Kim Seok Jin
Andai saja Seokjin menuruti ucapan manajer mereka untuk tidak mengendarai mobilnya sendirian. Andai saja ia mendengarkan ucapan member lain yang berusaha menahannya agar tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Andai saja ia mengikuti kata hatinya yang berkata akan terjadi sesuatu yang buruk. Andai saja.
Namun semuanya sudah terlambat. Ia hanya mampu berteriak seandainya. Seokjin harus menerima kenyataan pahit ini cepat atau lambat.
Hatinya terasa nyeri saat mengingat gadis yang begitu ia cintai tengah berjuang mempertahankan hidupnya di dalam sana. Di dalam ruangan yang berisik dengan irama detak jantung [Name], ruangan yang selalu menjadi penentu akhir kehidupan seseorang.
“Hyung bertahanlah. [Name] akan baik-baik saja,” Yoongi mengusap punggungnya dengan gestur menenangkan, berusaha meredakan panik yang menggerogoti akal sehat Seokjin. “Kau harus kuat untuk [Name]. Ia tidak akan mampu bertahan lama jika laki-laki yang menjadi penopang hidupnya goyah seperti ini.”
“Bagaimana bisa aku terlihat kuat saat penopang hidupku sendiri tengah mempertaruhkan nyawa di dalam sana, Yoongi!?”
Seokjin tidak bermaksud untuk membentak dongsaengnya. Tidak. Ia sama sekali tidak berniat seperti itu. Ia hanya bingung dan panik dengan kejadian ini sampai akhirnya hanya amarah yang terlihat darinya. Bayangan tentang kehilangan sumber senyumnya hampir membuat Seokjin gila. Ditambah lagi dengan suara Jungkook dan Jimin yang terisak samar, hanya menambah sesaknya.
“Yang Yoongi-hyung katakan benar. Kau harus kuat, kalau tidak sanggup untuk dirimu sendiri, setidaknya lakukan ini untuk [Name],” ucap Namjoon. “Kami semua bersamamu hyung. Kami bersamamu.”
Tangis yang sudah ditahannya sejak beberapa jam lalu, kini tumpah saat ada enam lengan yang memeluknya erat, berusaha untuk menguatkannya tanpa suara. Karena sejujurnya saat ini Seokjin tidak mampu mendengar apapun selain debaran jantungnya yang menggila.
Suara ban yang berdecit saat ia menginjak rem, kerasnya benturan saat truk menghantam mobil yang mereka kendarai, juga teriakan [Name] saat pecahan kaca merobek paksa kulitnya. Seokjin masih tetap merinding setiap kali teriakan [Name] menggema di telinganya. Semuanya masih terekam begitu jelas di benak Seokjin. Semuanya.
Senyuman masih belum luntur dari bibir keduanya sejak mereka meninggalkan restoran yang sengaja Seokjin pesan untuk acara malam ini. Setelah berdiskusi dan berdebat panjang dengan member serta manajernya, Seokjin memberanikan diri untuk mengikat kekasihnya.
Ya, ia sudah menyematkan cincin di jari manis tangan kiri [Name]. Hanya dalam beberapa bulan, gadis itu akan menjadi wanitanya.
“Darimana kau mendapatkan ide seperti ini?” tanya [Name]. Gadis itu masih mengusap cincin pemberian Seokjin dengan kagum setengah tidak percaya.
“Semua ini ideku sendiri. Ide yang dipakai oleh jutaan laki-laki di muka bumi saat melamar kekasihnya,” Seokjin terkekeh pelan. “Sebenarnya aku ingin membujukmu untuk menikah denganku menggunakan masakanku, tapi kupikir untuk apa? Setelah menikah nanti, bahkan sebelum hubungan kita resmi kau sudah sering mencicipi masakanku.”
“Sejujurnya, bagaimanapun caramu melamarku, aku pasti akan mengatakan iya,” gumam [Name]. Gadis itu mendekatkan wajahnya pada Seokjin lalu mencium pipi tunangannya sebelum merebahkan kepalanya di bahu bidang Seokjin.
“Walaupun aku melamarmu sambil menari di depan umum dengan mengenakan gaun putri kerajaan?” goda Seokjin.
[Name] mengangguk sambil tertawa kecil. “Tentu saja. Aku masih akan mengatakan iya kalau hal itu terjadi.”
Seokjin tersenyum kecil. Tawa [Name] adalah salah satu hal yang paling di sukainya, ia mudah tersenyum hanya dengan membayangkan tawa gadisnya. Tangan kanan Seokjin meraih jemari [Name], menautkan jari-jari mereka lalu meremas tangan [Name] lembut. Ibu jarinya mengusap punggung tangan [Name] ringan, gestur yang selalu dilakukannya setiap kali jemari mereka tertaut.
“Aku mencintaimu [Name]. Sangat mencintaimu sampai rasanya perasaanku membuncah bahagia saat kau menjawab iya beberapa waktu yang lalu,” bisik Seokjin, tidak ingin merusak suasana yang tercipta.
“Aku juga sangat mencintaimu, Seokjin-oppa.”
[Name] mendongak menyusuri wajah Seokjin dari dekat, hal yang jarang ia lakukan mengingat kesibukan yang memaksa keduanya sulit bertemu. Merasa ada yang menatapnya, Seokjin menoleh ke arah [Name]. Tidak pernah Seokjin menatap seorang gadis dengan penuh kasih sayang, namun kecantikan [Name] menjadikan dirinya pengecualian. Betapa Seokjin sangat mendambakan hal seperti ini.
Tapi takdir tidak sebaik itu. Baru beberapa detik mereka beradu tatap, indra penglihatan mereka dibutakan dengan silau cahaya dari mobil yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari posisi mereka. Sayangnya, gerakan Seokjin terlalu lambat.
