-Empat belas-
Antony Sendjaja:
Gimana temen lo?
Aku melongo ketika pesan itu masuk. Ini sudah seminggu berselang sejak Olive pingsan. Dan janin yang baru berumur 6 minggu itu juga sudah keluar. Olive sudah baik-baik saja meski jadi lebih muram.
Me:
Udah sehat dia
Kan cuma kecapekan
Butuh istirahatlah
Antony Sendjaja:
Lo jangan sampe kek gitu
Me:
Kenapa?
Antony Sendjaja:
Kan gue gak sekelas sama lo
Nanti yang bawa lo siapa?
Me:
Emang temen gue lo doang!
Antony Sendjaja:
Udah hafal belom lo theme song Dragon Ball?
Aku tak langsung membalas pesan tersebut. Ini Antony ngajak ngobrol santai banget ya? Dia emang lagi gabut terus pengin chat-chatan kali ya?
Udah malem loh ini, jam 11 malam.
Me:
Gak tertarik sama dragon Ball
Antony Sendjaja:
Terus tertariknya sama apa?
Gue?
Me:
Wedew
Antony Sendjaja:
Lagi di asrama lo?
Me:
Iya lah, di mana lagi?
Antony Sendjaja:
Berani gak naik ke rooftop sekarang?
Me:
Ngapain?
Antony Sendjaja:
Ya liat nanti aja
Me:
Gak ah takut
Antony Sendjaja:
Cupu
Gak bakal ada setan
Tenang aja
Gue kan pawangnya setan
Me:
Bukan takut setan
Antony Sendjaja:
Terus?
Me:
Suka ada yang gak beres di rooftop kalo jam segini
Antony Sendjaja:
Misalnya?
Me:
Gitu lah
Suka ada yang tidak senonoh
Antony Sendjaja:
Seriusan?
Me:
Emang lo gak tau?
Antony Sendjaja:
Kaga
Udah ke atas dong
Pleaseee
Me:
Yaudah tapi bentar aja ya
Antony Sendjaja:
See u~
Aku melongo baca itu. Maksudnya apa nih? Antony ada di atas?
Tapi... mana aku udah bilang lagi aku ke atas. Aduhh.
Kulihat teman-teman sekamarku. Mereka sudah tidur. Jadi aku turun dari kasur pelan-pelan, lalu ambil jaket karena yakin di atas pasti dingin. Setelah itu, aku keluar kamar, naik ke atas.
Di perjalanan, ponselku berbunyi, telefon dari Antony.
"Di mana?" Tanyanya.
"Lagi jalan." Jawabku.
"Okeee, cepet yaaak!"
"Hemm!" Jawabku. Tak ada balasan dari Antony, tapi sambungan telepon juga gak mati.
Aku bejalan dalam diam, naik anak tangga satu-satu. Dan begitu tiba di atas, hawa dingin langsung menyerangku.
"Dingin gilaaaa!" Seruku.
"Pake jaket kan lo?" Hampir aku terlonjak, suara Antony di ponselku bikin kaget.
"Ya pake lah!"
"Udah di atas? Coba sekarang ke pojok timur." Titahnya.
"Ada apaan di pojok timur?"
"You'll see."
"Hemm," Kataku, lalu aku mengikutinya lagi perintahnya, berjalan ke pojok timur, dari sini tidak terlihat apa-apa. Gelap. Well, mungkin karena kampusku dikelilingi oleh pepohonan jadi dari ketinggian segini pun, kami gak bisa liat city-light.
"Udah di pojok?" Tanya Antony.
"Iya,"
"Oke, hay!" serunya, lalu di depanku, berjarak mungkin ratusan meter, kulihat setitik cahaya yang berkelap-kelip.
"Itu lo?" Tanyaku.
"Yap! Gue juga lagi di rooftop nih, tapi asrama cowok."
"Tumben lo di asrama?" Ledekku.
"Yee kadang kan gue juga jadi anak baik tahu."
"Hehehe, tumben."
"Coba nyalain flashlight lo, biar gue juga tahu lo beneran ada di sana." Katanya. Dan tentu saja langsung kulakukan yang ia katakan itu.
"Hay!" Kataku, sambil menyalakan dan mematikan flashlight dari HP.
"Iya bener, lo ada di sana. Hehehehe!"
Aku tersenyum sendiri, tahu betul kalau Antony tidak bisa melihatnya, tapi entah kenapa aku merasakan kalau Antony tersenyum juga di kejauhan sana.
