SEWINDU -41- Aku Bukan Pembunuh!

"Terkadang luka besar nan menyakitkan, diukir langsung oleh orang yang kita sayang"


•••

Gaby yang baru saja pulang dari minimarket, mengeluarkan semua barang belanjaannya.

Mulai dari cemilan dan snack yang ia beli menggunakan uang tabungannya.

Gaby juga membeli berbagai macam jajanan pinggir jalan, ia ingin berbuka puasa dengan menu makan yang berbeda hari ini.

Yap, gadis itu masih dalam masa penghematan biaya hidup, karena hukumannya masih berlanjut sekitar seminggu lagi.

Gaby mengiris sosis untuk di masukan kedalam omelette buatannya.

"Bikin apa nih, anak aneh?"

Gaby menoleh saat mendengar suara yang cukup familier di pengendaranya.

Gaby memutar mata jengah saat melihat Megan  menduduki kursi yang terletak di sudut dapur.

"Tante kaya jelangkung coming uninvited. Tapi cocok sih, badan Tante Megan kan kurus kaya jelangkung." Gaby terkekeh dengan ucapannya sendiri.

Ingin rasanya Gaby mengusir Megan dari rumahnya ini, yang benar saja, masa perempuan main ke rumah orang terus sih? Gimana nanti kalo udah jadi istri, yang ada rumah ditinggal terus dan gak diurus, malah kelayapan kemana-mana.

Ckckck. Woman jaman now!

"Eh, hati-hati kalo ngomong ya. Aku kesini karena diminta sama Papa kamu. Kalo dia gak minta aku males banget kesini, ketemu kamu lagi. Wueeh!" seru Megan membuat wajah jijik.

Gaby juga menatap Megan dengan tatapan jijik "Yeee, siapa juga yang mau ketemu, Tante. Bikin radiasi mata tauk!" ledek Gaby mencibir Megan.

"Mata kamu tuh emang udah kena radiasi, makanya gak bisa bedain mana yang cantik dan seksi kaya model, mana yang biasa aja karena pake baju karung." Megan berkata sarkas.

Maksud wanita itu baju karung adalah gamis yang sering digunakan oleh Yasmine sehari-hari.

"Iya lah, Tante kan ganjen, kalo gak, mana mungkin Papa Gaby kepincut, beda sama bunda Yasmine yang kalem, bajunya juga sopan" balas Gaby tak kalah sarkastik. "Atau, jangan-jangan, Tante pake pelet ya? Pelet buat makanan ikan Tante, jangan negatif gitu dong sama aku," ujar Gaby lalu tebahak melihat wajah merah Megan.

Megan berdiri dari duduknya, ia mendekat pada Gaby dengan wajah marah. "Mulut kamu emang perlu dicabe-in ya!"

Megan merebut pisau dari tangan Gaby dan mengarahkannya pada gadis itu.

Sontak, Gaby merasa was-was, bisa saja nanti Megan kesurupan, dan setan dalam tubuh Megan menusukan pisau itu pada Gaby.

"Kenapa? Takut ya? Tadi berani ngatain aku, coba sekali kali bilang aku mirip jelangkung, biar dia datang dan nusukin pisau ini ke kamu," ucap Megan dengan senyum devilnya.

Gaby mundur saat Megan terus berjalan maju, "Itu pisau tajam Tante, jangan main-main. Nanti dilewatin sama setan," bujuk Gaby agar Megan sadar.

Megan tertawa palsu, "Haha. Biarin aja dilewatin, toh kamu juga bakalan ketusuk bukan aku."

"Tante bisa masuk penjara loh. Emang mau masuk penjara dan gak jadi nikah sama Mas Gemma nya?"

Megan terdiam dan berpikir sejenak dan itu membuat Gaby sedikit lega. Namun, kelegaan itu tidak bertahan lama, karena tak beberapa lama setelah itu, Megan kembali tertawa mengerikan--tawa psikopat.

"Batal nikah ya? Umm, kamu lupa nih, kan Papa kamu udah aku pelet, mana mungkin batal nikah. Hahaha!"

"Serem uy!" gumam Gaby pelan.

Megan kembali berjalan mendekat pada Gaby, membuat gadis itu meremang karenanya.

"Jangan becanda Tante! Ini serius lho, Gaby lagi puasa nih, gak baik berantem nanti puasa aku batal."

"Gak ada hubungannya!"

Megan tersenyum sinis, ia meraih tangan Gaby, hingga pisau yang tadi wanita itu pegang, telah berpindah pada jemari Gaby.

"Tante, ini maksudnya ap- Allahuakbar!"

Gaby berteriak terkejut saat Megan menuntut tangan Gaby, lalu menusukan pisau itu pada dirinya sendiri.

Ia tersenyum senang saat darah yang mengalir dari perutnya mengenai jemari Gaby.

"GABRIELLA!"

