-Dua puluh sembilan-

Aku gak kenal sama diriku sendiri, aku seperti melihat orang lain di pantulan cermin ini. Warna rambutku berubah, begitu juga riasan di wajahku.

"Cantik banget Mbak! Bisa nih kalo mbak jadi stuntman-nya Emma Stone!"

Aku tersenyum, berarti aku berhasil nih. Aku memang tadi memintanya untuk menduplikasi make-up Emma Stone.

Setelah membayar jasa untuk cat rambut dan riasan wajah, aku keluar. Tak lupa memakai kacamata hitam biar orang-orang gak mengenaliku.

Gini kali yaa, rasanya jadi seleb.

Febri sudah mengirim alamatnya, lokasi di mana kami akan 'bertemu', yaitu sebuah apartment mewah.

Memesan taksi mahal, aku naik ke mobil tersebut, lalu meluncur menuju lokasi di mana Febri sudah menunggu.

Sekian puluh menit di perjalanan, selama itu juga aku meyakinkan diriku untuk tidak mundur. Aku masih takut... tapi yaudah lah ya?

"Sudah sampai, Non." Ucap Pak Supir, tapi aku tidak langsung turun.

Aku menarik napas panjang beberapa kali, membuat diriku setenang mungkin, meyakinkan diri kalau bukan aku yang nanti akan melayani Febri, tapi Emma Stone!

"Makasi, Pak!" Ucapku pada Pak Supir sebelum akhirnya turun.

Di lobby apartemen, aku dijemput oleh salah satu pegawai Febri.

"Ayok Mbak, silahkan, Pak Febri sudah menunggu."

Kami masuk ke lift, di perjalanan menuju atas, ponselku bergetar.

Febri:
Tonight, I want Emma Stone
be my sex slave
😘😘😘

Aku menelan ludah membaca itu. Mendadak aku keringat dingin.

Gosh! Aku udah di sini, aku gak bisa mundur, karena aku gak bisa balikin duitnya Febri, semuanya sudah kupakai untuk biaya sekolah Gina, itu pun belum cukup, aku harus membayar setengahnya lagi nanti, saat permainan ini selesai.

Ketika pintu lift berdenting dan terbuka, aku dipersilahkan berjalan duluan. Lalu, seorang pelayan yang sudah ada di dalam apartemen mengantarku ke depan sebuah ruangan.

"Pak Febri di dalam, Mbak. Silahkan!"

Aku tidak langsung masuk, namun menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Menenangkan diri, lalu membuang semua kekhawatiran, berubah, tidak lagi jadi Gamyla.

"Saya tinggal ya, Mbak." Ucap pelayan tersebut. Aku mengangguk.

Tanganku yang sedikit gemetar terulur ke gagang pintu, dengan nyali seadanya, aku membuka pintu tersebut, langsung mengembangkan senyumku.

Aku sebenarnya agak sedikit kaget, ruangan ini bukan kamar melainkan home theatre, lengkap dengan sebuah stage kecil di bagian depan.

"Welcome...!!!" Seru Febri, bukan hanya aku yang berakting, sepertinya dia juga, karena... dia menganggap aku Emma Stone kan?

"I'm sorry, I make you waiting," Kataku dengan nada suara seperti Emma yang kupelajari di youtube.

"Jangan bilang sorry, nunggu lama pun aku mau," Katanya, aku bisa merasakan ada kekaguman dalam suaranya.

Aku mengulurkan tangan, lalu Febri menerimanya, ia mengecup punggung tanganku mesra, membuatku bergidik namun tetap kutahan.

Entah siapa yang mengaturnya, lampu ruangan ini meredup, dan lampunya pun berubah menjadi warna ungu, membuat suasana jadi semakin intim. Sayup-sayup kudengar salah satu lagu yang ada di filmnya Emma Stone.

Kami berdansa pelan, aku terus menenangkan diri, mengatur diriku sendiri supaya gak tiba-tiba lari dan gak bersikap profesional.

"You look so pretty, Em." Bisik Febri di telingaku, aku sedikit memejam ketika kurasakan lidahnya menjilat daun telingaku.

"Thank you!" Balasku dengan suara pelan juga.

Febri tiba-tiba menciumku, ia bahkan mendorongku ke sofa panjang yang ada di ruangan ini.

Aku tak melawan tentu saja... karena gak bisa.

Kucoba menegarkan diri untuk menerima semua sentuhannya yang kasar itu di tubuhku.

"Auuch!" Jeritku pelan ketika Febri menggigit bibir bawahku sampai berdarah.

"Come on! Be my slave, Emm!" Serunya lalu dengan rakus ia mencium leherku, tanganku yang bergetar karena takut pun akhirnya mencoba membalas sentuhannya. Kumainkan rambutnya dan kurasakan Febri mulai menarik ritsleting dari gaun yang kukenakan.

Gosh!

"Oh God Emm!" Ucapnya pelan, dan aku pun tersenyum semanis mungkin.

Mencoba membalas perlakuannya, aku mencium Febri dengan ganas, melumat bibirnya, menggigit kecil, bahkan menghisap kuat-kuat.

Lalu, Febri membuka gaun yang kukenakan sehingga aku hanya memakai pakaian dalam saja. Ku ulurkan tanganku, meraih kancing-kancing kemejanya, melepasnya satu per satu.

Membantuku, Febri melepas baju dan celana panjang yang ia kenakan. Dan ketika miliknya terekspos, aku menahan napasku.

