Kim Seok Jin
Tugas, berkas, kertas, makalah dan laporan. Itulah yang menjadi pemandangan [Name] sehari-hari. Mendekati akhir semester [Name] mengira semua pekerjaannya perlahan akan berubah menjadi hiburan, tapi tidak. Alih-alih bersantai sambil menikmati angin di balkon kamarnya, ia malah berkutat dengan laptopnya untuk menyelesaikan tugas.
Ia bahkan harus menolak ajakan Seokjin untuk mengunjungi dorm beberapa kali karena ia tahu, jika sudah berada di dorm yang ditinggali kekasihnya bersama dengan enam laki-laki lainnya, ia tidak akan bisa berkonsentrasi mengerjakan tugas. Apalagi dengan dongsaeng jahil seperti Taehyung, jangan harap pekerjaannya bisa selesai tepat waktu.
Suara notifikasi pendek tidak mengalihkan perhatian [Name] dari layar laptop. Jangankan notifikasi ponsel, perutnya yang lapar saja ia abaikan karena batas waktu tugas ini hampir tiba. Ia tidak ingin mengulang semester hanya karena tidak bisa menyelesaikan tugasnya.
Demi bahu lebar kekasihnya! Tolong bantu dirinya menyelesaikan semua ini.
“Jagi. Aku tahu kamu lagi sibuk nyelesain tugas, tapi jangan maksain diri. Apalagi aku kirim pesan dan telepon berkali-kali sampai gak diangkat. Kalau kamu kenapa-napa gimana? Aku gak bisa di sana buat nemenin kamu,” suara Seokjin mampu membuat [Name] menoleh ke arah ponsel.
Gadis itu terkejut menyadari sepuluh panggilan tak terjawab dari kekasihnya dan lima belas pesan yang belum dibalas juga dari orang yang sama. Merasa bersalah, [Name] buru-buru mengirim pesan pada Seokjin yang berisi permintaan maaf dan alasan mengapa ia terlambat membalas pesan.
Belum sampai satu menit ia mengirim pesan, panggilan videocall dari Seokjin sudah muncul di layarnya. [Name] langsung menekan tombol hijau, menerima ajakan untuk bertatap muka dengan kekasihnya.
“Kamu udah makan belum?” itu hal yang pertama kali Seokjin tanyakan setiap kali melihat [Name] masih tersadar hingga tengah malam.
[Name] hanya bisa memamerkan cengiran bersalahnya. “Aku akan makan nanti kalau tugasku sudah selesai, oppa.”
Seokjin mendecak. Dahinya mengernyit dan tatapannya agak menajam saat beradu tatap dengan [Name]. “Kalau nungguin tugas kamu selesai, cacing di perut kamu keburu punah semua. Makan dulu sana.”
“Gak segitunya juga. Sebentar lagi juga selesai kok. Janji deh abis itu makan,” [Name] mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan membentuk huruf V.
“Jagi,” Seokjin menghela nafas panjang. “Sebentarnya kamu itu bisa dua jam sendiri. Kamu suka banget sih bikin aku khawatir?”
“Oppa...” rengek [Name]. “Aku kan udah janji. Kamu aja yang gak percayaan sama aku.”
“Kamu mau aku datang ke sana dan cekokin makanan ke tenggorokan kamu? Atau kamu ke dapur, ambil makan sambil bawa ponsel kamu, biar aku liat sendiri kamu makan sesuatu,” ancam Seokjin. Ia sudah mengambil jaketnya, siap berangkat kapan saja kalau [Name] menolak untuk mengangkat bokongnya dari kursi yang sudah ia duduki selama beberapa jam terakhir.
[Name] tidak memiliki pilihan lain. Tidak mungkin ia tega membiarkan Seokjin pergi ke apartemennya tengah malam, sementara ia tahu kekasihnya baru saja menyelesaikan latihan intensif atau jadwalnya yang sama padatnya dengan batas waktu tugasnya.
“Tinggal makan aja apa susahnya coba,” gumam Seokjin puas. “Aku tahu kalau tugas kamu penting, tapi kamu juga gak bakal bisa ngerjain tugas kalau kamu sakit. Lagian kelamaan ngeliat laptop juga gak bagus buat mata kamu. Aku yakin setelah makan, kamu ngerasa lebih baik.”
“Iya, eomma,” gerutu [Name] sambil menyuap daging asap yang sudah dipanaskan.
“Kali ini tugas apa yang bikin kamu gak mau makan?” tanya Seokjin mengabaikan gerutuan [Name]. “Aku gak suka deh ngeliat kamu stres sekaligus kecapekan kayak gini.”
“Tugas kimia,” balas [Name]. Bibirnya mengulas senyum seakan mencoba untuk menenangkan Seokjin yang khawatir dengannya. “Ini normal buatku, oppa. Aku yakin oppa juga pernah mengalami hal ini, kan? Tenang. Aku baik-baik saja.”
“Aku gak akan bisa berhenti khawatir denganmu. Tugas aku emang harus khawatir, tahu? Aku terus khawatir kamu baik-baik aja atau gak, khawatir kamu makan yang teratur atau gak, khawatir perasaan kamu udah hilang atau masih sayang sama aku. Aku selalu khawatir, Jagi,” papar Seokjin dengan wajah seriusnya.
[Name] terdiam mendengar ucapan Seokjin. Tangannya berhenti menyuap makanan, namun sudut bibirnya semakin tertarik membentuk senyum lebar yang selalu menjadi senyum favorit Seokjin.
“Makasih ya karena udah khawatir sama aku. Kamu mau ngurusin bocah yang masih gak tahu apa-apa kayak aku. Padahal aku udah sering bikin kamu ikutan repot sama tugas aku, kamu masih mau ngeladenin aku walau kamu punya tugas kamu sendiri. Makasih ya,” ucap [Name] penuh ketulusan.
Seokjin tersenyum. “Cepetan makannya, nanti kalau kelamaan kamu ngerjain tugasnya bisa sampai pagi lagi.”
“Iya juga. Bisa gawat kalau kantung mataku makin tebal karena keseringan begadang,” kata [Name].
Gadis itu dengan cepat menyelesaikan kegiatan makannya lalu buru-buru melangkahkan kakinya ke kamar, bersiap untuk bertempur dengan kalimat-kalimat yang tidak akan ia temukan pada percakapan sehari-hari.
“Jagi, aku temenin ngerjain tugasnya, ya?” tawar Seokjin. “Ada yang harus kamu ingat. Kalau tugas kamu udah kelewat numpuk dan kamu gak tahan, inget betapa aku sayang dan peduli sama kamu, oke?”
Saengil chukkae Kim Taehyung!! Semoga makin sukses karirnya, makin sukses ngerjain member, makin sukses berusaha dewasanya!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top