Weird thing
Revan mengernyitkan alisnya setelah mendengar perkataan sang kakak, dia tak menyangka Eva akan bertanya seperti itu.
"huh!? Maksudnya?"
Eva sadar kalau Revan tidak akan bisa mengerti apa yang tengah ia alami, jadi Eva langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Eva tak tahu warna putih yang mengelilingi Revan itu apa, sekilas warna itu mirip seperti Aura atau pancaran energi yang ada pada tubuh Revan.
"Ah, tidak...lupakan saja Revan, kakak hanya sedang mengigau. Kakak baru bangun, jadi kakak mungkin hanya salah lihat," kilah Eva cepat.
Revan memandang bingung, sejenak kemudian dia meletakkan kertas itu di kasur Eva. "Aku taruh disini, aku mau siapin dapur dulu,"
"Ya, nanti kakak baca,"
Revan segera bergegas keluar dari kamar Eva dan menuju dapur. Sedangkan Eva mengusap wajahnya kasar mengingat pertanyaan bodohnya tadi. Akhir-akhir ini ia merasa aneh dengan dirinya sendiri.
"Kemarin anak kecil di rumah sakit, sekarang Revan," ucap Eva dengan gusar dan gelisah. "Ada apa dengan penglihatanku Akhir-akhir ini? Apa mataku sudah mulai tak sehat?"
Eva menunduk takut membayangkan hal buruk yang akan menimpanya jika mata benar-benar tak sehat. Ia takut tidak bisa melihat Revan lagi. Sampai Sedetik kemudian Eva teringat dengan dokter senior di rumah sakit tempat ia bekerja.
"Aku harus konsultasi dengan dokter Ruby, dia kan spesialis mata," tanpa menunggu lebih lama lagi Eva menelpon dokter seniornya.
Setelah mengobrol banyak hal tentang matanya Eva segera mematikan Handphonennya dan bergegas mandi mengingat adiknya berada di dapur.
.
.
.
.
.
[Dining Room 7.00 A.M]
Tap Tap Tap
Langkah kaki Eva terdengar dari ruang keluarga sampai ruang dapur, Eva ngeliat adiknya tengah memberi makan anak Anjing yang ditemukan adiknya kemarin. Tapi lagi-lagi warna putih yang mengelilingi Revan masih ada disana. Eva masih memilih bungkam tentang warna itu.
"Revan, kau sudah menyiapkan bahannya?" tanya Eva sambil memeriksa isi kulkas mereka, apakah bahannya habis atau tidak.
"Sudah, tapi aku tidak sempat makan kak. Aku harus buru-buru kesekolah," kata Revan sambil memgambil tasnya.
"Tunggu sebentar, kakak siapkan dulu bekalmu,"
Revan hanya mengangguk menanggapi kakaknya. Eva dengan cekatan memasak bahan-bahan yang ada di kulkas mereka seadanya.
.
.
.
.
.
[Grey Hospital 9.00 A.M]
Orias tampak memeriksa beberapa dokumen data pasien dengan serius, agar tak ada satupun dokumen yang tertinggal. Pikirannya kacau saat teringat dengan perkataan Eva kemarin.
"Ada anak kecil dirumah sakit ini. Apakah rumah sakit ini memiliki rahasia yang buruk di masa lalu sebelum sukses seperti sekarang?" Pikir Orias yang masih fokus dengan dokumennya meski pikirannya sedang kemana-mana.
Tok Tok Tok
Suara ketukan membuat pikiran Orias kembali ke alam nyata. "masuklah," katanya tenang.
Seorang suster membuka pintu dengan pelan tak berniat masuk ke ruangan Orias lantaran takut dengan sifat Orias yang dingin.
"Dokter Orias..."
Mendengar suara suster itu yang tampak takut kepadanya,membuat Orias kesal. Padahal ia sudah menyuruh suster itu untuk masuk ke dalam ruangannya. Orias hanya menghela napas kasar dan memandang suster tersebut.
"ada apa?"
Suster itu menundukkan kepalanya. "Itu ada salah satu pasien yang harus secepatnya dioperasi...pendonornya sudah ada,"
"Aku mengerti, nanti aku datang ke ruang operasinya. sedikit lagi pemeriksaan dokumennya selesai," kata Orias datar.
"Ah, iya...s-saya permisi dokter,"
Suster itu buru-buru menutup pintu dengan gemetaran, dan langsung pergi dari sana. Orias hanya menggelengkan kepalanya, dia heran kenapa hanya para suster itu yang takut bicara padanya. Padahal dia merasa biasa-biasa saja.
"Mereka sangat aneh," gumamnya Orias heran.
.
.
.
.
.
[Ruang dokter mata]
"Aku sudah memeriksanya dokter Eva, matamu sehat-sehat saja dan tidak ada yang aneh," Kata Dokter Ruby mencatat hasil pemeriksaannya terhadap mata Eva.
