Kalau Memang Cinta Kenapa Tidak Pindah Saja?

"Iya, aku ngerti uangmu banyak. Uang itu juga yang bikin kita nggak ketemu. Gara-gara nyari uang aja kamu sampai nggak pengen pulang. Nggak mau tinggal di Indonesia." Liliana berusaha menekan suaranya saat ingin meneriaki Mikkel. Dua orang laki-laki yang duduk di samping mereka, sampai menoleh karena mendengar teriakan tertahan Liliana.

"Aku bekerja mencari uang demi kita berdua. Untuk hidup kita nanti, untuk anak-anak kita. Sudahlah, aku tidak mau bertengkar di sini. Banyak jalan keluar lain untuk hubungan kita. Nanti kita bicarakan lagi." Mikkel berdiri karena kereta sudah sampai di Malmö.

"Makanya nggak usah dibahas. Nggak ada jalan keluar lain selain kita hidup satu negara. Aku nggak bisa sering ke sini walaupun kamu bayarin aku jet pribadi juga. Karena aku nggak punya cuti." Liliana kesal dengan Mikkel dan kesal dengan kebijakan di Indonesia. Bagaimana mungkin karyawan hanya mendapat dua belas hari cuti saja dalam satu tahun? Sudah begitu masih dipotong cuti bersama. Itu sama sekali tidak cukup untuk melakukan satu kali kunjungan ke Swedia. Sekali jalan, penerbangannya saja sudah makan waktu sehari sendiri.

"Seharusnya kamu memakai cutimu untuk kita. Supaya kita bisa ketemu. Bukan malah jalan-jalan sama teman-temanmu." Mikkel ingat tahun lalu Liliana menghabiskan jatah cutinya dengan pergi ke Bali bersama teman-teman kantornya.

"Nggak ada urusannya sama itu. Aku jalan-jalan sama temenku juga karena aku nggak bisa jalan-jalan sama pacarku. Kamu maunya aku gimana? Diam terus di rumah? Duduk di depan laptop? Menyedihkan banget hidupku."

Liliana mengangkat sebelah tangan saat Mikkel hendak membuka mulut, mencegah Mikkel bicara, sebelum melanjutkan, "Jangan karena kita nggak bisa ketemu sesering yang kamu mau, lalu kamu menyalahkan aku. Kamu yang nggak ada waktu buat pulang. Kamu pikir enak jadi aku, nggak ke mana-mana, cuma duduk bengong nunggu kamu online?"

"Komunikasi kita sudah jauh lebih baik daripada masa-masa orangtua kita pacaran zaman dulu. Paling tidak ini lebih real time daripada menggunakan surat berperangko. Kamu sudah tahu akan seperti itu hubungan kita, sejak pertama aku menyatakan cinta padamu. Kamu menerimaku, menerima hubungan ini dengan segala konsekuensinya. Jadi kenapa baru sekarang kamu tidak suka?" Mereka berdiri di belakang garis, menunggu kesempatan untuk turun.

"Kenapa kita jadi membahas suka dan nggak suka? Ada yang bisa kulakukan kalau aku nggak suka? Aku tetap harus terima, kan? Memangnya aku bisa membuat kamu pindah ke Indonesia dengan alasan aku nggak suka berkomunikasi dengan video call? Sudah kenyang aku pacaran sama gadget."

"Dengar, Lil, aku tidak suka dengan orang yang suka mengeluh dan—

"Iya, aku mengeluh!" Liliana memotong lagi. "Aku suka mengeluh. Nggak boleh? Aku sudah sabar banget selama ini, Mikkel. Aku manusia biasa, setiap hari aku kangen pacarku. Aku ingin ketemu pacarku. Seminggu sekali. Sebulan sekali."

"Kita bicarakan ini lagi nanti. Kalau hati kita sudah tenang."

"Selalu aja begitu. Kita bicarakan nanti. Dan nanti kamu nggak akan mau ngomongin ini lagi. Pura-pura lupa. Pura-pura nggak ingat. Berapa kali kamu menghindar dari banyak masalah yang seharusnya kita bicarakan?" Masalah janji yang tidak bisa ditepati oleh Mikkel—yang mengatakan akan pulang setelah kuliahnya selesai, masalah pernikahan yang mungkin tidak akan terjadi, dan sekarang ditambah lagi jadwal kepulangan Mikkel yang tidak akan pernah ada kepastian apakah bisa terjadi setahun sekali atau tidak. Memikirkan itu semua sudah membuat darah Lilian menggelegak. Lebih mungkin melihat dirinya berhasil mencapai daratan Inggris dengan berenang daripada melihat Mikkel menepati semua ucapannya.

