Kim Seok Jin
Senyum getir terukir di wajah ayu [Name] saat ia memperhatikan diri sendiri di hadapan cermin. Tangannya mencubit sisi perut, kemudian menepuk lengan dan pahanya. Cemooh yang menggema di kepala juga tidak membantunya merasa lebih baik, malah hanya membuat batinnya semakin terpuruk. Benar kah yang dikatakan oleh mereka? Tentang dirinya yang tidak pantas untuk Seokjin?
“Jagiya, aku datang. Dimana kau?” suara Seokjin menggema ke seluruh penjuru apartemennya yang sunyi.
Tidak ingin membuat Seokjin mengkhawatirkan dirinya, [Name] langsung menurunkan kausnya, berusaha memamerkan senyumnya yang paling indah seraya bersiap menerima kedatangan Seokjin. Sudah cukup beban yang ditanggung Seokjin, kekasihnya tidak perlu ikut mengkhawatirkan rasa ketidak percayaan dirinya.
“Selamat datang Seokjin-oppa,” [Name] melompat dan memeluk kekasihnya saat mereka bertemu di dapur. “Kau ingin membuat makan malam untukku lagi?”
“Kenapa tidak?” Seokjin tersenyum lalu mendekatkan wajahnya pada wajah [Name], bibirnya beradu dengan pipi kekasihnya. “Sepertinya sudah lama sekali sejak kita makan malam berdua. Maafkan aku karena jarang menemuimu, Jagi.”
[Name] terkekeh pelan. Sejenak cemooh dan cacian menguap dari pikirannya. Keberadaan Seokjin di sisinya selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik daripada pil penenang manapun.
“Tidak perlu minta maaf seperti itu. Kau tidak melupakanku saja, aku sudah merasa sangat senang,” [Name] memeluk pinggang Seokjin dari belakang saat laki-laki itu tengah disibukkan dengan bahan makan malam. Ia merebahkan kepala di bahu bidang Seokjin, menikmati aroma yang tidak ia hirup selama beberapa waktu.
Tangan Seokjin menggenggam tangan [Name] yang berada di pinggangnya, memberi remasan pelan seakan mencoba berkata pada kekasihnya untuk tidak mengkhawatirkan hal-hal seperti itu.
“Jangan bercanda. Mana bisa aku melupakan gadis yang selalu berhasil membuatku bahagia, bahkan hanya dengan memikirkannya,” gumam Seokjin. Kepalanya sedikit menoleh, melirik kekasihnya yang masih asyik menyandarkan kepalanya.
Seokjin tidak terganggu dengan sikap [Name]. Sama sekali tidak. Kalau boleh jujur, ia malah senang dengan tingkah manja yang menuntut perhatian setiap kali ia mampir ke apartemen [Name], baik hanya sekedar makan malam bersama atau ia menginap dengan alasan sedang malas berada di dorm.
Namun, alih-alih memperlihat ekspresi tenang nan nyaman yang biasa [Name] perlihatkan, Seokjin melihat gurat lelah dan khawatir yang disembunyikan di wajah [Name]. Ia tidak mengerti kenapa bisa berpikiran seperti itu, tapi ia tahu ada sesuatu yang salah dengan kekasihnya.
Untuk beberapa waktu, keduanya masih nyaman dengan posisi seperti itu. Berterima kasihlah pada tangan panjang Seokjin karena ia tidak perlu bergerak ke sana kemari untuk mengambil bahan dan mengganggu ketenangan di antara keduanya.
“Jagi, duduk di kursimu. Aku akan membawa makan malamnya ke sana,” suruh Seokjin lembut.
[Name] menurut. Ia melepaskan pelukannya lalu mendudukkan diri di kursi yang berseberangan dengan kursi Seokjin. Matanya masih melekat pada sosok Seokjin yang berjalan mondar-mandir untuk menaruh makan malam mereka, dalam hati berpikir bagaimana bisa ia mendapatkan sosok yang begitu baik untuk mencintai dirinya yang tidak memiliki apapun untuk membuatnya bahagia.
“Seokjin-oppa, boleh aku bertanya sesuatu padamu?” suara [Name] menghentikan gerakan tangan Seokjin untuk menyuap makanannya.
“Tanyakan saja.”
“Kenapa kau memilihku? Banyak gadis di luar sana yang rela mati untuk menjadi kekasihmu, banyak gadis yang lebih pintar, lebih cantik daripada aku. Apa yang kau lihat dariku?” [Name] berbicara dengan suara gemetar, takut pertanyaannya hanya akan membangkitkan amarah Seokjin.
“Kenapa bertanya seperti itu, Jagi?” Seokjin menaruh sumpitnya. Dugaan tentang keadaan kekasihnya benar, [Name] tengah mengkhawatirkan sesuatu. Belakangan ia tahu [Name] tidak percaya pada dirinya sendiri.
“Aku hanya heran, apa yang membuatmu jatuh cinta padaku,” ujar [Name] menundukkan kepala.
“Apa yang kulihat darimu, ya?” gumam Seokjin. “Aku melihatmu tentu saja. Aku melihat kekuatanmu, aku melihat kesedihanmu, ketakutanmu, betapa baik hatinya dirimu. Yang kulihat hanya dirimu, bukan gadis lain.”
[Name] tertegun. Ia tidak menyangka itulah jawaban yang akan ia dapatkan atas pertanyaannya. Kepalanya perlahan terangkat saat ada ibu jari dan telunjuk berada di dagunya. Untuk kesekian kalinya, ia kembali terpesona pada Seokjin karena melihat senyumannya.
“Tapi banyak dari mereka yang lebih pintar, lebih cantik dan lebih pantas bersamamu,” [Name] masih bersikeras, tidak puas dengan jawaban yang diberikan kekasihnya.
“Memang kau tidak secantik mereka dan aku yakin sekali banyak gadis yang terlihat pantas saat disandingkan denganku,” ucap Seokjin dengan nada lembut. Ia menangkup wajah [Name] dalam genggamannya lalu mencubit pipi kekasihnya gemas. “Tapi untuk apa gadis cantik kalau aku tidak menyukainya? Untuk apa ada gadis yang pantas bersanding denganku kalau hatiku menolak keberadaannya?”
[Name] tersenyum kecil. “Bohong. Tidak mungkin Seokjin-oppa tidak menyukai gadis cantik.”
Seokjin terkekeh pelan, mengusap pipi [Name] yang ia cubit dengan ibu jarinya. Tatapan penuh kasih sayang sangat jelas terlihat dalam matanya. “Tentu saja aku menyukai gadis cantik. Kalau tidak, bagaimana bisa aku melihatmu?”
Wajah [Name] memerah hebat. Jarang sekali ia mendengar Seokjin mengatakan hal manis. Ingin rasanya memalingkan wajah, namun kedua tangan Seokjin yang berada di pipi menahannya.
“Masih ragu dengan perasaanku padamu?” tanya Seokjin.
[Name] menggeleng.
“Percayalah padaku, Jagi. Kau satu-satunya untukku. Gadis lain tidak akan terlihat olehku selama sosokmu masih tetap berada dalam hatiku. Keberadaamulah yang paling kubutuhkan di dunia ini.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top