Min Yoon Gi

Yoongi. Pria berperawakan tidak terlalu tinggi yang masih belum melunturkan senyumya sejak pertama kali keluar apartemen. Bayangan tentang tunangannyalah yang membuat senyum itu tidak bisa hilang, malah semakin melebar. Ya, ia berencana untuk menjemput [Name], tunangannya, di sanggar tari.

Ia mengepalkan tangan yang tersembunyi dalam saku mantel kala angin musim dingin menerpa. Sejujurnya, ia tidak terlalu suka berkeliaran di luar apartemen dalam cuaca seperti ini, ia lebih memilih bergelung dalam selimutnya dekat perapian. Namun, gagasan bertemu dengan sang Kekasih Hati yang sudah cukup lama tidak ia temui membuatnya rela berjalan kaki saat suhu berada di bawah nol derajat.

Matanya berbinar bahagia kala mendapati [Name] tengah menunggunya di depan gerbang. Tidak ingin tunangannya menderita lebih lama, Yoongi menggerakkan tungkainya lebih cepat. Ia berlari kecil menghampiri [Name] yang tersenyum lebar saat menyadari keberadaannya di seberang jalan.

“Kenapa tidak menunggu di dalam saja?” tanya Yoongi saat jarak mereka sudah kurang dari satu meter. “Kau dan kekebalan tubuhmu tidak bisa bertahan terlalu lama di suhu dingin seperti ini.”

[Name] menggelengkan kepalanya lucu. “Tidak masalah. Aku hanya ingin bertemu denganmu lebih cepat. Kalau menunggu di dalam kita tidak bisa langsung pulang dan makan malam. Aku sudah kelaparan.”

Yoongi tertawa.

“Baiklah kalau itu yang diinginkan Ratuku,” Yoongi meraih tangan [Name] yang terbalut sarung tangan, menautkan jemari mereka, mengisi setiap celah yang terbuka. “Ada ide untuk makan malam kita?”

“Aku ingin sup krim dengan garlic bread, mungkin ditambah cheesecake sebagai makanan penutup. Oh oh, jangan lupakan susu cokelat hangatnya sebelum tidur,” ucap [Name] penuh semangat. Gadis itu membasahi bibirnya, membayangkan betapa nikmatnya saat makanan yang ia sebutkan berada di indra pengecapnya.

“Keinginanmu adalah perintah untukku Yang Mulia,” Yoongi membungkukkan setengah badannya ke arah [Name] bercanda. “Kalau begitu, kita harus cepat kembali ke apartemen untuk memuaskan keinginanmu itu.”

Yoongi menuntun [Name] ke arah jalan yang beberapa saat lalu ia lewati. Sesekali ia mengusap kedua tangannya cepat lalu menempelkan tangannya yang hangat di pipi tunangannya, berusaha sebisa mungkin untuk menjaga [Name] tetap hangat walaupun gadis itu sudah di selimuti dengan tiga lapis pakaian.

“Omong-omong, Yoongi? Bagaimana dengan lagumu? Apa kau sudah menyelesaikannya dengan baik?”

Pertanyaan [Name] mampu membuat Yoongi mengernyitkan dahinya. Sebenarnya, ia tidak terlalu suka membicarakan pekerjaan di tengah waktu berduaan mereka. Lebih baik membicarakan rencana pernikahan mereka yang akan dilangsungkan saat musim panas tahun depan. Bagaimanapun juga, ia tahu [Name] hanya mengkhawatirkannya.

“Baik-baik saja. Sudah hampir selesai, tinggal finishing terakhir sebelum bisa diterima oleh agensi,” ucap Yoongi seraya mengangkat bahu acuh tak acuh. “Aku juga hampir menyelesaikan lagu untuk tarianmu. Mungkin beberapa hari lagi kau sudah bisa mendengarkan lagunya.”

“Seharusnya kau mengutamakan mixtape-mu,” [Name] menggelengkan kepalanya sedikit kecewa. “Lomba tariku bisa menunggu sedikit lebih lama. Tidak baik mengerjakan pekerjaanmu dengan fokus terbagi seperti itu.”

Yoongi mendengus kecil. “Aku bisa mengerjakan pekerjaanku dengan baik bahkan dengan perhatian terbagi. Kau dan musikku sama pentingnya. Aku tidak bisa memilih salah satu di antara kalian.”

“Aku tidak tahu apakah harus merasa tersentuh dengan ucapan romantismu atau kesal karena masih belum bisa menang saat bersaing dengan musikmu,” [Name] menggelengkan kepala. Entah sudah yang keberapa kali [Name] menggelengkan kepalanya hari ini.