Ini kali pertama aku melihat barang lelaki secara langsung, biasanya kan... hanya di buku Biologi.

Gosh!

Febri mengambil tanganku, kemudian mengarahkannya ke miliknya tersebut.

"Suck it, Emm!" Titahnya.

Tanganku bergetar hebat ketika memegang barang milik Febri, tapi tak terlihat karena pencahayaan yang minim. Rupanya, tanganku yang tremor ini memberikan sensasi pada Febri.

"Oh God! You're so good, Em! Come on, suck it!"

Ku beranikan diriku memasukan miliknya ke dalam mulut, lalu secara tiba-tiba, Febri menggoyangkan pinggulnya, membuat barangnya itu masuk ke mulutku lebih dalam dari yang seharusnya.

Aku ingin menangis tentu saja kutahan. Jadi kuterima saja barang milik Febri menusuk-nusuk tenggorokanku.

Febri menarik diri, lalu ia mendorongku untuk merebah, dan ia langsung mengambil posisi di atasku. Tangannya menyusup ke belakang, mencari kaitan bra milikku tapi tak ada.

"Di depan, sayang." Kataku dengan nada suara manis, lalu kubuka sendiri kaitan bra sehingga sekarang aku telanjang dada di depannya.

"Gosh!" Seru Febri lalu ia membenamkan wajahnya di payudaraku. Ketika ia mulai menghisapnya, aku tak kuasa menahan diri untuk menjerit.

"Ahhhh!" Jeritku menahan perih karena Febri mengisapnya sangat kuat. Ia bahkan mengigitnya, membuatku menjerit kembali.

Febri sepertinya senang mendengar jeritanku, ia malah sengaja mengigit payudaraku supaya aku terus menjerit.

"Awwww! Shit!" Jeritku dan Febri terus melakukannya.

Sekian menit aku menjerit karena kesakitan, akhirnya Febri berhenti. Ia menarik diri, kali ini pindah ke bawah.

Menarik lepas celana dalam yang kukenakan, kini Febri membenamkan wajahnya di bawah sana. Seperti tadi, ia menghisap dengan sangat keras, dan ia tak segan-segan menggigit membuatku sampai menganggap panggul karena tak kuasa menahan sakitnya.

Gosh! Siapa sih yang bilang sex itu enak? Ini sama sekali gak ada enak-enaknya. Dari awal sampai akhir aku nyeri semua.

Untunglah kali ini Febri hanya sebentar, ia kemudian menyuruhku kembali mengulum miliknya. Kali ini aku melakukannya sendiri, ia tidak menggoyangkan pinggulnya seperti tadi.

"Oh yeah, Emmm, keep doing that, it's so good!" Ucap Febri sambil mendesah.

Lumayan lama aku mengulum kelaminnya sampai akhirnya ia menarik diri dan kembali mendorongku untuk merebahkan diri di sofa.

Febri sudah berada di atasku, dan di bawah sana, terasa juga miliknya menempel.

Febri tidak langsung memasukan barangnya, ia menciumku dengan ganas lalu mendorong miliknya membuatku menjerit di sela-sela ciuman kami.

"Auuccch!!!!" Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana menjelaskan rasa sakitnya. Aku bahkan tidak nyaman dengan adanya barang milik Febri di dalamku. Tapi... aku tidak bisa menarik diri.

Tak memberiku jeda untuk beradaptasi, Febri menggerakan miliknya keluar masuk, membuat sakit yang kurasakan bertambah.

"Awww, awww, awww, aaaaaccchhh!" Setiap dorongannya seperti sebuah tusukan untukku.

"God, Emm! Kamu enak banget!" Desah Febri yang terus bergerak.

Aku merasa lega ketika Febri menarik dirinya.

"Kamu mau yang gimana lagi sayang?" Tanya Febri.

Aku bingung jawab apa. Gimana apanya??

"It's up to you, Sir. I'm your slave." Kataku akhirnya. Kulihat Febri tersenyum senang, lalu ia memutar tubuhku, kemudian dengan sangat cepat ia memasukannya dari belakang.

Aku kembali menjerit, rasa perih itu muncul lagi, ditambah dengan Febri yang menarik rambutku ke belakang, membuat kepalaku makin pusing.

Menahan semua nyeri yang kurasa, aku ambruk ketika Febri menindihku dari belakang, kudengar ia mendesah beberapa kali.

Aku menarik napas, gak bisa panjang tapi putus-putus karena lelah. Di belakangku, Febri juga demikian.

Aku tak bisa bergerak, Febri terlalu berat dan posisi yang tengkurap begini jadi tidak bisa mendorongnya.

"Feb?" Panggilku, namun ia tidak menjawab. Aku sudah lelah, tapi aku gak bisa begini terus.

Diam sebentar, kupejamkan mata, berharap Febri segera menyingkir dan aku bisa tidur dengan benar.

******

TBC

Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo

Ps: kacau bgt gue, kenapa tbtb bawa2 Emma Stone ke cerita ini wkwkwk jadi gak bisa eksplor soal role-play ini.
Nanti deh yaa gue bikin lagi si Gamyla main roleplay-roleplay-an 😁😁😁✌✌

Pss: mon maap kalo chapter ini gaje, as always, w gak pernah baca ulang chapter ginian yg gue tulis~

****

Iklan yess

Yuk mampir ke akun Dreame/Innovel gue

Ada 8 cerita kumplit di sana yaa yang bisa dibaca secara gratis~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top