Kim Nam Joon
Untuk pertama kalinya Namjoon dihadapkan dengan kenyataan bahwa ia memang tidak berpengalaman dalam hal cinta dan hubungan asmara. Semua lirik yang dituangkan dalam lagu ciptaannya seakan mengejek dilemanya sekarang. Bagaimana mungkin rasanya begitu sulit mengungkapkan sesuatu yang sangat sepele? Mengungkapkan perasaan cinta misalnya.
Apakah semua seniman mengalami hal yang sama? Karena mereka terlalu sering memendam rasa dan berakhir menuangkan perasaan mereka dalam berbagai bentuk karya hingga rasanya sangat sulit mengatakan apa yang sudah berada di ujung lidah. Sepertinya Namjoon memang harus mengutuk sifatnya yang suka memendam sesuatu. Ia pasti akan mengubur dalam-dalam perasaan jika saja ucapan kedua Hyung tidak menggema di telinganya.
Bagaimana kalau ternyata ia juga mencintaimu, Namjoon-ah? Bagaimana jika ia sedang menunggumu menyatakan cinta? Apa kau tidak akan menyesal saat tahu ia sudah menunggumu dan berakhir dengan rasa kecewa? Kau hanya tinggal selangkah lagi pada tujuanmu. Jangan menyerah sekarang. Katakan perasaanmu padanya, itulah nasihat yang diberikan Seokjin-hyung sore tadi.
Sikap pengecut bukanlah sifatmu. Kusarankan untuk mengatakan perasaanmu padanya secepat mungkin sebelum ada laki-laki lain yang jauh lebih pemberani yang merebutnya darimu. Sekedar catatan, aku tidak mau ada lagu sedih yang bertemakan patah hati berada di album baru kita, Yoongi-hyung juga tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut berkomentar.
Terkutuklah ia jika mengabaikan saran kedua hyungnya.
Namjoon menghela nafas dalam. Ia menoleh ke arah gadis yang tengah asyik membaca novel dan menaruh kakinya di pangkuan Namjoon dengan sembarangan. Kalau yang berada di sampingnya adalah gadis lain, mungkin Namjoon sudah mengusirnya pergi. Namun gadis inilah penyebab kegalauannya selama beberapa minggu terakhir hingga membuat ketiga Hyungnya jengah.
"Sudah selesai dengan lagumu?" suaranya begitu jernih hingga mengalahkan suara musik yang bergema di indra pendengarannya.
"Belum. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Aku tidak bisa berkonsentrasi dengan baik akhir-akhir ini," aku Namjoon. Ia menyimpan pekerjaannya, memutuskan untuk melanjutkannya lain waktu.
"Tidak biasanya. Kau selalu menjadi orang yang paling fokus di antara kita berdua. Aku penasaran siapa yang mampu mengacaukan konsentrasimu akhir-akhir ini."
[Name] adalah gadis yang sudah bersamanya sejak ia masih menjadi seorang rapper underground. Gadis yang mampu bertahan dengan sifat dan kebiasaannya yang menjengkelkan. Sedikit banyak keberadaan [Name] mempengaruhi seluruh hidupnya. Dan sekarang gadis itu berulah dengan terus berada di pikirannya hampir setiap saat.
"Kenapa kau begitu yakin seseorang menjadi penyebab hancurnya fokusku?" tanya Namjoon dengan penuh penasaran.
[Name] menandai halaman terakhir yang ia baca lalu meletakkannya di atas meja. Seluruh fokusnya tercurahkan pada Namjoon yang terlihat begitu tertarik dengan ucapannya. "Aku sudah menjadi sahabat dekatmu bertahun-tahun Namjoon-ah. Bukankah itu sudah menjelaskan segalanya?"
"Benar juga," Namjoon mengangguk. "Terkadang aku lupa bagaimana hebatnya kau mengerti diriku."
"Kuanggap sebagai pujian," [Name] menumpukan sikunya di meja. "Jadi, apa aku mengenal seseorang ini? Aku ingin tahu apa yang ia lakukan hingga mampu mengacaukanmu seperti ini, Namjoon-ah."
Namjoon terdiam. Ia tidak tahu bagaimana caranya menjawab pertanyaan [Name] ketika gadis dalam pikirannya itu berada di sampingnya saat ini. Namjoon menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, berusaha berpikir dengan cepat untuk mendapatkan jawaban yang dapat memuaskan rasa penasaran [Name] namun tidak membocorkan identitas gadis dalam pikirannya.
"Sejujurnya," mulai Namjoon. "Ia tidak melakukan apapun. Entah apa yang menarik perhatianku. Maksudku, ia sama seperti gadis lainnya, hampir tidak ada yang berbeda. Tidak ada alasan mengapa aku harus memikirkannya tiap saat."