“Anggap saja ucapanku sebagai pujian,” dengus Yoongi.

“Baiklah. Terserah dirimu saja.”

Ia menyadarinya. Yoongi menyadari tatapan aneh dan bingung dari sekitarnya. Tatapan layaknya ia memiliki kepala tiga dan ekor di belakangnya. Kalau saja tatapan seseorang mampu melubangi sesuatu, maka dapat dipastikan punggungnya sudah berlubang. Namun, untuk sekarang tatapan itu tidak menganggunya. Tidak selama [Name] berada di sebelahnya. Tidak selama [Name] menuntut seluruh perhatiannya.

“[Name],” panggilnya seraya mengeratkan tautan jemari mereka.

“Hm?” gadis itu menoleh samar, memamerkan senyum kecilnya yang mampu membuat Yoongi berulang kali jatuh cinta padanya.

“Aku menyayangimu. Kumohon jangan pernah lupakan itu,” bisik Yoongi. Ia menghentikan laju kakinya, menghabiskan waktu beberapa lama hanya untuk merengkuh gadis yang akan menjadi miliknya setelah dua musim berlalu.

“Ada apa denganmu sebenarnya? Ini pertama kalinya dalam waktu yang lama kau bertingkah romantis seperti ini,” ucap [Name] heran, tapi tidak memberontak dalam rengkuhan Yoongi.

“Tidak. Tidak ada apa-apa denganku.”
***
Entah sudah keberapa kalinya ia menghela nafas saat Namjoon berbicara. Sahabat seperjuangannya kembali mengatakan hal yang tidak masuk akal. Hal yang sudah berulang kali ia katakan namun terus Yoongi abaikan. Pada akhirnya, ia lebih memilih fokus pada ponselnya dan mengobrol dengan [Name] lewat pesan daripada harus mendengarkan ocehan Namjoon.

“Yoongi-hyung kau mendengarkanku tidak?” tanya Namjoon sangsi.

“Ya ya, aku mendengarmu. Memangnya kapan aku tidak mendengarkanmu, Namjoon-ah?” Yoongi hanya memberi respon santai pada Namjoon yang sudah menggeram kesal.

“Aku serius hyung. Kau harus keluar dari kegilaan ini. Apa kau tidak sadar beberapa bulan ini orang-orang selalu menatapmu saat berjalan di keramaian seakan kau gila?” Namjoon menggebrak meja, tidak terlalu ia pedulikan rasa nyeri yang perlahan menyelimuti tangannya. Ia hanya berusaha menyadarkan sahabatnya sekarang. “Kumohon. Kembalilah menjadi Yoongi-hyung yang kukenal.”

“Apa yang kau katakan sebenarnya, Namjoon?” dahi Yoongi mengernyit tidak suka dengan ucapan Namjoon. “Aku tidak pernah berubah. Kaulah yang berubah. Entah apa yang merubahmu menjadi orang yang penuh dengan omong kosong.”

Yoongi menggelengkan kepala frustasi. Tidak menyangka ajakan bertemu yang ia pikir untuk melepas penat menjadi adu keras kepala dengan argumen masing-masing. Ia muak terus beradu argumen dengan sahabatnya, ditambah lagi topik yang selalu menjadi perdebatan hanya itu-itu saja.

“Cukup hyung. Aku sudah muak dengan semua ini. Apa kau tidak tahu? Apa kau tidak menyadari tatapan khawatir yang selalu dilemparkan orangtuamu? Apa kau tidak sadar dengan tatapan aneh semua orang saat kau merasa berbicara dengan [Name]-noona?” Namjoon mengepalkan tangannya, kesal dengan kekeras kepalaan sahabatnya. “Kapan kau akan menerima kenyataannya!?”

Yoongi bungkam. Takut mengatakan hal yang tidak diinginkannya saat amarah mulai menyelimuti pikirannya. Bibirnya memang terkatup, tapi tidak dengan matanya yang berkilat marah menatap sosok Namjoon yang juga tidak kalah kesal.

“Kau tahu betapa sulitnya untukku agar kau menyadari kenyataan pahit ini? Beban yang kutanggung agar hyungku keluar dari dunia penuh delusinya? Apa kau tahu!?” suara Namjoon semakin lama semakin meninggi seiring dengan kebungkaman Yoongi yang membuat kepalanya seperti mendidih.

Pelanggan lain yang berada di dekat mereka mulai menatap penuh rasa ingin tahu, tapi tidak satupun dari mereka yang menggubris tatapan itu. Keduanya terlalu sibuk mengalahkan yang lainnya dengan tatapan nyalang.

“Hyung!!”

