mejaku bergetar, untuk pertama kalinya dalam 6 tahun ini, tante Hilda menghubungiku.

Mama Aaron:
Ila sayang,
Boleh gak kita ketemu?

Aku memandang pesan tersebut lumayan lama, sebelum akhirnya memutuskan untuk membalas pesan tersebut.

Me:
Boleh Ma,
Nanti ya? Pulang Ila kerja

Mama Aaron:
Makasi sayang
Kamu ke rumah mama ya?
Ini lokasinya

Tante Hilda menautkan lokasi yang begitu kubuka, ternyata jaraknya lumayan jauh dari posisiku saat ini.

Me:
Oke Ma,
Nanti sore Ila ke tempat Mama

Mama Aaron:
Makasi sayaang

Aku tak membalas pesan tersebut, lanjut bengong lagi dan memikirkan hidup ini.

Setelah Gina selesai kuliah dan ia bisa hidup mandiri. Tanggung jawabku juga selesai kan? Aku benar-benar sudah tidak kuat menjalani hidup ini. Aku, aku ingin mati.

Melamun seharian sampai sore menjelang, kukemudikan mobil menuju rumah tante Hilda.

Jam pulang kerja, macet benar-benar tidak bisa ku hindari hingga aku sampai di lokasi setelah adzan maghrib terdengar.

"Permisi!" Seruku teriak dari luar pagar, lalu tak lama seorang wanita muda keluar.

"Mbak? Bener ini rumahnya Bu Hilda?" Tanyaku.

"Oh iya, Ibu ada di dalem! Non Ila ya?"

"Iyaa,"

"Sebentar saya bukakan pagarnya dulu,"

Aku masuk kembali ke mobil, begitu pintu pagar terbuka lebar, kuparkirkan mobilku di halaman dah tante Hilda yang luas.

"Ayok masuk Non, Ibu sudah nunggu lo, semangat, pengin makan malem sama Non Ila."

Aku hanya mengangguk. Kami berdua berjalan ke dalam dan begitu aku melihat tante Hilda, aku langsung merasa bersalah.

Gosh! Bertahun-tahun aku dan Aaron mengabaikannya, padahal Tante Hilda selama ini seperti berusaha menjangkau kami, tapi... kami gak pernah mau.

"Gamyla, sayang!!" Tante Hilda berjalan mendekat, dan memelukku erat sekali. Aku pun membalas pelukannya, rasa sedih mendadak menyelimuti aku, tapi kutahan untuk tak menangis.

"Mama kangen banget sama kamu, sayang."

"Maaf ya, Ma. Baru bisa temuin Mama sekarang."

"Gak apa-apa, itu mungkin hukuman buat Mama. Tapi mama seneng, kamu sekarang makin cantik! Jadi cewek mandiri! Aaron juga mandiri di Kanada, Mama seneng!" Ucapnya sambil meremas lengan atasku.

Aku hanya mengangguk kecil. Tak sanggup berbicara.

Kubantu tante Hilda menyiapkan makan malam untuk kami, dan baru kuperhatikan, ternyata banyak sekali waktu yang kulewatkan. Sekarang tante Hilda sudah terlihat menua. Beberapa helai rambutnya kompak memutih, dan kerutan diujung matanya juga tak bisa ditutupi.

Setelah makanan selesai, kami langsung duduk di kursi meja makan, saling berhadapan.

"Nih, Ila mau apa aja? Nasinya segini cukup?" Tante Hilda mengambil piring, sudah menuangkan nasi dan lauk untukku.

"Ila mau semuanya Ma, tapi dikit-dikit aja." Kataku.

"Oke sayang, makan yang banyak yaa."

Tante Hilda meletakkan beberapa jenis lauk ke piringku, lalu mengambil sendiri untuknya. Kami pun makan bersama.

"La, Mama tahu loh rumah kamu kebakaran, itu gimana ceritanya? Terus kenapa gak dibangun lagi?" Tanya Tante Hilda di sela-sela kunyahannya.

"Emmm, itu rumah dibakar Bang Jati, Ma. Dia minta hak dia di rumah itu, tapi Ila bilang kalau itu rumah punya Gina sama Ila, dia ngamuk ya dibakar. Gitu deh Ma."

"Terus kenapa gak diperbaiki? Itu jadi rumah kosong loh, Nak. Serem."

"Gak ada uang, itu juga kalau diperbaiki kan bangunan lama harus diancurin dulu. Malah banget pasti. Di jual juga gak laku, serba salah, Ila pusing."

"Mama bantu perbaiki ya?"

"Gak usah Ma, nanti kalau Jati liat, dia pikir Ila ada duit, terus betingkah lagi dia yang bikin semua orang rugi." Kataku.

"Sayang banget, padahal rumahnya enak ya La?"

Aku hanya mengangguk kecil, lanjut makan karena masakan Tante Hilda ini enak banget.

