-Dua puluh lima-
Aku tak berniat pulang ke kostan, jadi aku meminta bang ojek mengantarkanku ke kostan Irene.
Aku masih menahan air mataku, tak ingin menangis di tempat umum.
"Makasi Pak!" Kataku sembari memberikan uang.
Aku langsung berlari ke kamar Irene, mengetuk pintunya dan untungnya, Irene ada dan ia mempersilahkanku masuk.
"Kenapa La? Lo ngos-ngosan gitu?" Tanyanya sambil memberikanku air.
"Gue belum mau cerita Ren, tapi gue di sini dulu boleh kan?"
"Iyaa, gak apa."
Ponsel di tasku bergetar, aku mengeluarkannya dan melihat panggilan masuk dari Antony, kutolak panggilan itu.
Rini SVK:
La? Cowok lo ke kostan gue nyari lo nih
Satu pesan masuk, dari teman kelasku, dan sebelumnya sudah ada pesan juga dari Jingga, Tya, Dila, Fitri bahkan Olive, mengatakan hal serupa.
"Berantem lo sama Antony?" Tanya Irene, aku menggeleng.
"Yaudah di sini dulu aja. Atau mau ke mana?"
"Gue lemes Ren, sumpah." Kataku.
"Yaudah, tenangin diri dulu, kumpulin tenaga."
"Iya," Kataku pelan lalu meminum kembali air yang tadi diberikan Irene.
"Gilak! Gak nyangka gue!" Seruku sambil menggelengkan kepala beberapa kali.
"Kenapa sih?" Tanya Irene bingung.
Kujelaskan secara singkat apa yang barusan kulihat di kostan Eki, dan itu membuat Irene memaki.
"Gilak, asli gue benci banget nih sama laki model begini. Udah pacaran lama, nyari apa lagi sih? Bangsat!" Maki Irene.
Aku hanya mampu diam, mengusap wajahku untuk kesekian kali, berharap kalau ini cuma mimpi.
Meminum air putih untuk kesekian kalinya, jantungku mendadak berantakan ketika mendengar pintu kamar Irene diketuk, lalu detik berikutnya, terdengar suara Antony.
"Ren, buka Ren, ada Ila kan di dalem, Ren!"
"Buka gak La?" Tanya Irene, aku hanya mampu menggeleng, aku gak siap ketemu Antony. Please!
"Ren, buka Ren, bentar aja! Gue perlu ketemu Ila Ren!" Ketukan dipintu makin kencang, kulihat Irene menarik napas panjang sebelum akhirnya bangkit dan membuka pintu.
"Mau apa lo?" Seru Irene.
"Mana Ila? Bentar gue mau ketemu dia!" Terdengar suara Antony lalu ia mendorong Irene sedikit tapi untungnya Irene kuat, jadi Antony gak masuk.
"Gak ada Ila!"
"Bohong lo, itu sepatunya ada, please gue mau ketemu Ila, Ren!"
Entah kenapa aku jadi benci mendengar suara Antony begitu. Tuhan... aku pernah kecewa, tapi kayaknya gak pernah sekecewa ini deh.
"La, Gamyla!" Pintu terbuka dan Antony langsung menerobos, berlutut di dekatku, memeluk kakiku, membuatku risih.
"Gamyla, maaf, sumpah maaf banget, aku salah, aku tahu!" Serunya, lalu kulihat ia ditarik oleh Irene.
"Lo jangan menjijikan gitu bisa gak sih Ton?"
"La, please, liat aku bentar, maaf sayang, maaf!" Ucap Antony memohon, bersamaan dengan itu, ponselku bergetar, telepon dari Tante Rima, adiknya Bunda.
Mendorong Antony, aku berjalan keluar, menjawab panggilan tersebut.
"Hallo Tante?"
"Ila di mana sayang?"
"Di kampus, kenapa?"
"Ila ke rumah Nenek sekarang yaa, Ayah sama Bunda kecelakaan, sayang." Jantungku longsor mendengar itu.
Tanpa berfikir, aku berbalik masuk kamar Irene, mengambil tas milikku, kemudian berlari ke luar.
"La, mau kemana La?!" Kudengar Antony berteriak tapi aku tak peduli, menuruni tangga secepat kilat, aku langsung memanggil ojek yang sedang mangkal di depan gerbang kost Irene.
"Ke mana Neng?"
"Kostan Paviliun, Bang!" Kataku.
Tanganku bergetar ketika mengetik pesan ke Abang dan Gina, apakah mereka sudah tahu kabar sialan ini?
Yang aku tahu, Ayah dan Bunda lagi ke Purwakarta, jengukin Nenek yang lagi sakit.
Gosh! Semoga mereka gak kenapa-napa.