“Diamlah Namjoon,” berbeda dengan Namjoon yang nada bicaranya semakin meninggi, Yoongi berbicara dengan nada pelan dan berbisik, tapi tidak mengurangi aura dominan yang mengintimidasi.

“Aku tidak ingin mendengar apapun lagi tentang [Name]. Tidak darimu.”

“[Name] sudah tiada,” rahang Yoongi mengeras saat Namjoon mengatakan sesuatu yang memancing rasa duka. “Tunanganmu, gadis yang selama ini kau cintai, sahabatku sejak beberapa tahun lalu, [Name]-mu sudah tiada. Kapan kau akan menerima fakta ini dan menenangkan rasa khawatirnya?”

“Sudah kubilang diam, sialan!” umpat Yoongi. “[Name]-ku masih hidup. Aku menjemputnya di sanggar tari kemarin, aku makan malam bersamanya dan ia tertidur dalam pelukanku selama kami menghangatkan diri di depan perapian. Bahkan kami baru saja bertukar kabar lewat pesan. Bagaimana bisa kau berkata [Name] telah tiada!?”

Keduanya terdiam. Kembali tenggelam dalam tatapan satu sama lain. Inilah yang membuatnya kesal setiap kali bertemu dengan Namjoon. Yoongi selalu kesal bertemu dengan Namjoon karena setiap kali mereka bertemu [Name] yang tiada selalu menjadi topik pembahasan yang membuat sesuatu dalam dirinya bergejolak.

“Ikut aku,” Namjoon menarik tangannya ke arah mobil. Tidak ada gunanya ia memberontak, karena pada akhirnya tubuh yang lebih besar dan lebih kuat itu tidak akan bisa ia kalahkan.

Ia melipat tangan di depan dada selama Namjoon memfokuskan diri menyetir ke arah yang tidak familiar untuknya. Bibirnya terkatup rapat, enggan mengeluarkan suara, sampai akhirnya mereka tiba di tempat yang paling jarang ia kunjungi seumur hidupnya.

Pemakaman.

“Apa yang akan kita lakukan di sini?” dahinya mengernyit samar, bingung dengan apa yang akan mereka lakukan di tempat yang paling menyimpan duka.

“Bertemu dengan [Name]. Mungkin bertemu dengannya akan menyadarkanmu dengan kenyataan yang selama ini kau hindari,” balas Namjoon singkat sambil melangkah cepat seakan tahu kemana kakinya pergi.

“Omong kosong apalagi yang akan kau berikan padaku?”

“Bukan omong kosong, tapi fakta yang kau sangkal.”

Mereka menghentikan langkah saat berada di depan nisan yang bertuliskan nama gadis yang menemaninya kemarin, gadis yang sudah menempati hatinya selama beberapa tahun terakhir, gadis yang selalu menemaninya mengukir setiap kenangan.

[Name].

“Leluconmu tidak lucu, Namjoon. Sama sekali tidak lucu.”

“Kau ingat beberapa bulan lalu ketika kau meneleponku dan berkata noona terkena serangan hipotermia?” tanya Namjoon mengabaikan ucapan Yoongi. “Saat itu [Name]-noona sudah tidak bisa diselamatkan dan kau pingsan setelahnya. Aku dan keluargamu sudah memberitahukan hal ini padamu, tapi kau terus menolaknya dan tetap berpikir bahwa noona masih hidup, masih berada di sekitarmu hingga hari ini. Awalnya kami berpikir kalau kau hanya mengalami trauma, tapi seiring dengan berjalannya waktu kau mulai memercayai kalau [Name]-noona masih hidup.

“Bukan hanya dirimu, aku pun merasa sangat kehilangan dengan meninggalnya noona. Hal yang bisa kulakukan untuknya adalah dengan menenangkan hatinya yang khawatir, menenangkan perasaannya yang terus bertanya-tanya tentang keadaanmu yang masih terpuruk. Bahkan aku yakin noona ingin kau menerima kenyataan bahwa ia sudah tiada. Dan itulah yang kulakukan sekarang.”

Ia jatuh terduduk setelah mendengar penuturan Namjoon. Inikah alasan mengapa orang-orang selalu memperhatikannya saat ia merasa tengah berbicara dengan [Name]? Inikah alasannya ia merasa begitu hampa saat merengkuh gadisnya? Inikah kenyataan yang harus ia hadapi? Bahwa ia telah kehilangan salah satu penopang hidupnya yang kokoh?

Yoongi terdiam. Tangannya mengepal kala mengingat alasan [Name] mengalami serangan hipotermia.

