-Dua puluh tujuh-

"Sekolah gue gimana Kak?" Tanya Gina.

"Lo lagi libur kan?"

"Iya, tapi Ayah belum bayar buat tahun berikutnya."

Aku diam. Ini tahun terakhir Gina di SMA, dan sekarang... kami terkendala ekonomi. Aku bahkan sudah satu bulan gak ke kampus, syukurlah karena memang libur. Tapi... aku melewatkan PKL dan lain sebagainya.

"Bayaran sekolah lo pertahun kan? Berapa?" Tanyaku.

"Tiga puluh ribu, Kak." Jawabnya.

"Dollar?" Syok aku dengernya.

Edan, uang sebanyak itu dari mana?

"Yaudah, besok kita ke bank, cek tabungannya Ayah sama Bunda, kalau gak salah Ayah tuh punya asuransi jiwa, kita ahli warisnya, pasti dapet uang. Semoga sih semuanya cukup buat sekolah lo sama kuliah gue."

Gina mengangguk, dan kami pun ke kamar Ayah, mencari dokumen yang diperlukan untuk besok dibawa ke bank.

**

Pagi hari, aku dan Gina sudah siap, mobil Bunda bahkan sudah kupanaskan, agar berkendaranya lebih nyaman.

"Yok, Kak!"

Aku mengeluarkan mobil dari rumah, sementara Gina mengunci pintu. Sejak kejadian kamar Ayah dan Bunda berantakan, aku dan Gina ganti gembok pagar, kami berdua takut kalau ada penjahat sementara kami hanya berdua tinggal di dalam rumah.

Perjalanan menuju bank hening, aku dan Gina memang tak banyak bicara. Hanya mendengarkan penyiar radio dan lagu-lagu yang diputar oleh penyiarnya yang menjadi teman kami dalam perjalanan.

Begitu sampai di bank, aku dan Gina bertanya pada satpam, mengatakan tujuan kami, lalu kami diarahkan ke lantai atas.

Tidak perlu menunggu, kami langsung dilayani. Aku menceritakan semua yang terjadi pada orang tuaku, aku bahkan membawa surat keterangan kematian, surat kecelakaan dan semuanya.

"Maaf, tapi di data saya semua tabungan atas nama bapak Bagus Hermawan dan ibu Kenanga Permatasari sudah diambil oleh ahli warisnya. Begitu juga dengan klim asuransi-nya sudah cair 3 hari yang lalu."

Aku dan Gina saling bertatapan. Kami bingung.

"Yang mengajukannya siapa ya Mbak?" Tanyaku.

"Atas nama Gentara Jati Hermawan. Sebentar saya ambil buktinya dulu."

Aku sudah tak tahu harus bereaksi apa lagi sekarang.

"Bang Jati gila, Kak!" Seru Gina penuh amarah.

Petugas bank ini kembali dengan sebuah map, lalu memberikan beberapa lembar kertas padaku.

"Ini berkas pengajuannya, sudah disetujui oleh para ahli waris." Jelasnya, dan aku lihat sendiri, Bang Jati memalsukan tandatanganku dan Gina.

Jahat!

Bang Jati jahat!

"Kalau boleh tahu, total semuanya berapa ya Mbak?" Tanya Gina.

"Sebentar saya lihat dulu." Lalu petugas ini sibuk sebentar dengan komputernya.

"Untuk tabungan bapak Bagus, ada dua miliyar tiga ratus lima puluh lima juta. Untuk Ibu Kenanga ada delapan ratus empat puluh dua juta. Lalu untuk klim asuransinya sebesar dua miliyar."

Aku dan Gina melongo.

"Semua uangnya diambil cash Mbak?" Tanyaku.

"Oh tidak, dipindahkan ke rekening Saudara Gentara."

Aku menelan ludah.

"Baik mbak, makasi ya atas semua informasinya."

Aku dan Gina pamit.

Dan detik itu juga aku amat sangat membenci Gentara Jati Hermawan yang sudah membuatku dengan Gina begini.

Brengsek!

******
******

"Terus sekolah gue gimana Kak?" Tanya Gina, membuat kepalaku rasanya ingin meledak.

"Sabar, gue cari jalan keluarnya, oke?"

"Bang Jati brengsek banget! Dia ambil semua uangnya Ayah sama Bunda, gila banget tau gak! 5M lebih dia ambil, Kak!"

"Dek diem dulu, gue pusing!" Seruku.

Aku harus apa? Dapet uang dari mana?