Kejadiannya terjadi begitu cepat. Suara klakson yang sangat bising menulikan telinga keduanya. Hal selanjutnya yang Seokjin sadari adalah benturan keras menghantam kap mobilnya lalu sisi kiri mobilnya. Kepalanya membentur dashboard lalu kaca dengan sangat keras hingga pandangannya mengabur. Untuk beberapa saat Seokjin seperti tengah meregang nyawa.
Perlahan tapi pasti semua indranya kembali berfungsi normal. Ia harus menahan jeritan saat kepalanya terasa seperti dihantam berkali-kali dengan tongkat baseball, tangan kirinya berputar tidak wajar. Ia yakin tidak akan bisa menggunakan tangan kirinya untuk beberapa waktu. Menit selanjutnya, Seokjin dihunjam rasa panik saat sosok di sampingnya tidak bergerak.
Darah mengalir dari sudut dahi [Name], bibir gadis itu juga tak luput dari cairan merah yang menjadi sumber kehidupan manusia. Kepalanya terkulai lemah dan matanya terpejam. Seokjin tidak tahu seberapa parah keadaan gadisnya. Dengan susah payah ia meraih ponsel dengan posisi yang menyakitkan.
Entah sudah berapa lama ia menunggu. Menunggu [Name] tersadar, menunggu ambulans datang, juga menunggu salah satu member yang berhasil ia hubungi. Namun, satu menit berjalan layaknya seribu tahun. Rasa sakit yang perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya mulai tak tertahankan, ditambah dengan keadaan [Name] yang tidak semakin membaik.
Saat suara sirine yang familiar terdengar, Seokjin kehilangan kesadarannya.
Kejadian ini terus berputar di kepala Seokjin bagai kaset rusak sejak ia tersadar dari pingsannya. Begitu bangun seluruh member dan manajernya berkumpul di sekitar kasurnya. Namjoonlah yang menjawab pertanyaan tentang bagaimana keadaan [Name].
“Noona masih belum sadar. Dokter bilang kepalanya terbentur cukup keras untuk mengalami koma. Hanya itu yang kutahu,” kata Namjoon. Tidak hanya Namjoon, member lainnya juga menampakkan raut wajah sedih dan prihatin mendengar kabar ini.
“Aku ingin menemuinya. Kumohon bawa aku padanya,” pinta Seokjin dengan wajah memelas setengah memohon. Tidak ada yang bisa menolak permintaannya, bahkan manajer mereka.
Seokjin bingung dengan apa yang dirasakannya begitu melihat [Name] dikelilingi dengan kabel untuk menjaganya tetap hidup, bibirnya memucat dan kelopak matanya terpejam. Gadisnya terlihat damai, tapi Seokjin tidak menyukai kedamaian yang terlihat. Ia merasa [Name] sudah siap untuk meninggalkannya.
Suara pintu terbuka mengalihkan Seokjin dari lamunannya. Belum sempat dokter yang menangani [Name] menarik nafas, ia sudah berada dihadapannya, memburu sang Dokter dengan pertanyaan tentang [Name].
“Kami sudah melakukan yang terbaik,” mulai dokter. Firasat Seokjin mengatakan ada sesuatu yang tidak beres dengan nada bicara dokter itu. “Benturan yang dialaminya begitu keras hingga mampu menggagalkan beberapa syaraf dan memecahkan pembuluh darah di otak. Pengaruhnya sangat fatal hingga otaknya sudah tidak berfungsi lagi.”
“Maksudnya?”
“Maafkan kami Tuan Kim. Nona [Name] tidak berhasil kami selamatkan,” gumam dokter. “Kami turut sedih dengan kehilanganmu.”
Hanya satu kalimat. Kalimat yang sering ia dengar di drama, kalimat yang sering ia baca di novel. Namun, bagaimana bisa satu kalimat itu mampu meruntuhkan seluruh dunianya? Kalimat yang memaksanya untuk menghadapi rasa kehilangan yang amat sangat, menyadarkannya pada kenyataan yang belum siap dan tidak akan pernah siap ia hadapi.
Betapa takdir sedang mempermainkannya. Beberapa jam yang lalu mereka masih berbincang di dalam mobil, masih mengucapkan cinta pada satu sama lain. Beberapa jam yang lalu Seokjin menyematkan cincin tanda pengikat pada jemari gadisnya. Mereka hampir terikat, lalu mengapa kematian mengambilnya begitu cepat?
Dadanya sesak, lututnya lemas, jika bukan karena Namjoon dan Yoongi yang menopangnya, mungkin Seokjin sudah jatuh terduduk. Baru saja mengikat hubungan mereka, ia harus kehilangan gadisnya. Kehilangan kebahagiaannya, kehilangan masa depannya.
Saat suara menoton panjang itu menggema ke seluruh penjuru ruangan, saat wajah [Name] tertutup dengan kain putih, saat dokter mengumumkan waktu kematian [Name]. Saat itulah Seokjin kehilangan sebagian jiwanya. Tangisan Seokjin terdengar begitu menyakitkan untuk didengarkan. Tangisan dari seseorang yang kehilangan cintanya karena kesalahannya sendiri, tangisan dari orang yang berharap dia bisa memutar waktu untuk memperbaiki keadaan yang sangat ia sesali, tangisan dari seseorang yang kecewa dengan dirinya sendiri.
Kim Seokjin kehilangan sebagian dirinya.
“Maaf [Name]. Kumohon maafkan aku yang tidak bisa menjagamu, kumohon.” Ucap Seokjin ditengah isakannya, “Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikanmu. Tidak akan pernah.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top