Mulai dari sini Eva merasakan keanehan yang janggal. "Begitu ya, mataku benar-benar baik-baik saja kan?"
Dokter Ruby mengangguk kecil, matanya tetap fokus mencatat hasil pemeriksaan itu. "ya, Kau dokter spesialis gizi kan? kusarankan kau makan-makanan yang sehat terutama seperti wortel yang baik untuk mata,"
"Aku mengerti, terima kasih sudah mau meluangkan waktumu dokter Ruby," kata Eva dengan senyum ramahnya.
"hmm...tentu, ini hasilnya. Jangan lupa makan seperti yang kusarankan tadi," jelas Dokter Ruby sambil menyerahkan hasil pemeriksaan tersebut pada Eva.
"Akan kulakukan...umm soal bayarannya...," kata Eva ragu-ragu.
Mengerti apa yang akan dikatakan Eva, Dokter Ruby menggeleng pelan. "Tidak perlu, hanya pemeriksaan kecil. Tidak perlu bayar,"
Mendengarnya Eva menghembuskan napas lega. "Sekali lagi terima kasih, saya pamit dulu,"
Eva membungkuk kecil lalu keluar dari ruangan itu. hasil pemeriksaan yang menyatakan bahwa matanya sehat-sehat saja membuat Eva merasa aneh.
"Ini aneh dan tidak wajar, aku harus mencari tahu kenapa penglihatanku seperti ini," gumamnya dengan antusias.
.
.
.
.
.
.
[5.00 P.M]
Eva membereskan sebagian peralatan kedokterannya mengingat sudah waktunya ia menghakhiri shif sore ini dan akan digantikan oleh shif malam. sudah ingin pergi dari ruangannya tapi tiba-tiba Eva dicegat oleh Orias tepat di depan ruang kerja Eva.
"Eva, tunggu!" seru Orias sambil menepuk bahu Eva.
Eva berbalik merasakan seseorang menepuk bahunya. "Orias? Ada apa?"
Orias terdiam beberapa saat kemudian balik menatap Eva. "Maaf hari ini aku tidak bisa mengantarmu," katanya canggung. "Aku kebagian shif malam,"
"Eh,Apa tidak lelah? kau kan sudah masuk shif pagi,"
"tenang saja, shif malamku hanya sampai jam 8 saja. Jadi aku masih bisa pulang cepat," Orias menenangkan Eva yang khawatir.
"Yakin? kalau ada apa-apa, telpon aku saja ya," Kata Eva cemas.
"tentu, sekarang lebih baik kau pulang saja. kasian Revan nungguin di rumah," Orias tersenyum simpul memandang sahabatnya.
"Oke, sampai ketemu nanti," Eva berbalik pergi dari depan ruangannya, melewati lorong tempat biasa para pasien di rawat.
Sejujurnya ada satu hal yang tidak Eva katakan pada Orias yaitu dia kembali melihat warna yang menyelimuti Orias, tapi warnanya berbeda dengan warna putih yang menyelimuti adiknya.
"Warna itu muncul lagi, kali ini pada Orias dan warnanya hitam gelap bahkan terkesan suram. Kenapa Revan dan Orias mempunyai warna berbeda seperti itu, sedangkan para suster dan dokter yang kulewati tak memiliki warna di tubuh mereka," pikir Eva sambil berjalan menatap lurus lorong yang ia lewati.
Eva memejamkan matanya beberapa saat, mencoba mencerna kejadian yang dia alami sejak kemarin. Hal aneh yang terjadi padanya secara tiba-tiba.
.
.
.
.
.
.
[Perjalanan pulang 6.00 P.M]
Eva sibuk fokus menatap jalan, tapi sedetik kemudian ia teringat kalau bahan makanan di rumahnya sudah menipis, gadis itu berinsiatif untuk mampir ke sebuah toko terlebih dahulu.
Untungnya tak jauh dari tempatnya berdiri ada sebuah toko perbelanjaan, Eva bergegas masuk ke toko itu dan mulai mencari bahan yang diperlukannya.
Tak berselang lama Eva selesai dengan bahan yang diperlukannya, dia hendak menuju kasir tapi saking sempitnya tempat itu trolinya tak sengaja menyenggol seorang pria yang sedang memilih beberapa roti.
"Maaf, saya tidak sengaja tuan," Kata Eva agak panik, ketika pria itu menoleh padanya.
Eva yang menunduk karena takut langsung mendongak dan melihat pria dihadapannya memiliki warna merah gelap hampir ke hitam menyelimuti tubuh pria itu, sang pria memakai jaket berhodiee dengan topi yang menutupi setengah wajahnya hingga yang terlihat hanya pupil matanya yang berwarna merah.
Eva terdiam mematung lantaran warna yang dia lihat sama persis dengan warna yang menyelimuti Orias dan Revan.
"Itu...,"
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top