"Ya gimana mau diem kak? Sekolah gue gimana? Gue gak mau putus sekolah! Gue punya mimpi, gue punya cita-cita!" Serunya.

"Gue juga harus ngurusin kuliah gue, Dek! Sabar! Gue lagi mikir!"

"Sejak Bunda sama Ayah meninggal, orang tuh cuma bisa bilang sabar! Sabar! Sabar! Sabar aja terus!"

Aku tahu, Gina marah, dia marah karena Ayah dan Bunda pergi, dia marah karena Bang Jati membuat kami begini.

Wajar Gina marah. Aku pun saat ini rasanya ingin membanting semua benda yang ada di hadapanku. Tapi... aku menahannya.

"Okee! Kapan sekolah lo mulai? Kapan bayaran terakhir?" Tanyaku, berusaha agar suaraku tetap tenang agar Gina gak ngamuk lagi.

"Dua minggu lagi masuk, satu minggu lagi semua harus udah beres."

"Oke, give me three days! Okay? Besok gue ke Bogor, gue cuti kuliah dulu aja. Abis itu, gue balik ke sini, kita urus sekolah lo, oke?"

Gina mengangguk.

Tuhan! Aku ingin menjerit sekeras yang aku bisa. Aku tidak sanggup, dipaksa harus mengurus ini semua. Aku gak bisa!!!

****
****

"Pak Maulana gak ada." Ujar sekretaris department ketika aku ingin mengajukan cuti.

"Terus gimana Pak? Saya cuma punya hari ini buat urus semuanya." Kataku.

"Langsung ke Dekan mau gak? Bawa formulir cutinya, kalau ditandatangan Dekan langsung selesai."

"Bener Pak?" Tanyaku.

"Iya, coba aja kalau emang kamu mau hari ini selesai."

"Yaudah Pak, mana formulirmya?"

"Ini," Pak Idris memberikanku formulir yang kuminta.

"Makasi Pak, langsung aja nih ya ke Pak Arief?"

"Iya sana coba ya, kalo udah bisa langsung ke sini."

"Siap!"

Aku keluar dari ruangan department, berjalan menuju sisi kiri gedung ini, tempat ruangan Dekan berada.

"Permisi, pak Arief ada?" Tanyaku pada sekretaris-nya.

"Ada Mbak, tapi beliau sebentar lagi rapat."

"Gak apa, Bu. Saya cuma perlu sebentar aja." Kataku, kebetulan tadi aku sudah mengisi formulir ini, hanya perlu ditandatangani dan diberi stempel.

"Sebentar saya tanya dulu ya."

"Baik, Bu."

Ibu yang gak kuketahui namanya itu masuk ke ruangan di belakang mejanya, hanya sebentar kemudian keluar lagi.

"Silahkan, mbak."

"Terima kasih banyak, Bu."

Aku mengetuk pintu dua kali sebelum masuk, hanya untuk formalitas, karena.. kan udah tahu kan ada yang mau masuk?

"Permisi, Pak Arief, maaf ganggu." Kataku.

"Ohh, Gamyla, ayok sini, duduk!" Seru Pak Arief ramah.

Aku tersenyum, lalu duduk di bangku yang ada di depan mejanya.

"Ada apa nih?"

"Ini Pak, saya mau izin cuti kuliah. Kebetulan Pak Maulana sedang tidak ada di tempat. Lalu Pak Idris bilang ke saya, kalau ke Pak Dekan langsung, bisa dapet izin cutinya."

"Cuti? Kamu mau masuk semester 7 kan ini? Cuti kenapa?"

"Emm, ada masalah keluarga, Pak." Hanya itu jawabanku.

"Saya boleh tahu? Maaf bukannya ingin mencampuri ya, tapi saya sebagai salah satu dosen kamu, saya sangat menyayangkan loh ini. Kamu dikit lagi selesai, PKL, Skripsi... udah. Kenapa harus cuti?"

Aku menelan ludah, sebelum menjawab.

"Orangtua saya meninggal Pak,"

"Innalillahi wa innalillahi raji'un!"

"Saya gak bisa nerusin kuliah untuk saat ini, ada yang harus saya urus, dan lagi, saya juga untuk sekarang ini gak ada biaya kalau harus PKL ke luar pulau lalu penelitian." Jelasku.

Kudengar pintu diketuk.

"Pak Arief, sudah waktunya rapat!" Ucap suara di belakangku.

"Tolong di-cancel dari jadwal saya Bu Ati, saya gak jadi ikut rapat itu. Atau Bu Ati boleh ke sana mewakilkan saya, tulis semua pembahasan rapatnya, nanti saya pelajari. Terima kasih." Ujar Pak Arief.

