BAB 2: DEPATURE III
Clare mengira bahwa Arthur adalah anak yang diberkati oleh Dewa, hal ini didukung oleh fakta dari kehebatan Arthur sejak dia kecil. Akan tetapi, dibalik dari kejeniusannya dalam meniru sihir yang telah dia lihat sekali, Arthur ternyata tidak memiliki kapasitas mana yang besar. Mungkin satu per seratus dari kapasitas mana milik Clare.
Clare tahu kalau kelebihannya dibandingkan Arthur dalam bidang sihir adalah sihirnya yang jauh lebih efektif, tapi baru kali ini dia mengetahui tentang kapasitas mana Arthur.
Clare ingin sekali tertawa dan menyombongkan hal ini, tapi dia dengan sekuat tenaga menahan senyumannya yang seolah-olah akan meledak.
"Lihat wajah bodohnya itu, Arthur. Aku yakin dia sangat senang setelah mendengar ucapanmu barusan," ucap William ke muka Clare.
"Kenapa kau tidak bergabung saja ke Akademi Sihir agar sainganku berkurang satu orang. Lagi pula, bakatmu hanya pada sihir saja dan kau tidak punya bakat sama sekali dalam berpedang. Menyerahlah, nanti kau sendiri yang gagal di antara kita bertiga," tambahnya.
Mendengar hal itu, mata Clare membulat penuh. Senyumannya pun seketika berubah menjadi keterkejutan.
"Hah!?"
"Kenapa? Kan yang aku katakan itu benar!"
Arthur langsung menyadari kedua temannya itu akan mulai berdebat. Berdasarkan ucapan William dan reaksi Clare, firasatnya mengatakan bahwa perdebatan ini akan berakhir buruk. Sangat buruk....
"Kalian, tolong tungg-"
"Emang kau pikir dirimu siapa?! Setidaknya aku punya bakat yang sangat hebat, tidak sepertimu yang punya bakat standar! Kalau kita bertarung pakai sihir, sudah pasti aku yang akan menang!" Seruan Clare memotong ucapan Arthur.
"Apa kau sungguh-sungguh?! Kau ingin bertaruh!?"
"Ayo!"
Selama Clare dan William saling berdebat, Arthur sudah mencoba meninggikan suaranya untuk membuat keduanya tenang, namun hasilnya sia-sia.
Karena hal itu, Arthur pun meminta tolong pada Evan, ayah Clare yang sedang menjadi kusir kereta kuda.
"Paman, tolong bantu leraikan mereka. Jika diteruskan, aku takut persahabatan mereka akan rusak," pinta Arthur.
Meskipun Evan hanya mendengar kata-kata yang saling dilontarkan antara anaknya dan William, dia setuju dengan pernyataan Arthur.
Pertengkaran ini harus segera dihentikan!
"Clare!" panggil ayahnya. Akan tetapi, panggilannya tersebut diabaikan.
"Seharusnya kau berterima kasih padaku karena aku tidak menggunakan [Fly] untuk terbang langsung ke kota dan meninggalkanmu di kereta sendirian, William, satu-satunya tidak bisa menggunakan [Fly]!"
"Siapa bilang aku perlu ditemankan!? Aku sendiri pergi juga tidak masalah, tidak sepertimu yang tidak berani berpergian sendiri."
Clare dan William masih tenggelam dalam pertengkaran mereka. Meskipun keduanya saling melempar ejekan yang dilebih-lebihkan, Evan menegaskan suaranya pada Clare.
"CLARE TERRAGUARD! HENTIKAN SEKARANG JUGA!" perintah ayahnya dengan sangat marah.
Clare yang masih ingin berbicara langsung tersentak dan terdiam, lalu menoleh ke arah ayahnya.
'Haizzz.... Anak-anak ini. Sudah berbakat pun masih saling merendahkan.' Evan menggeleng kecil.
Dia kemudian menatap anaknya dengan tatapan yang tajam. "Clare, minta maaf kepada William sekarang!"
"Tapi, Pa, William yang mulai dulua-"
"Tidak ada tapi-tapian! Minta maaf sekarang juga!" tegas ayahnya.
Mendengar itu, Clare pun menggigit bibirnya.
Dia merasa tidak adil karena ayahnya sendiri tidak mendukungnya sama sekali. Jika bukan karena William yang mulai dengan membawa tentang 'bakat' dan 'kau seharusnya masuk ke akademi sihir' dalam pertengkaran mereka, Clare tidak akan semarah ini.
Apa yang salah dengan dirinya berlatih berpedang walaupun dia tidak punya bakat dalam bidang itu?
Apakah seseorang tidak boleh belajar berpedang karena tidak punya bakat?
Apakah seseorang tidak boleh belajar sihir karena tidak punya bakat?
Apa dia tidak bisa memilih jalan hidup yang lain selain sihir walaupun dia berbakat dalam sihir?
Apa seseorang tidak boleh melakukan apa yang disukainya?