Gaby shock dan langsung melemparkan pisau itu ke lantai. Tangannya bergetar hebat, ia melihat lumuran darah membasahi baju dan tangannya.

Gemma berjalan memangku Megan yang terkulai lemas di lantai.

Awalnya Gemma mendengar keributan kecil dan memutuskan untuk melihat ada apa yang terjadi. Namun, yang ia temukan adalah Megan yang tergeletak di lantai penuh dengan darah, dan tangan putrinya yang memegang pisau.

"Megan, kenapa bisa jadi begini?" gumam pria itu.

Gaby hanya bisa mematung dan tak tau harus berbuat apa. Kejadian itu terlalu cepat, Gaby tak bisa mengelak.

"Pa, bu ... bukan ... Gaby gak-"

"DIAM! KAMU ... DASAR ANAK SIALAN! PERTAMA ISTRI SAYA, DAN SEKARANG MEGAN. BESOK SAYA YANG KAMU BUNUH!?" Gemma berteriak lantang, membuat Gaby terlonjak kaget beberapa kali.

Gaby tidak mampu lagi untuk sekedar menggerakkan bibirnya, tubuhnya terasa kaku dan mati rasa, hanya air mata yang mampu mengalir tanpa bisa dicegah.

"KELUAR DARI RUMAH SAYA, SAYA TIDAK MAU MENAMPUNG PEMBUNUH SEPERTI KAMU!"

Setelah mengatakan kalimat pengusiran itu, Gemma berdiri menggendong Megan dan membawanya pergi ke rumah sakit.

Sementara Gaby, sudah terduduk lemas di lantai. Menangis sambil memegang dadanya.

Bi Salma yang sedari tadi hanya menonton, bergerak memeluk Gaby dan ikut menangis merasakan kesakitan gadis itu.

"Bi, Gaby bukan pembunuh. Gaby gak pernah bunuh siapapun," ucap Gaby susah payah karena isakan.

"Bibi percaya, Non. Bapak cuma terbawa emosi, jangan sedih ya! Ada Bibi disini," ucap Bi Salma menenangkan Gaby yang bergetar hebat.

Gaby menggeleng dalam pelukan Bi Salma, "Gaby mau mati aja Bisa," gumam Gaby tanpa sadar.

"Jangan ngomong gitu, Non. Ayo kita cuci aja tangannya ya!" Bi Salma menuntut Gaby menuju kamar mandi dan membantu membersihkan tangan gadis itu dari lumuran darah.

Setelah itu, Bi Salma membatu Gaby mengganti pakaiannya dan berjalan keluar mengambil minuman agar gadis itu lebih rileks.

Namun, tanpa sepengetahuan Bi Salma, Gaby dengan cepat mengemasi pakaiannya dan membawa uang tabungan yang hanya berupa duit recehan biasa yang tersimpan dalam sebuah kotak.

Gaby menggendong ranselnya keluar, berjalan pelan agar tidak ketahuan Bi Salma.

Gaby berpikir, dia harus pergi. Gemma si pemilik rumah sudah mengusirnya. Jadi, untuk apa dia masih disini?

Namun, rencana Gaby tidak berjalan mulus. Bi Salma menyadari pergerakannya.

"Non mau kemana? Jangan pergi Non!" pinta Bi Salma histeris.

Gaby menggeleng "Gaby harus pergi, Bi. Gaby udah diusir," isak Gaby lagi.

"Jangan, Non. Kalo Non Gaby pergi, Bibi sama siapa?" tanya Bi Salma pilu.

Dengan berurai air mata, kedua perempuan beda generasi itu berpelukan erat. "Bi, Gaby titip Papa ya."

Gaby berusaha melepaskan pelukan Bi Salma. Namun, wanita setengah abad itu tetap kekeh tak mau melepaskannya.

Akhirnya dengan terpaksa Gaby mendorong tubuh ringkih wanita itu masuk ke dalam sebuah ruangan dekat dapur dan menguncinya disana.

"Maafin Gaby Bi. Gaby pamit ya," ucapan Gaby dari luar.

"Non! Buka! Jangan tinggalin Bibi." Gaby mengabaikan teriakan Bi Salma.

Namun, sebelum benar-benar meninggalkan kediaman yang sudah ia huni selama belasan tahun itu. Gaby menyempatkan menulis surat yang ia tunjukkan untuk Gemma.

"Bi, ini surat buat Papa. Tolong dikasih ya, Bu. Bilang juga sama Papa, kalo Gaby sayang banget sama dia dan Gaby bukan pembunuh."

Gaby mengulurkan surat itu dari celah di bawah pintu. Setelah itu, ia pergi dan mengabaikan teriakan Bi Salma yang melarangnya pergi.

"Selamat tinggal, Pa. Sampai kapanpun, Gaby akan tetap sayang sama Papa."

***

Tbc

Gimana perasaan kamu pas baca chapter ini?

Jangan lupa vote dan Komentar 😉

Maaf kalo gaje😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top