"Baik Pak." Lalu terdengar suara pintu ditutup kembali.

"Gamyla, saya turut berduka atas kehilangan kamu. Maaf sekali." Katanya terdengar tulus.

Aku hanya mengangguk.

"Sebentar ya..." Pak Arief lalu sibuk dengan layar komputer yang ada di sisi kiri mejanya.

"Kalau saya lihat, semua nilai kamu bagus selama ini. Kalau kamu mau, saya bisa masukin nama kamu untuk jadi penerima beasiswa, kamu gak perlu pikirin uang kuliah, ongkos PKL, penelitain sampai wisuda."

Aku melongo mendengar itu.

Tapi... kalau aku kuliah, bagaimana dengan Gina? Aku harus kerja kan, biar dapet uang buat bayar sekolahnya.

Ini kesempatanku, aku diberi jalan mudah untuk menyelesaikan kuliahku. Lalu Gina?

Aku gak bisa biarin dia putus sekolah. Masa adikku gak lulus SMA?

"Maaf Pak, bukannya nolak rejeki, tapi... saya harus cuti, saya harus mengurus adik saya. Saya gak mau jadi kakak yang egois lanjut kuliah terus sibuk dan adik saya gak ada yang jaga."

Yah, Gina sudah kehilangan Ayah, Bunda dan Bang Jati. Aku gak bisa biarin kalau dia harus kehilangan aku juga hanya karena aku terlalu egois ingin lanjutin kuliah.

Cuti setahun bukan masalah kan? Aku bisa balik lagi dan mengurus kuliahku nanti.

"Yaudah kalau itu keputusan kamu, tapi janji ya... balik lagi ke sini, selesaikan kuliahnya."

"Iya Pak!" Ucapku dengan tidak yakin.

Yaudah lah.

*****
*****

"Kerjaan apa ya Ren?" Tanyaku pada Irene, sudah kuceritakan masalahku padanya.

"Duit gede banget itu La, jual ginjal apa?"

"Ren, gue serius."

"Apa ya? Temen gue yang jual diri aja gak dapet sebanyak itu kayaknya."

"Jual diri?"

"Iye, rumpi deh hahaha, temen SMA gue ada yang jadi simpenan Om-om, tajir banget doi!"

"Kaya gitu bisa dapet duit banyak Ren?"

"Heh? Mau apa lu?" Irene memarahiku.

"Kalo jual diri, jualnya kemana sih Ren?"

"Heh! Nyebut lu! Gila apa ya mikirin jual diri."

"Gue butuh duit Ren, buat adek gue. Dia satu-satunya yang gue punya sekarang." Kataku.

"Lo serius?" Nada suara Irene berubah. Ia terlihat prihatin padaku.

"Iya serius, gue mau deh ngapain aja, asal adek gue gak putus sekolah. Bokap gue kerja keras supaya dia bisa sekolah di situ, gue mau lanjutin tugas Bokap gue, biar Gina selesai sekolah di situ. Nanti dia bisa cari beasiswa ke luar, terus bisa pelan-pelan lupain semua kejadian naas ini." Kataku, menahan diri agar tidak menangis.

"Lo bener La?"

"Ya terus apa lagi, yang bisa ngasilin duit banyak dalam waktu 3 hari Ren?"

"Gue gak sanggup bayanginnya La."

"Please Ren, bantuin gue."

"Yaudah, gue kasih nomor lo ke temen gue ya? Tapi... setahu gue dia bayarannya cuma jutaan La. Lo harus berapa kali jual diri ampe bisa ngumpulin duit segitu?"

"Bisa kali mahal, gue kan masih perawan." Kataku, asli... udah gak punya harga diri nih aku.

"Hah? Serius? Lo sama si Antony gak pernah, masa?"

"Ren, gak usah sebut nama dia!"

Entah luka yang mana lagi di hatiku ini, begitu mendengar nama Antony, luka itu basah lagi. Dan dadaku terasa nyeri lagi.

Gosh!

Ayo Gamyla, kuat, yuk!

*********

TBC

Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo

****

Jan bosen-bosen kalian sm iklan ini

Yuk yang mau baca keempat cerita di atas bisa langsung ke apps/play store
Tinggal download aja cuss lengkap deh semua ceritanya plus ekstra part

***

Bisa juga ke platform

Innovel // Dreame

Di dreame/innovel ada 8 cerita yang bisa dibaca secara gratis~
Jangan lupa follow dan tinggalin love yaaa

***

Mwaaach 😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top