"Ila minggu depan mau ke Belanda, Gina wisuda. Mama mau ikut?" Ajakku, ya, aku pengin ada orang tua yang hadir di wisuda Gina. Kalau Bunda dan Ayah gak bisa, seenggaknya kan bisa diwakili oleh tante Hilda, sahabatnya Bunda.

"Boleh Mama ikut?"

Aku mengangguk. Senyum tante Hilda pun makin merekah. Aku membalas senyumnya. Senang, bisa membuat ibu kandungku ini tersenyum setelah sekian lama kami gak bertemu.

******

"Kak, lo bareng gue aja, tinggal di sini. Kerja di sini." Ucap Gina ketika hanya ada kami berdua.

Tante Hilda tadi pamit sebentar, ingin membeli bahan masakan untuk merayakan kelulusan Gina.

Kami siang tadi sudah menghadiri upacara kelulusan di kampusnya Gina.

"Gak bisa dek, lo tahu, gue ada hutang ke Febri, gue harus kerja di sana buat bayar itu semua."

"Gue dapet beasiswa Kak, tapi gak di Belanda, Austria, gue boleh kan lanjut sekolah di sana? Ada program magang juga, jadi gue sambil kerja."

"Boleh, hidup kita udah gak sehat di Jakarta, lo mau tinggal di sini pun gue gak akan larang. Belanda, Austria, terserah, di mana aja. Gak balik ke Jakarta pun gak apa-apa, nanti kalau kita mau ketemu, ya gue yang samperin lo, atau kita janjian di negara mana, sekalian liburan." Kataku.

Gina mengangguk, lalu ia memelukku erat.

"Kak, makasi yaa, lo gak pernah ninggalin gue. Sejak Ayah sama Bunda gak ada, lo selalu ngurus gue. Bahkan waktu kelakuan gue gila pun lo tetep ada buat gue. Lo kerja keras buat gue sekolah, kuliah, biaya hidup di sini. Makasi banyak ya Kak!"

Aku lega mendengar kalimat itu keluar dari Gina, seolah semua lelah yang kurasakan terbayar lunas.

Gina sudah bisa mandiri. Berarti dia gak butuh aku kan? Bisa kan aku pergi dengan tenang?

Tapi.... bagai mana dengan tanggung jawabku ke Febri? Ya, utang itu kan tanggung jawab, dan gak akan putus walaupun aku mati kan?

Gina melepas pelukannya dan tak terasa kami berdua sama-sama meneteskan air mata.

"Tadinya, Kak Antony mau ke sini loh Kak, tapi dia ada urusan yang gak bisa ditinggal." Ujar Gina, dan ucapannya itu bikin jantungku langsung bereaksi.

"Dek, lo tahu gue gak mau ketemu dia."

"Emm, iya sih, tapi Kak, dia nyari lo terus tau, sumpah, gak pernah absen nanyain keadaan lo. Ya gue jawab setahu gue yaa.... terus gue nanya, kenapa gak langsung chat Kak Ila aja? Eh dia jawab... Ila kan janji mau hubungin gue kalau dia siap, yaudah tungguin itu aja, dia juga bilang kalau gue masih hargain dia jangan ganggu dia, ya gue hargain. Gitu katanya Kak."

Aku menelan ludah, beneran deh, aku gak akan pernah punya nyali kayaknya buat hubungi Antony lagi, buat ketemu dia lagi.

Terlalu banyak hal yang keluar jalur di hidupku ini.

"Lo sama Kak Febri gimana? Masih deket?" Tanya Gina.

"Masih, kita masih sering ketemu." Kataku.

"Kenapa gak jadian aja sih Kak? Kalo emang lo udah gak mau ketemu kak Antony, yaudah sama Kak Febri aja, dia baik sama kita, sama lo terutama. Kalian sering ketemu, apa lagi?"

Cinta, Gin. Cinta yang gak bisa dipaksain. Kataku dalam hati.

"Atau lo ada orang lain? Jangan bilang kak Aaron ya? Kalian tuh gak bisa!" Seru Gina karena aku diam saja.

"Gak lah, gue juga waras kalo itu, gak bakal sama Aaron." Kataku.

"Yaudah kak, apa aja deh, yang penting lo bahagia!" Ucap Gina terdengar tulus.

Aku mengangguk. Aslinya, aku gak tahu kehidupanku bakal gimana, atau berakhir dengan siapa.

Yang aku tahu sekarang, aku lelah.
Aku merasa Gina sudah bisa mandiri dan aku ingin mundur. Aku ingin semuanya selesai.

Sudah, hanya itu saja yang kuharapkan untuk sekarang.

Pergi dengan tenang.

********

TBC

Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo

Ps: ada spoiler di bawah~

***

Udah ending~
Tinggal nunggu aja kalian yaa

One day one chapter~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top