"Bentar lagi UAS," Ujarnya. Ya, bulan depan kami sudah mulai UAS.
"Iya, cepet yaa... abis itu asrama kelar deh." Kataku,
"Mau kost nanti La?"
"Iya lah, masa bolak-balik Jakarta?"
"Mau kost di mana?"
"Gak tahu, di sekitar sini ada kostan yang enak gak sih?"
"Kostan warna-warni enak." Katanya.
"Terlalu bebas, dan... kan si Rizal di situ."
"Oh iya lupa!"
"Lo kost di situ, Ton?" Tanyaku.
"Kaga, kostan temen, ngapain gue ngekost? Rumah gue di Bogor kok. Buat stay deket kampus tinggal nebeng kostan temen."
"Rumah lo di mana?"
"Budi Agung,"
"Daerah yang waktu kita ketemu ya?"
"Yang lo beli p*cari tiga gentong? Iyeee daerah situ,"
"Ngekost lo di situ?"
"Dibilang gue kaga ngekost."
"Oh iya, hahahahah, terus kostan siapa?"
"Temen, itu kostan banyakan sih, kita patungan buat dijadiin markas. Tapi temen gue, Roni, dia yang paling gede bayar, tinggal di situ dan ngisi barang-barang juga."
"Ohhhh, gitu."
"Hemmm,"
Kemudian hening, kami sama-sama gak bersuara. Dan di kejauhan sana, aku melihat kembali lampu yang kelap-kelip.
"Hay!" Seruku.
"Heheheh, kok diem sih?"
"Bingung mau ngomong apa."
"Yaudah, udah malem juga, turun gih, balik lagi ke kamar." Titahnya.
"Lo juga turun?" Tanyaku.
"Kalo lo udah di kamar, terus telepon mati, baru gue turun."
"Yaudah gue turun sekarang yaa!"
"Sip!"
Sebelum berbalik, aku menyalakan flashlight-ku, lalu menggerakan ponselku ke kiri dan ke kanan.
"Iya keliatan, dadah!" Serunya, membuatku tersenyum kembali.
Setelah itu aku berbalik, menuruni tangga pelan-pelan, langsung berjalan menuju kamar.
"Bye Ila, goodnight, makasih udah temenin malem ini." Ucap Antony sebelum akhirnya panggilan terputus.
Aku tersenyum, menarik selimutku lebih tinggi lagi.
Ya ampun, kok aku deg-degan ya?
*******
Sejak kejadian telepon malam bersama Antony, aku jadi sering chat sama dia. Ngobrolin hal ringan. Malah kadang, aku cerita soal dosenku yang kasih tugas kebanyakan.
Malam ini, di kamar hanya ada aku, Jingga dan Olive. Irene tadi izin, hari ini pacarnya ulang tahun, jadi dia ada kemungkinan gak balik.
Aku sih ya gak masalah, biarin aja Irene main sama pacarnya, abis beberapa hari yang lalu, Irene pernah cerita kalau dia ribut lagi sama pacarnya. Semoga kalo udah ketemu gini bisa baikan kan ya?
Antony Sendjaja:
Gimana La?
Tugas kelar?
Pesan tersebut masuk, entah kenapa tiap chat dari Antony masuk tuh aku langsung deg-degan, tapi di satu sisi, aku juga senyum-senyum. Gak jelas deh pokoknya.
Me:
Baru dua yang selesai
Satu lagi lanjut besok deh
Antony Sendjaja:
Kenapa?
Me:
Jingga udah tidur
Olive juga bentar lagi tidur kayaknya
Antony Sendjaja:
Put your earphone
Gue telepon
Temenin lo
Me:
Beneran?
Antony Sendjaja:
Cepet
Tak membalas, aku langsung menyambungkan earpods milikku dan detik berikutnya panggilan telepon dari Antony masuk. Jadi ya langsung aja kuangkat.
"Yok, kerjain."
"Iya!"
"Kenapa La?" Malah Olive yang nyaut.
"Engga Liv, ngobrol di telefon ini." Aku menunjuk ponselku.
"Ohh, okeee!"
Baru akan membuka buku lagi. Aku dan Olive tiba-tiba tersentak ketika pintu kamar kami yang terbuka dari luar, Irene ada di sana, wajahnya terlihat marah.
