-Dua-

"Gimana?" Tanya Aaron yang wajahnya memenuhi layar ponselku.

"Asik, dapet roommates yang asik-asik, tapi belum mulai ospek ih, deg-degan gue Ron."

"Sini makanya, gak ada ospek di sini."

"Jauhhh!"

"Ini lo lagi di mana?" Tanya Aaron.

"Di rooftop, abis jemur baju."

"Coba mau liat pemandangan di situ." Pintanya, aku langsung memutar kamera sehingga Aaron dapat melihat pemandangan yang sedang kunikmati sedari tadi, selain pemandangan wajahnya tentu saja.

"Adem yaaa! Di sini sih gampang, tinggal ke central park."

"Gue sih gak usah ke mana-mana, kampusnya udah adem."

"Hemm iya iya iya,"

"Gamyla 1 - Aaron 0," Kataku.

"Bolehhh, kasih lo skor satu aja dulu."

"Songong!"

"Eh gue mau curhat dong!"

"Gue balik ke kamar dulu gimana? Lo kalo curhat gak mungkin sebentar soalnya."

"Hahahaha yaudah, gak usah dimatiin tapi ya La? Terus ituu... pake kamera depan, biar gue berasa jalan bareng lo!"

"Makin aneh-aneh aja kemauan lo!"

"Udah yok ahhh!"

Aku mengangguk, lalu memutar kamera handphone jadi pakai kamera belakang, ku arahkan kamera ke bawah, biar Aaron pura-pura nunduk bareng aku, ngangkat ember kosong.

"Eh? Kuku kaki lo lucu tuh, warna biru," Aku melihat Aaron di layar ponsel, gemes juga kaya gini, aku bisa liat dia tapi dia gak bisa liat aku.

"Hahah ini bekas halangan kemarin makanya pake kutex, udah luntur, beberapa malah ada yang ngelupas."

"Tapi bagus La,"

"Dah lah, ngapain bahas kutex?" Ujarku sambil menuruni tangga satu-satu, kamar asramaku ada di lantai dua, sedangkan bangunan asrama ini ada 4 lantai, lumayan kan ya?

Setelah sampai kamar, aku melihat Olive sedang belajar, entah Irene dan Jingga kemana.

"Kalo aku telefon, ganggu gak Live?" Tanyaku.

"Gak apa kok, aku cuma lagi baca aja."

"Okay!"

Kuambil earphones dari meja belajar, memasangnya di telinga kemudian naik ke kasur.

"Ayok! Lo mau cerita apa?" Tanyaku pada Aaron.

"Ih? Di meja belajar lo, kok gak ada foto kita?"

"Buat apa ya kampret?"

"Gue aja pajang!"

"Ogah ah, udah ayok cerita!" Seruku sok iye, padahal dalem hati bahagia banget... Aaron pasang foto kami, gosh!

Lalu Aaron cerita, soal mantannya yang kembali menghubunginya saat tahu sekarang Aaron berada di Amerika.

"Dulu lo deket aja diselingkuhin, apalagi lo jauh Ron?" Kataku.

"Iya sih bener, tapi asli deh gue mau sama Miranda mah, kayak... 4 tahun nih gue kuliah, mau gue selama di sini single asal pas balik sama dia."

"Heu, yaudah terserah lo aja," Kataku dengan nada datar, tapi ya tetep, hati sih agak keiris dikit nih.

"Gue mau coba bangun hubungan dulu deh ya? Kalo bisa balikan ya balikan, kali aja dia jengukin gue di sini ya?"

"Dih, ngarep lo!"

"Hahahah, semua orang kan boleh berharap La,"

"Iya sih bener,"

"Lo kuliah udah mulai? Apa gimana? Ini kan baru akhir Juli, gue aja masih banyak les dulu nih,"

"Matrikulasi, Ron. Jadi yang dikumpulin tuh baru yang keterima jalur raport, belum ospek, nah itu yang bikin gue tegang. Upacara jadi mahasiswanya belum, tapi udah kuliah. Emang sih, masih matkul dasar kayak matematika, biologi dasar, fisika dasar, kimia dasar, kewarganegaraan, gitu-gitu dah. Tapi tugasnya edun!"