Dirinyalah alasan [Name] meninggal. Penyesalan yang amat sangat merengkuhnya, menenggelamkannya dalam perasaan bersalah hingga dadanya sesak. Oksigen sulit mencapai paru-parunya. Hal selanjutnya yang ia sadari adalah pipinya basah dengan air mata.

“Maafkan aku. Kumohon, maafkan aku [Name]. Maafkan aku.”

Beberapa bulan yang lalu....

Yoongi menghela nafas frustasi karena lagu yang ia tulis tidak sesuai dengan ekspektasinya, ditambah dengan batas waktu yang semakin mendekat memaksanya untuk mengurung diri dalam studio pribadi. Sialnya, seiring dengan fokusnya merombak keseluruhan lagu, ia juga harus rela mengurangi waktunya bersama dengan sang Kekasih Hati.

“Yoongi,” panggil [Name]. Gadis itu melongokkan kepala ke studio. “Istirahatlah sebentar, aku sudah menyiapkan makan malam. Kau bisa melanjutkan lagumu saat perut sudah terisi penuh. Aku juga ingin menghabiskan malam ulang tahunku bersamamu.”

“Tidak perlu [Name]. Aku belum lapar, lagipula pekerjaanku masih belum selesai. Kita bisa merayakan ulang tahunmu setelah aku selesai nanti,” tolak Yoongi tanpa mengangkat kepalanya.

“Ayolah Yoongi. Kau tidak makan malam untuk beberapa hari dan aku yakin kau hanya makan siang seadanya di kantor,” bujuk [Name]  lagi, berusaha untuk mengeluarkannya dari ruangan yang tengah menelannya dalam rasa frustasi.

Yoongi mengangkat kepalanya untuk menatap [Name]. Hanya saja kali ini matanya menyiratkan rasa frustasi dan amarah yang tidak bisa ia keluarkan. Rasanya [Name] ingin bumi menelannya hidup-hidup daripada harus berhadapan dengan tatapan maut Yoongi.

“Sudah kubilang tidak perlu [Name]. Berapa kali harus kubilang kalau pekerjaanku itu penting. Lebih penting daripada makan malam bersamamu. Lebih penting daripada berjalan-jalan denganmu. Lebih pentinh daripada perayaan ulang tahunmu.Dan lebih penting daripada dirimu. Apa kau sadar kalau keberadaanmu sangat menggangguku?”

Mata [Name] terbelalak mendengar racauan Yoongi, begitu juga dengan Yoongi sendiri. Ia tidak percaya kalau mulutnya bisa mengeluarkan kata-kata sekejam itu pada [Name]. Pada tunangannya sendiri. Baru saja Yoongi ingin mengucapkan kata maaf, [Name] sudah mendahuluinya.

“Baiklah Yoongi.. Kalau memang keberadaanku sangat mengganggumu, sebisa mungkin aku akan menjauh darimu.”

Tidak ada yang bisa Yoongi lakukan untuk mencegah [Name]. Tidak mampu lebih tepatnya. Ia masih terpaku mendengar ucapannya sendiri. Hal selanjutnya yang ia ketahui adalah pintu utama yang tertutup keras.

Entah sudah berapa lama Yoongi memandangi layar laptopnya tanpa melakukan apapun, Hanya memandang. Ide dan keinginannya untuk merombak seluruh lagu pun hilang, tergantikan dengan pikiran akan [Name] dan perasaan gadis itu terhadapnya. Sudut matanya menangkap jam yang ada di sisi bawah laptop.

“Sial,” umpatnya lalu berlari keluar studio dan menyambar jaketnya dengan kecepatan fantastis.

Sudah hampir tiga jam sejak [Name] meninggalkan apartemennya dan gadis itu tidak mengenakan apapun selain kaus lengan panjang dan celana tidurnya. Ia terus mengutuk dirinya karena tidak bisa mengendalikan apapun yang keluar dari bibirnya. Lihat akibatnya sekarang.

[Name] yang memiliki daya tahan tubuh lemah dan rapuh terhadap dingin sekarang berada di tempat yang tidak ia ketahui di tengah cuaca bersalju yang suhunya di bawah lima derajat. Terkutuklah ia jika sesuatu terjadi pada gadisnya.

Yoongi hanya berlari, membiarkan kakinya yang menuntun kemana ia harus pergi. Ia sama sekali tidak terkejut saat sampai di taman yang sering mereka kunjungi. Namun, bukan kenangan bahagia yang tersimpan bersama taman ini yang menjadi fokusnya, sosok [Name] yang terbaring di bangku taman yang menyita seluruh atensinya.

“[Name]! Astaga... [Name]!” ia kembali berlari menghampiri gadisnya.