"Kamu maunya bagaimana, Lil? Kita tidak turun dari kereta dan terus bicara di sini? Kamu tidak capek, baru sampai sini, setelah terbang seharian, lalu kita bertengkar sampai pagi?" Mikkel tidak ingin mempermalukan mereka berdua di muka umum dengan saling berteriak. Masalah apa pun di antara mereka, bisa diselesaikan dengan cara yang lebih beradab. Tanpa penonton. Memang orang tidak paham bahasa yang mereka gunakan, tapi tetap saja, pertengkarang tetaplah pertengkaran. Tensinya bisa dirasakan.

"Mau tahu yang kuinginkan? Saat aku pulang ke Indonesia nanti, kamu juga kembali. Bersamaku." Lilian ingin tau apa Mikkel berani memenuhi tantangan ini.

"Kamu tidak rasional."

"Oh, jadi sekarang aku nggak rasional? Memang. Kenapa aku mau menjalani ini semua? Hubungan kita yang nggak wajar ini?" Pertanyaan ini lebih cocok ditujukan kepada Liliana sendiri. "Cuma orang gila yang mau bertahan selama ini."

"Kita tidak akan susah begini kalau kamu mau menikah denganku dan tinggal di sini ... well, okay, kita perlu mendinginkan kepala sebelum membicarakan msalah itu." Melanjutkan pembicaraan sekarang tidak akan banyak gunanya. Semua kalimat yang keluar dari mulut Mikkel hanya akan membuat Liliana semakin meradang. Tidak akan ada kata sepakat kalau mereka terus melempar argumen.

Mikkel membimbing Liliana—yang masih bersungut-sungut—keluar kereta tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Liliana. Wajah kesalnya menggemaskan sekali dan Mikkel harus menahan diri untuk mencium bibir Liliana yang mengerucut. Hari ini, hari pertama Liliana di Lund, Mikkel akan melakukan apa saja untuk membuat suasana hati Liliana membaik. Kemudian selama seminggu ke depan, Mikkel akan melunakkan hati Liliana. Supaya mudah dibujuk untuk menetap di sini setelah mereka menikah nanti.

***

Orang-orang sudah menyelesaikan sarapan. Roti panggang, keju, mentimun, buah-buahan, irisan daging, salami dan yogurt. Semua duduk lebih lama di teras sambil menikmati udara hangat. Dua minggu lagi mereka akan merayakan midsömmar* di Kulturen**. Midsömmar merupakan acara yang tidak kalah penting dengan natal di sini. Semua orang berkumpul di tempat terbuka untuk menari, menyanyi, makan, dan minum schnapps*** di bawah matahari musim panas. Tahun lalu, bulan Juni adalah bulan paling basah. Bisa dihitung berapa jumlah hari yang bisa dinikmati tanpa harus mengembangkan payung. Tahun ini, Mikkel tidak terlalu mengharapkan datangnya udara hangat. Asal tidak basah, sudah bagus.

Namun dii luar dugaan, Tuhan memberi kejutan besar. Sejak minggu terakhir bulan Mei, ada benda bulat keemasan memancarkan sinar dari atas sana. Bias cahayanya menimpa rumah-rumah berdinding cerah. Langit biru bersih. Tidak ada awan gelap sama sekali. Kedai es krim dipadati pengunjung. Kolam renang dan pantai tidak kalah ramai. Sebagian orang memilih duduk di bangku taman dengan kepala menengadah, membiarkan sinar matahari menghangatkan wajah mereka. Yang lain menggelar tikar dan berpiknik. Untuk yang tinggal di apartemen, seperti Mikkel, bisa membuka jendela lebar-lebar dan duduk di windowseat sambil membaca buku.

Lund adalah satu-satunya kota yang berhasil memikat hati Mikkel. Bukan Copenhagen, kota kelahiran ayahnya. Juga bukan Jakarta, kota kelahirannya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini, Mikkel sudah merasa kota kecil ini adalah yang terbaik untuknya. Dua tahun ini Mikkel sudah memikirkan akan berkeluarga di sini saja dan tinggal di sini sampai anak-anaknya dewasa nanti. Jakarta sudah dicoret dari daftar kota yang ingin dia tinggali, meskipun dia lahir dan menghabiskan delapan belas tahun hidupnya di sana. Menurut Mikkel, sampai hari ini Lund masih jauh lebih baik daripada Jakarta dan siapa saja pasti setuju.

####

*Tengah musim panas.

**Outdoor museum terbesar kedua di Swedia.

***Minuman hasil fermentasi biji-bijian atau buah dengan kadar alkohol tinggi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top