"Wah? Udah tugas aja lu?"

"Iyaa, terus kelasnya banyakan, gilak kita di SMA sekelas cuma isi 25 orang kan? Ini kelasnya ada kali 60 mahasiswa, berasa banget ya, kudu fokus dengerin omongan dosen, kudu rajin nyatet, dan browsing materi tambahan,"

"Kerasa ya jadi mahasiswa?" Sahut Aaron.

"Yeep, terus jurusannya digabung semua, asli, mentang-mentang matkul-nya dasar semua."

"Asik dong lo bisa ngeceng cowok-cowok department lain?"

"Halah, otak lo, pacaran mulu!"

"Kalo otak gue pacaran mulu mah gue gak bakal di sini."

"Nah heran gue sama lo, jarang belajar tapi pinter banget!"

"I'm blessed."

Aku mengangguk, dia bener sih.

"Miranda chat gue!" Seru Aaron tiba-tiba, dia yang sedari tadi asik denganku kini sibuk memegang ponsel.

"Chat apa?" Tanyaku,

"Nanti yak!" Terlihat di layar ponselku, Aaron menutup laptopnya dan sambungan pun terputus.

Gosh! Kenapa sih aku harus ada rasa sama dia? Kenapa gak dia aja gitu yang suka sama aku! Kalau ceritanya gitu kan aku pasti jelas mau. Lha ini?

Bertepuk sebelah tangan aku. Ya Lord, berharap banget akutuh kisah hidupku ini bisa kaya cerita-cerita orang yang nikah sama sahabatnya.

Pengin begitu pokoknya! Titik!

*******

Aku mencatat semua rumus yang Prof. Sanjaya tulis di papan, aslik, banyak banget aku lupanya soal rumus-rumus Fisika, kacau nih.

Lagian, kalo inget juga aku bakal tetep catet sih, soalnya aku bukan turunan Einstein yang hapal ginian luar kepala.

Semua mahasiswa termasuk Prof. Sanjaya menoleh ketika pintu ruangan ini dibuka, dan masuk lah seorang mahasiswa.

"Maaf Prof saya telat," Ujarnya kalem lalu ia tersenyum kecil sambil berjalan ke barisan paling belakang.

Busetdah, telat 10 sampe 15 sih oke yaa, ini pak Prof. Sanjaya udah ngajar setengah jam lebih.

Seperti tidak terjeda, Prof Sanjaya melanjutkan memberi materi yang tinggal sedikit, lalu memberi kami 20 soal untuk dikerjakan saat ini juga.

Beberapa anak yang sebelumnya tidak memperhatikan mendadak buru-buru mencatat.

Aku sendiri menoleh ke samping, melihat Jingga yang malah asik menggambar di kertas catatannya. Hadeeh.

"Siapa yang berani ke depan, mengerjakan 10 soal tanpa salah, saya kasih nilai A," Ujar Prof. Sanjaya tiba-tiba, membuat semua mahasiswa termasuk aku tertarik.

"Nilai A, Prof?" Tanya salah satu mahasiswa dari belakang.

"Yap!"

"Tapi kan ini baru pertemuan ke-3, Prof, kalau sudah dijanjikan nilai A, ya saya sih gak bakal masuk lagi," Sahut seseorang.

"Ya silahkan, saya akan tetap memberi nilai A, hanya untuk 1 orang tercepat, dan terbenar!"

"Harus berurutan kerjainnya Prof? Atau boleh acak?"

"Terserah, yang penting 10 soal terjawab dengan benar."

Kami semua langsung buru-buru fokus mengerjakan soal-soal yang tampil di layar proyektor di samping papan tulis. Dan gilak.... iya sih Prof Sanjaya sudah memberi contoh soal dan rumusnya, tapi ini tuh soalnya bertingkat, dan susah, satu soal bisa pakai 3 sampai 4 rumus. Edan.

Aku sudah mengerjakan 8 soal, yang menurutku termudah ketika ekor mataku melihat seseorang berjalan ke depan.

Eh? Si telat tadi? Ngapain dia ke depan? Udah kelar? Cepet amat?

Aku melirik anak-anak yang lain, tampangnya banyak yang hopeless gitu, tapi aku gak mau nyerah. Gak mungkin kan dia secepet itu dan bener semua?