Dingin. Saat tangannya bersentuhan dengan tangan [Name], sensasi dingin menjalar ke seluruh telapak tangannya. Tidak. Bukan pertanda baik jika telapak tangan [Name] mendingin dan bibir gadisnya membiru.

Otaknya tidak bisa berpikir dengan jernih. Yang ia pikirkan hanyalah keselamatan [Name]. Tanpa menunggu waktu lama, ia menggendong [Name], merengkuh gadisnya dalam pelukan hangat lalu berlari sekencang yang ia bisa ke arah rumah sakit terdekat. Sama sekali tidak terpikirkan untuk memanggil taksi atau membawa mobilnya. Pikirannya hanya fokus pada satu tujuan, bawa [Name] ke rumah sakit secepatnya!

Setelah sampai di rumah sakit, ia hanya meneriakkan kata tolong, yang benar-benar menyalahi karakternya. Kakinya tetap berjalan menemani [Name] meskipun sudah menjerit meminta istirahat. Yoongi sempat memberontak saat dokter berkata ia harus menunggu di kursi tunggu.

“Selamatkan gadis itu. Selamatkan [Name],” gumam Yoongi. Ia mengucapkannya berkali-kali layaknya mantra yang akan terwujud.

Ia tidak menyadari kalau Namjoon dan yang lainnya sudah datang. Yoongi baru menyadari sekelilingnya saat dokter yang menangani [Name] keluar. Ia berdiri, sama sekali tidak mengindahkan membernya.

“Tubuhnya yang ringkih tidak bisa menahan hawa dingin dengan suhu terlalu rendah seperti musim ini. Saluran pernafasannya sudah terlanjur menutup. Untuk beberapa saat ia tidak bisa mengambil oksigen. Kami sudah berusaha memberikan pertolongan pertama, tapi sudah terlambat. Tidak ada yang bisa dilakukan,” ucap dokter itu.

Seharusnya dengan kepintaran yang ia miliki, Yoongi bisa mengerti ucapan dokter, tapi di saat seperti ini otaknya tidak bisa menerima informasi bahkan yang sederhana sekali pun. Ia hanya bertindak dengan refleksnya.

“Apa yang kau bicarakan? [Name] baik-baik saja, kan?” Yoongi menarik kerah baju dokter dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

“[Name] sudah tiada. Kau harus menerima kenyataannya.”

Tepukan dari tangan yang sangat ia kenal tidak membuat Yoongi tersadar dari pikirannya. [Name]nya tiada. Gadis yang sangat mengerti dirinya sudah tidak ada dan ini semua salahnya. Kalau saja ia tidak bertindak dengan emosi. Kalau saja ia lebih memperhatikan dirinya sendiri hingga gadis itu tidak perlu mengkhawatirkannya secara berlebihan.

Hal terakhir yang [Name] ingat sebelum kematian menjemputnya adalah bertengkar dengan Yoongi.

Penyesalan menenggelamkan Yoongi seumur hidupnya. Pandangannya langsung menggelap. Yoongi pingsan.

Ia berlutut di depan nisan dengan sekuntum lili putih. Sudah satu hari sejak ia keluar dari dunia penuh delusinya. Sudah satu hari sejak ia menerima dengan paksa [Name] sudah tiada. Sudah satu hari sejak hati terasa hampa dan akan begitu untuk seterusnya.

“Aku tidak sempat memohon maafmu, tidak bisa mengatakan aku sangat mencintaimu untuk terakhir kalinya, bahkan hal terakhir yang kau ingat adalah mendengar kalimat kejam yang tidak pernah kulontarkan untukmu. Karena itu aku memohon maafmu sekarang.

“Maaf karena terlambat menyadari kenyataan, maaf karena aku tidak mampu menjadi pria yang baik untukmu, maafkan aku terutama karena mengecewakanmu di akhir hidupmu. Maafkan aku [Name]. Maafkan aku. Rasanya sesak mengetahui akulah penyebab semua ini bisa terjadi. Kau tidak tahu aku berusaha keras untuk tidak meminum obat tidur melebihi dosis yang diberikan dokter,” senyumnya saat mengingat malam paling sengsara yang pernah ia alami.

Ia memajukan wajah, menempelkan bibirnya sejenak di batu nisan bertuliskan nama gadis yang paling ia sayangi.

“Walaupun kenangan terakhir kita adalah bertengkar, kuharap memori bahagia kita mampu membuatmu tersenyum dimana pun kau berada. Aku mencintaimu dan akan selalu begitu.”

Maaf banget req nya baru bisa diupdate sekarang.. Semoga dirimu suka ya.. RizeThea

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top