Suatu Saat Aku Akan Menjadi Ayah Untuk Anakmu

"Kenapa kamu tutupi wajahku begini?" protes Mikkel.

Liliana, yang duduk di depan Mikkel, membuka buku, mengangkatnya, dan meletakkan persis di depan wajah Mikkel.

"Karena cewek-cewek itu ngelihatin kamu sejak tadi." Sejak masuk ke perpustakaan, ada tiga orang gadis yang terang-terangan mengamati Mikkel.

"Det är ingen ko på isen långe rumpan är i land*. Mereka pikir kamu beruntung, karena bisa bersamaku. Coba lihat, mereka semua sendirian. Tidak punya pasangan yang luar biasa sepertiku." Mikkel tertawa melihat Liliana menirukan gerakan orang muntah.

Sebenarnya yang diperhatikan orang adalah mereka berdua, Mikkel tahu itu. Tall guy and short girl make cute couple. Tinggi badan Liliana, Mikkel memperkirakan, hanya sekitar 160 cm. Meski berjinjit, Liliana hanya bisa mencium dagu Mikkel. Selisih tinggi mereka hampir sama dengan panjang penggaris anak SD. Liliana cantik sekali, seperti baru keluar dari buku dongeng yang dulu dibaca ibunya untuk Lily. Benar kata penjual bunga tadi. Floral wreath itu cocok untuk rambut hitam panjang nan indah milik Liliana.

Hari ini Mikkel mengajak Liliana menghabiskan waktu di Lund, sebelum membawanya ke Helsingborg dan Gothenburg hari berikutnya. Sepulang dari pasar tadi, mereka sempat berhenti di ICA untuk membeli saus dan roti. Supermarket adalah tempat berpetualang baru yang menarik bagi Liliana. Siapa yang menyangka, wanita seusianya akan bergerak ke sana kemari kemudian berdiri ternganga di depan kulkas raksasa yang menempel di dinding. Untuk apalagi kalau bukan memperhatikan yogurt, susu dan krim? Masing-masing ada, minimal, dua puluh jenis varian termasuk yang organik dan bebas gula.

Barang-barang berlabel eko* juga menarik perhatian Liliana. Bukan hanya makanan, tapi juga handuk dan selimut. Stoples-stoples selai yang unik membuat Liliana ingin mengoleksi. Yang paling memukau Liliana adalah candy wall. Dinding yang penuh dengan permen. Kontainer-kontainer bening penuh permen warna-warni ditaruh di rak yang menempel di dinding. Antusiasme Liliana tidak ada bedanya dengan anak TK yang diundang berkunjung ke pabrik milik Willy Wonka. Karena gemas sekali melihat Liliana, Mikkel tidak tahan untuk tidak mencium Liliana juga di sana.

Tentu saja Liliana ingin membeli semua varian permen yang ada. Tetapi Mikkel memberi peringatan, mengonsumsi banyak makanan manis akan membuat Liliana sering ke belakang. Kalau toilet Mikkel bau, Liliana sendiri yang harus membersihkan.

"Rasanya seperti ingus." Liliana mengumpat ketika memasukkan sebutir permen—yang tadi dibeli—ke mulutnya.

Mikkel terbahak-bahak dan semua orang menatapnya dengan pandangan terganggu. Oke, sepertinya duduk bersama Liliana di dalam perpustakaan bukan ide yang bagus. Perpustakaan bukan tempat pacaran. "Memangnya kamu pernah makan ingus?"

Tadi, setelah menyimpan belanjaan mereka di apartemen, mereka memulai tur lima jam di Lund. Titik start mereka adalah domkyrka. Di sana, Mikkel membiarkan Liliana berfoto di luar dan di dalam gereja, bahkan sambil memeluk lilin raksasa.

"Kampusmu mirip sekolah Harry Potter." Liliana berkomentar.

"Maksudmu ini sarang tukang sulap?" Dinding-dinding berwarna merah bata, koridor dengan pintu melengkung, dan pohon-pohon besar rindang membuat kampus ini terlihat kuno, meskipun sebenarnya universitas ini adalah perguruan tinggi yang paling modern yang pernah didatangi Mikkel.

"Sihir, Mikkel, bukan sulap. Memangnya Pak Tarno?" Liliana menyingkirkan bukunya.

"Aku memang bisa sulap. Coba lihat ini." Mikkel meraih ponsel Liliana yang ada di meja. "Aku kerja bikin ini, benda ajaib yang bisa mewujudkan banyak sekali keinginanmu. Tidak kalah dari tongkat sihir. Mau baju? Buku? Piza? Semua bisa datang sendiri ke rumahmu. Aku lebih hebat dari bocah berkacamata itu."