Ku cari lagi dua soal termudah untuk melengkapi 10 soal yang diminta Prof Sanjaya. Gosh, semoga bisa lolos deh.

"Namanya siapa?" Terdengar Prof Sanjaya berbicara.

"Antony Sendjaja, Prof."

"Ya, silahkan!" Seru Prof Sanjaya memberinya spidol.

Waduh, anaknya Einstein sih ini cowok kalo dia bisa ngerjain 10 soal terus bener semua. Dan gilanya lagi, dia cuma bawa satu lembar kertas ke depan, gak kaya aku... satu soal aja udah satu halaman penuh nih rumusnya.

Aku memerhatikan dengan seksama, sudah 5 soal yang ia kerjakan di papan tulis dan benar semua, soal yang ia pilih sama denganku.

Edan!

Ketika ia menulis jawaban ke 9, aku tersenyum, jawabannya beda sama aku, padahal soalnya sama. Aku yakin sih punyaku bener, dan ini ada kesempatan nih aku bisa maju.

Aku melirik Prof Sanjaya, ia tak mengoreksi si Antony ini, dan terus fokus memperhatikan.

Kulihat kembali rumusku, jawabanku, dan sepertinya yang bener punyaku deh.

"Yak, selamat Antony!" Ujar Prof Sanjaya, membuat beberapa anak bertepuk tangan pelan.

Gak! Aku yakin dia salah!

"Prof!" Seruku sambil mengacungkan tangan ke atas.

"Ya?"

"Maaf Prof, tapi itu... menurut saya ada yang salah."

"Menurut kamu ada yang salah? Yang mana?"

"Nomor 9, jawabannya harusnya 0.8 Prof, bukan 2," Jelasku, asli sih ini aku tegang, kalau aku yang salah, malu sampe wisuda nih.

"Coba kamu ke depan dan tulis jawaban yang menurut kamu benar!"

Aku menelan ludah, tapi mengangguk, lalu bangkit dari kursiku, membawa semua kertas catatanku ke depan.

Aku menulis jawabanku di papan tulis. Begitu selesai, aku berbalik agar Prof Sanjaya dan mahasiswa lain bisa melihat jawabanku.

"Emmm, sorry Antony, dia ternyata yang benar!" Ujar Prof Sanjaya, membuatku tersenyum menang.

"Saya dapet A ya Prof?"

"Eh?"

"Saya kerjain 10, Prof, nih, sisanya sama dengan yang punya Antony," Kataku sambil mengulurkan catatanku.

"Ya gak gitu lah, siapa yang bisa jamin lo gak nyalin punya gue pas gue nulis di depan?" Sahut Antony,

"Yee demi Tuhan ya gue kerjain sendiri!"

"Waduh, jangan bawa-bawa Tuhan ah," Ujar Pak Prof.

"Jadi gimana Prof? Kalau saya gak dapet A, oke saya terima, saya salah, tapi kalau dia dapet A, ya gak ada bukti dia kerjain sendiri kan?"

Prof. Sanjaya mengangguk, lalu tersenyum kecil.

"Mohon maaf, berarti belum ada yang dapat nilai A dari saya, dan kalian semua harus masuk kelas saya sebagaimana harusnya sampai akhir semester pendek ini!"

Aku menelan ludah, kesal. Ini cowok satu provokator banget ya? Harusnya kan aku bisa nih dapet nilai A, aku kan kerjain beneran.

"Waktu mengajar saya sudah habis, sampai jumpa minggu depan!" Prof. Sanjaya keluar dari ruang kelas.

"Elu yaa.... liat aja lu!" Seru Antony menunjukku.

"Lha? Gue kenapa?"

"Ya elo, Pak Sanjaya udah bilang gue dapet A, lo segala pake tunjuk tangan lagi!"

"Ya kan emang gue bener!" Seruku kesal.

"Liat aja lu!" Ia berbalik, mengambil tas kecil miliknya lalu keluar dari ruangan.

Ya Tuhan, belum ada sebulan kuliah, udah ada aja yang kesel sama aku. Apalagi 4 tahun ya?

Dooooh!

*******

TBC

Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top