Mata [Name] memicing curiga. Namjoon yakin gadis itu memiliki ribuan pertanyaan yang tidak akan siap ia jawab dalam waktu dekat. Beruntungnya, [Name] juga peka dengan ketidak nyamanan Namjoon membahas topik ini. Gadis itu hanya menghela nafas dalam.
"Baiklah," putus [Name]. "Aku akan melepaskanmu untuk saat ini. Lain kali, kau harus menceritakan gadis ini secara mendetail padaku. Aku ingin tahu nama hingga kebiasaannya sehari-hari. Tidak peduli apa yang kaukatakan, aku tidak akan melepaskan sahabatku untuk gadis yang tidak memenuhi kriteriaku untuk menjadi kekasihmu."
Sebelah alis Namjoon terangkat. Salah satu sudut bibirnya tertarik geli dengan pernyataan [Name]. "Jadi kau yang memutuskan gadis mana yang pantas mengencaniku? Sejak kapan kau menjadi Ibuku?"
"Sejak kau meninggalkan Ilsan dan Ibumu menitipkanmu padaku."
Namjoon tidak membalas. Lebih tepatnya tidak tahu jawaban seperti apa yang mampu membungkam mulut [Name]. Ia memutuskan untuk kembali menyibukkan diri dengan lagu yang beberapa saat lalu ia simpan.
"Omong-omong karena kau tidak menjadi tuan rumah yang baik dan tidak menyediakan minum untuk tamu yang akan haus. Kurasa aku akan membeli minumanku sendiri," [Name] beranjak dari kursinya. Sebelum keluar studio ia sempat berbalik ke arah Namjoon. "Kau menginginkan sesuatu?"
Namjoon menggeleng. "Tidak perlu."
Sudut mata Namjoon melirik secarik kertas yang ia sembunyikan di antara kertas berisi lirik di sisi meja. Begitu mendengar suara pintu ditutup, Namjoon mengambil kertas itu dengan hati-hati lalu memandanginya dengan serius.
Kertas itu berisi tentang bagaimana perasaannya pada [Name], bagaimana [Name] selalu merasuki pikirannya tanpa permisi, bagaimana ia begitu mendambakan keberadaan [Name] saat gadis itu tidak bersamanya. Namjoon memilih cara ini karena ia merasa menuliskan perasaannya akan jauh lebih mudah daripada mengatakannya secara langsung.
Ia menyelipkan kertas itu tepat di halaman yang sudah ditandai oleh [Name]. Namjoon ingin agar [Name] cepat membaca dan memberikan respon. Lebih cepat ia mendapatkan jawaban, lebih cepat ia akan tertidur nyenyak di malam hari.
Tidak berapa lama kemudian, [Name] kembali dengan membawa sekaleng cola di salah satu tangannya. Gadis itu tidak mengatakan apapun, ia kembali menaruh kakinya di pangkuan Namjoon dan membaca bukunya. Namjoon berpura-pura sibuk dengan keyboard sesekali melirik [Name] untuk melihat bagaimana reaksinya.
"Namjoon-ah," panggil [Name].
Ini adalah reaksi yang paling tidak terduga. Mendapati dirinya berada dalam pelukan [Name] bukanlah reaksi yang akan ia dapatkan. Tapi di sinilah dirinya, berada dalam pelukan [Name] dan gadis itu menangis di bahunya. Namjoon tidak tahu harus merasa senang atau panik dengan kejadian ini.
"Ada apa? Apa aku salah menulis sesuatu? Atau aku menulis sesuatu yang tidak kausukai?" tanya Namjoon bertubi-tubi.
[Name] menggeleng cepat. Ia mengangkat wajah lalu menghapus jejak air mata. "Tidak. Kau menulisnya dengan sangat baik hingga aku yakin yang kau tulis di sana bukanlah diriku. Katakan, sudah berapa lama kau menyukaiku?"
"Entahlah," Namjoon mengangkat bahunya. "Kurasa sepanjang ingatanku, aku selalu menyukaimu. Kau bisa salahkan Seokjin-hyung dan Yoongi-hyung untuk pernyataan yang tidak romantis ini. Mereka pandai sekali menekan mental seseorang."
"Sebaliknya, kurasa aku harus mentraktir mereka makan untuk berterima kasih karena sudah mempermainkan mentalmu," tidak ada tangis. [Name] memamerkan senyumnya hingga Namjoon yakin senyum gadis itu adalah salah satu hal paling indah yang pernah ia lihat dalam hidupnya.
Namjoon mendengus. "Sebaiknya urungkan niatmu sebelum kau bangkrut karena berusaha mengenyangkan mereka."
"Lalu bagaimana caranya aku berterima kasih pada mereka?"
"Kau bisa menjadi kekasihku," balas Namjoon cepat. "Dan mungkin jika waktunya sudah tiba, mereka akan menekanku lagi dan saat itu terjadi kau harus bersedia menjadi pengantinku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top