Begitu sampai di kostan, aku langsung berlari ke kamar, membuka pintunya dan membiarkannya terbuka. Ku tarik laci meja belajarku, mengambil uang tabunganku, memasukannya secara asal di tas. Setelah itu, aku mencari jaket sambil memesan taksi, memasukan tujuanku langsung ke Purwakarta, rumah nenek.
Meninggalkan kamar kost, aku menuruni tangga secepat yang kubisa sambil memantau taksi yang ku pesan.
Di bawah, ada Antony yang baru saja turun dari motor.
"Hey, hey, hey kamu mau ke mana?" Ia menahanku, ku dorong ia sekuat tenaga.
"Bisa tolong gak usah ganggu aku?!"
"La, aku bisa jelasin sayaang."
"Gak, gak ada yang perlu kamu jelasin! Sekarang... kalo kamu masih menghargai aku, please... jangan ganggu aku dulu. Mau meledak kepalaku Ton!" Teriakku, membuat Antony mundur selangkah.
Aku mencoba menenangkan diri, menarik napas panjang. Ketika itu, sebuah mobil berhenti di depan gerbang, aku langsung berlari, masuk ke mobil itu, meninggalkan Antony.
"Neng, ini bener ke Purwakarta?" Si supir memastikan tujuanku.
"Iya, bener Pak, tolong anterin yaa." Kataku, dan pertahananku jebol, air mataku turun begitu saja.
"Eh? Kenapa Neng?"
"Gak apa Pak, saya minta tolong anterin aja. Jalur yang tercepat ya Pak, tapi kalau bapak capek di jalan gak apa istirahat. Nanti saya bayarnya lebih kok, tapi tolong ya Pak! Anterin saya. Kalo mau gantian nyetir juga gak apa, yang penting sampe Pak. Tapi anterin ya Pak." Pintaku sambil menangis.
"Iya, Neng, iya. Itu masnya yang di luar gak diajak?" Aku menoleh, Antony mengetuk-ngetuk kaca mobil, memintaku membukanya.
"Gak usah Pak, yuk jalan aja."
Mobil pun akhirnya melaju, dan air mataku makin deras mengalir. Tuhan, semoga Ayah dan Bunda baik-baik saja.
Amin!
*******
Turun dari taksi, aku berdoa dalam hati semoga tidak terjadi apa-apa pada Ayah dan Bunda.
Berjalan menuju rumah Nenek yang memang agak sedikit masuk gang, dengkulku mendadak lemas ketika melihat bendera kuning berkibar di pagar rumah nenek.
Gak!
Gak boleh!
Aku ambruk, bahkan sebelum sampai ke rumah Nenek, tangisku pecah, mengundang beberapa orang memperhatikanku.
"Ilaa!" Aku dibantu berdiri oleh Om Yana.
"Siapa, Om? Bukan Ayah atau Bunda kan?" Tanyaku disela-sela tangisanku.
"Udah kamu tenangin diri dulu aja." Aku diajak lewat pintu samping, jadi aku masih gak tahu... aku harus kehilangan siapa?
Om Yana membawaku ke ruang makan, mendudukanku di salah satu kursi. Air mataku terus mengalir.
"Yang kuat yaa La yaa!" Ucap Om Yana. Lalu Tante Rima mendatangiku.
"Abang Jati sama Adek Gina di jalan ke sini, Ila tenang yaaa."
"Siapa Tante?" Tanyaku.
"Udah, kamu tenangin diri dulu aja."
Aku tidak bisa berhenti menangis. Aku gak bisa tenang. Aku butuh kepastian.
Mencoba berdiri, Om Yana menahanku untuk tetap duduk.
"Om, Ila mau liat! Bunda atau Ayah mana? Di rumah sakit? Di mana? Bunda sama Ayah mana? Ila kehilangan siapa Om?"
Om Yana malah memelukku, kemudian membimbingku berjalan, tapi bukan ke depan, melainkan ke kamar.
"Om, Ila mau liat, Om!" Seruku.
Lalu, kudengar suara tangis pecah, aku langsung kabur ke luar kamar, kulihat Gina menangis tersedu-sedu.
"Dek!" Panggilku, Gina langsung berlari ke arahku, memelukku erat. Lalu kurasakan Bang Jati memeluk kami berdua.
"Ayah sama Bunda kak, mereka ninggalin kita." Jerit Gina di sela tangisannya.
Aku menjadi kaku seketika, otakku seperti butuh waktu memproses ucapan Gina barusan. Dan detik berikutnya, aku sudah tak ingat apa-apa lagi.
******
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
Ps: yaa betuls aku happy krn Indo dpt gold medal in Olympic~
Sudah ada yg menang yaa, selamat~
Buat yang gak menang, ntr kapan2 bikin lagi yaaw, kan udh bonus jg nih sehari update 3 chapter wkwkwkwk~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top