Liliana tertawa sampai bahunya terguncang. Mikkel ini benar-benar tidak suka dibanding-bandingkan. Tidak dengan Afnan, Mickey Mouse dan Harry Potter. "Itu namanya online shopping, Mickey. Nggak harus pesulap, anak SD juga bisa."

Mereka duduk di kursi dengan sandaran melengkung di dekat jendela berkusen putih—melengkung juga—di universitetsbiblioteket***. Tadi, dari domkyrka mereka berjalan ke utara menuju universitethuset—yang lebih terlihat seperti gedung parlemen ketimbang rektorat—berdinding putih. Tidak lupa mampir ke AF Borgen****, yang cantik seperti kastil dengan dinding batu bata, di seberang universitethuset*****, untuk membeli kaus kembar berwarna biru dengan tulisan dan logo Lund Universitet berwarna emas.

Selanjutnya mereka berjalan lagi ke utara melewati Faculty of Social Science, belok ke kiri dan bertemu dengan sebuah bangunan yang menurut Liliana paling mirip dengan sekolah penyihir. Tentu saja Liliana juga berfoto di depan bangunan tersebut. Tidak ketinggalan Liliana berpose di depan dinding hitam dengan tulisan Lund Tekniska Högskola****** berwarna putih. Di sini Mikkel menamatkan doktoralnya. Liliana juga memaksa untuk masuk ke gedung Elektroteknik*******  tempat Mikkel belajar dulu.

"Liana...."

"Jangan memanggilku dengan nama itu!" Liana adalah panggilan kesayangan ayahnya untuknya. Khusus untuk ayahnya saja dan orang lain tidak boleh mengikuti.

"Memang namamu Liliana, kan? Kenapa aku tidak boleh memanggilmu Liana?"

"Yang boleh memanggilku begitu cuma Papa."

"Suatu saat aku juga akan menjadi ayah dalam hidupmu. Ayah dari anakmu."

"Ya ampun, Mikkel, kamu sedang merayuku, ya?"

"Iya, supaya kamu mau tinggal di sini bersamaku." Lebih baik dia berterus terang saja, menyampaikan keinginan secara langsung, kalau memberi kode tidak juga ditangkap. "Tujuanku memintamu datang ke Lund adalah agar kamu punya pandangan bagaimana hidup bersamaku dan bagaimana hidupku yang sebenarnya di sini. Supaya kamu menyukai Lund dan mau tinggal di sini."

Dalam hidupnya, Mikkel sudah bertemu dan mengenal banyak wanita. Di kampus ini. Di banyak party yang didatanginya. Di tempat kerja. Belum menghitung teman-teman kuliahnya di Copenhagen dulu. Banyak di antara mereka yang cantik dan seksi—seperti model yang meloncat dari sampul majalah, smart—sudah doktor di usia kurang dari tiga puluh tahun, atau kaya—co-founder start-up. But what makes Liliana 'the one'?

Alasan pertama yang akan disebut Mikkel adalah fisiknya. Men are visual and she is one of the great visuals. Tambahan, untuk usia yang sama, wajah orang Asia terlihat lebih muda daripada wajah orang Eropa. Apa yang lebih menyenangkan daripada punya kekasih yang selalu terlihat muda? Boleh saja di dunia ini ada Jennifer Lawrence. Tetapi tetap saja, wanita yang menyenangkan dan menenangkan seperti ibu Mikkel akan ada di urutan pertama dalam daftar perburuan calon pendamping hidup. Plus, karena tidak mungkin Mikkel bisa memperistri Jennifer Lawrence. Mau kenal di mana?

"Gimana kalau aku nggak mau tinggal di sini?" Liliana melipat tangan di dada.

"Selama ini kamu mengeluh karena kita susah ketemu. Kangen tapi cuma di mulut saja, kamu bilang begitu." Mikkel mengatakan dengan hati-hati. "Ada solusi untuk masalah itu. Kita tinggal bersama dalam satu kota. Dengan begini kita bisa selalu bersama. Bersama yang benar-benar bersama. Bukan hanya merasa bersama. Bersama setiap hari, tidak dijatah setahun sekali. Selepas pulang kerja kita bisa menghabiskan banyak waktu berdua sampai pagi. Tidak perlu dijadwal setiap jam makan siang di sini, jam enam atau tujuh malam di sana dan akhir pekan, seperti yang selama ini kita jalani."

"Tinggal satu kota." Liliana menggumam. "Di mana? Di sini? Aku suka liburandi sini." Berapa kali Liliana harus mengatakan ini?

####

No need to worry.

Ekologist. Organik.

Lund University Library.

Student center.

Faculty of Engineering.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top