"Gila lo ya Liv, gila tau gak!" Seru Irene kencang, sampai membuat Jingga terbangun.
"Kenapa itu?" Tanya Antony di telingaku, tapi tak kujawab.
"Ren kenapa?" Tanyaku kalem, aku berdiri, menuju pintu, menutupnya agar tidak ada anak-anak lain yang melihat keributan ini.
"Si Olive nih gila banget La, sumpah! Gue kira dia sahabat gue!" Wajah Irene merah karena marah, aku melirik Olive, ia terlihat pucat.
"Kenapa sih Ren?" Kini Jingga yang bertanya.
"Dua kali gue bantuin lo aborsi, Liv! Dua kali juga lo gak mau bilang siapa yang hamilin lo! Ternyata lo jahat banget ya Liv! Lo jadi selingkuhan cowok gue! Jahat lo Liv, sumpah!"
"Hah?" Tentu saja aku dan Jingga melongo denger itu semua.
"Sumpah, parah lo! Diem-diem busuk! Gak punya hati lo, Liv!" Seru Irene dan ia pun berbalik, membanting pintu di belakangnya.
Aku diam, gak tahu harus respon apa. Kaget, sumpah.
"La, lo kejar Irene deh, biar ni bocah gue yang marahin." Ujar Jingga, turun dari tempat tidurnya.
Aku mengangguk, langsung saja aku keluar dan melihat ujung baju Irene di tangga menuju atas. Aku berlari menyusulnya tapi Irene gak berhenti.
Ketika sampai di rooftop, kudekati Irene, dan ia langsung memelukku.
"Gue kira dia sahabat gue, La!" Irene yang sedari tadi marah kini terisak.
Aku gak tahu harus bilang apa, jadi aku hanya diam, mengusap punggung Irene, mencoba menenangkannya.
"Gue cerita kan sama lo? Dari kapan tau gue ribut sama Arman, gue ngerasa dia beda. Tapi kalau ketemu, gue ilangin semua pikiran buruk gue. Sampe tadi... gue gak sengaja liat HP-nya, dan ada chat-chatan dia sama Olive. Mereka deket udah lama La, dari kita main pertama kali, Arman deketin Olive. Gue gak nyangka aja Olive kaya gitu. Dia ngeladenin Arman."
Aku masih diam. Irene melepaskan pelukannya dan kini kami sama-sama menghadap ke kegelapan malam.
"Gue udah ada firasat bakal putus sama Arman, tapi gak nyangka bakal begini, gak nyangka ada Olive di tengah-tengah hubungan kami."
"Ren, I'am so sorry, gue bahkan gak tahu harus bilang apa." Kataku akhirnya.
"Kayaknya gue gak bisa asrama lagi, gue gak tahan sekamar sama orang yang udah nusuk gue, La."
"Ren? Asrama sisa 2 bulan lagi." Kataku.
"Gak La, gak bakal tahan gue."
"Terus gimana? Lo mau balik?" Tanyaku.
"Gue gak bisa balik semalem ini. Tapi malem ini juga gue gak mau tidur di kamar."
Aku diam.
"La? Gamyla?" Loncat dong aku, kaget anjir, ternyata teleponnya Antony masih nyambung.
"Kenapa lo, La?" Tanya Irene.
"Engga, ini.... Apa sih Ton? Bikin kaget aja."
"Suruh Irene nginep di kostan temen gue aja, lagi kosong kok."
"Beneran?"
"Ngomong ama siapa sih lo?" Tanya Irene.
"Ren? Mau nginep di kostan temennya Anton?" Tanyaku.
"Hah?"
"Antony, yang anak kedokteran hewan." Jelasku.
"Boleh emang?"
"Boleh!" Jawab Antony.
"Boleh katanya Ren,"
"Lo temenin ya?" Pinta Irene.
"Iya La, lo temenin aja."
"Yaudah iya, gue temenin." Aku menjawab Irene dan Antony sekaligus.
"Yaudah bentar, gue jemput kalian berdua, naik motor tapi ya? Bonceng tiga." Ujar Antony.
"Okeee!" Sahutku.
Aku tersenyum pada Irene, kemudian mengajaknya turun. Yaudah lah, buat malem ini, biarkan Irene menenangkan dirinya dulu.
Nanti baru deh dipikirin enaknya gimana.
******
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
****
Iklan yhaaa
Yuks yang mau baca cerita di atas langsung melipir ke play/apps store
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top