Ya, seseorang seharusnya bebas untuk melakukan apa yang dia suka.... Dan bakat hanyalah sebuah alat untuk mendukung seseorang dalam meraih tujuannya, seseorang bebas menyesal maupun bergembira dalam pilihan hidupnya, bukan dikekang oleh jalan yang sudah ditetapkan. Setidaknya itulah apa yang dipercayai oleh Clare.
"Dan kau juga, William! Belajarlah untuk mengendalikan emosimu dan memilih kata-kata yang lebih baik dalam ucapanmu itu!" tegur ayah Clare.
"Sekarang, aku mau kalian saling meminta maaf," terusnya.
William melirik Clare yang masih enggan meminta maaf sebelum dia mengalihkan matanya ke Arthur yang mengangguk kecil kepadanya.
William sadar akan ucapannya yang kasar tersebut. Meskipun ucapan kasar merupakan sifat bawaannya, dia baru mengetahui seberapa menyakitkannya hal itu setelah dia mendengar sendiri omongan Clare yang berhasil membuat emosinya lepas.
Saat mereka bertengkar, William berada di antara sadar dan tidak sadar. Dia ingin berhenti berdebat, namun tubuh dan mulutnya tidak mengikuti pikirannya hingga suara Evan yang keras berhasil menghentikan mulutnya yang terus-menerus berbicara.
Emosi yang bermula dari rasa cemburu berhasil mengendalikan tubuhnya, membuatnya melepaskan ucapan yang tidak menyenangkan begitu saja.
William pun menghadap ke arah Clare dengan menyesal.
"Clare," panggilnya. Sebagai respons, dia mendapatkan ekspresi marah dari Clare.
"Aku minta maaf atas perkataanku tadi, oke? Terus terang, kalau aku emosi, aku tidak bisa mengontrol apa yang kuucapkan," jelas William dengan tulus.
"Emosi? Emang apa yang kau emosikan sampai ka-"
"Clare!" tegur ayahnya.
"Tch- Lupakan saja. Aku tidak peduli lagi." Dengan sangat kesal, Clare mengambil tas bawaannya dan,
"[Fly]" Dia pun terbang meninggalkan rombongannya di balik dedaunan pohon. Dia mendengar ayahnya dan Arthur memanggil namanya, tapi dia memutuskan untuk mengabaikan panggilan tersebut.
Sesampainya di atas, di mana hanya ada cahaya oren serta lautan daun kemerahan di bawah, Clare pun menarik nafas panjang, "Aaah.... Udara segar untuk menenangkan pi-pikiran," gumamnya dengan suara yang serak.
Sejak kecil, sebelum Arthur menjadi kawan mereka, William memang selalu bertanya kepada Clare kenapa dia tidak fokus ke bakatnya, sihir. Akan tetapi, William tidak pernah memaksanya untuk fokus ke sihir dan malah mendukung Clare dalam berpedang.
Meskipun belakangan ini William mulai kembali bertanya-tanya kepada Clare kenapa dia tidak memilih untuk masuk ke akademi sihir, Clare hanya menganggap hal itu sebagai lelucon saja dan menjawab bahwa dia ingin belajar lebih tentang berpedang.
"[P-perfect Un-unknownable]"
Sesaat ketika mantra tersebut bekerja, air mata Clare mulai bercucuran. "Hiks.... Hiks...."
Meskipun Clare menangis sekuat tenaga, [Perfect Unknownable] membuat siapapun yang tidak memiliki kemampuan pendeteksi tingkat tinggi tidak dapat mendengarnya ataupun melihatnya, namun Clare masih memilih untuk menangis dengan suara yang pelan.
Kali ini dia tidak bisa memaafkan William dengan mudah karena William sudah menghina impiannya.
Teman masa kecilnya menghina mimpinya, kemudian ayahnya juga tidak mendukungnya sama sekali dan hanya memberikan teguran ringan pada William walaupun semua hal ini terjadi karena William. Bagaimana mungkin hal itu tidak membuat Clare sakit hati.
"Jadi, seperti itu rupanya? Mereka tidak menganggapku serius untuk menjadi seorang Magic Swordsman! Mereka pikir itu hanyalah mimpi sesaat dari masa kecil! Apa gunanya kalian membantuku berlatih jika kalian menghancurkan mentalku!" Clare meninju udara kosong karena kejengkelannya.
Clare ingin cmkembali ke kereta kuda, tapi dia merasa ketenangannya akan menghilang ketika dia melihat wajah William sehingga dia memutuskan untuk terbang menyusuri hutan terlebih dahulu dan menunggu mereka di jalan setapak yang ada di luar hutan.
Dia tidak berpikir kalau mereka akan diserang oleh monster selama dia masih memiliki mana. Dan mereka akan keluar dari hutan dalam satu hari lagi.
Clare mengusap sisa air mata yang sudah berhenti dan menarik nafas panjang sekali lagi, "Tenangkan dirimu, Clare. Ksatria macam apa yang kerjanya menangis terus...."
Setelah jeda beberapa detik, Clare pun mulai terbang dengan kecepatan penuh walaupun air matanya kembali menetes setiap kali dia mengingat perkataan William.
"Menyebalkan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top