Kabar Dari Mantan Pacar
Tetapi tetap saja, mau susah atau senang, membayangkan masa depan bersama Mikkel terasa membahagiakan bagi Liliana. Tidak ada yang tidak mungkin selama Liliana mengarungi hidup bersama Mikkel. Karena itu adalah mimpinya selama bertahun-tahun. Semenjak Liliana pertama kali menyukai Mikkel.
But that's all it has been; dream.
Memang terdengar payah, tapi Liliana sudah sangat terbiasa berangan selama berpacaran dengan Mikkel. Karena suka atau tidak suka, sepanjang hubungan jarak jauh, yang bisa dilakukan sesorang hanya sebatas membayangkan. Sedang nonton di bioskop, membayangkan yang duduk di sampingnya adalah kekasihnya, bukan temannya. Sedang mencoba kafe baru, membayangkan suap-suapan bersama pacar, bukan sendirian. Semua tentang membayangkan. Bukan benar-benar melakukan.
"Sweets." Kepala Mikkel menyembul di celah pintu. "Dinner's ready."
Bagaimana kalau seseorang cukup menikmati mimpi indah ketika sedang berlangsung? Tidak perlu memikirkan kapan dan bagaimana akan terbangun. Apa yang terjadi nanti, nanti saja dipikirkan. There's no need to borrow tomorrow's problems. Liliana menarik napas panjang. Jalani saja satu per satu hari dengan bahagia. Nanti, kalau sudah dihadapkan pada masalah—terkait hubungan mereka—baru dipikirkan cara mencari jalan keluarnya.
***
Dengan kesal Liliana menendang selimut dan berguling untuk mengambil ponsel Mikkel yang berbunyi nyaring di meja di samping tempat tidur. Siapa yang menelepon pagi-pagi buta begini? Mengganggu saja! Gerutu Liliana dalam hati. Tadi malam, setelah makan malam, Liliana dan Mikkel keluar keliling kota, membakar kalori sambil menikmati senja. Mereka pulang saat sudah larut dan Liliana lelah sekali hingga langsung tidur nyenyak. Sambil menyipitkan mata, menahan cahaya dari layar ponsel, Liliana memeriksa nama penelepon. Demi Tuhan, ini baru jam tujuh pagi! Kenapa orang sudah sibuk mengganggu orang lain sepagi ini. Liliana melotot membaca sebaris nama di sana. Nama yang belum sempat dihapus oleh Liliana, karena dihalang-halangi terus oleh Mikkel. Signe.
Baru saja ujung jari Liliana menyentuh layar ponsel Mikkel, panggilan itu sudah berakhir.
Liliana melompat bangun dan mendatangi Mikkel, yang tidur di sofa abu-abu di depan televisi. Bukan Liliana tega menyuruh Mikkel tidur di luar, di sofa yang tidak cukup panjang untuk tubuh Mikkel yang besar. Tetapi yang memutuskan tidur di sini adalah Mikkel sendiri. Mikkel takut otaknya bergeser dari kepala ke selangkangan, kalau tidur di kamar sambil memeluk Liliana semalaman. Demi keselamatan diri sendiri, Liliana menyetujui usul Mikkel.
"Mikkel!" Teriak Lilian, tidak peduli kalau suaranya bisa membangunkan semua orang di gedung ini. Dengan menahan amarah Liliana berdiri di samping sofa.
"Mmm...." Mikkel sedikit membuka mata, berguling ke kanan, lalu tidur lagi.
"Mikkel! Bangun!" Liliana berteriak lagi, sambil menendang lengan Mikkel.
"'Sup, Sweets? Tidak bisa tidur? Sini ... peluk...." Masih dengan mata terpejam Mikkel menepuk tempat kosong—yang sangat sempit—di sisi kanannya.
"I am not being sweet! Mikkel!" Dengan kesal Liliana mencubit perut Mikkel. "Kenapa mantan pacarmu nelepon pagi-pagi begini?" Tangan kiri Liliana mengacungkan ponsel Mikkel. Tangan kanannya terus mencubiti perut Mikkel.
"Aw, it hurts! Give me a break here! Aku salah apa lagi?" Sambil mengusap perut, Mikkel bangkit. Kenapa pagi-pagi begini, Liliana sudah bertingkah seperti ada orang yang baru saja meludahi sarapannya?
"Kenapa dia nelepon kamu?" Ulang Liliana.
"Dia siapa?" Mikkel kembali menjatuhkan diri di sofa, tidur telungkup. "Sini HP-ku." Sebelah tangannya terulur kepada Liliana, meminta ponselnya.
"Buat apa?" Liliana menolak memberikan.
"Biar kutelepon balik siapa saja yang bikin kamu marah begitu. Jadi kita tahu alasan dia mengganggumu, aku tidak perlu disiksa seperti ini dan bisa dapat jatah ciuman darimu." Mikkel tidak paham kenapa Liliana melebih-lebihkan urusan sesederhana ini.
"Jadi Signe sering tepelon kamu? Kamu sering ketemu sama dia?" Justru Liliana semakin meradang melihat Mikkel santai, bersikap seolah ditelepon mantan pacar pagi-pagi buta adalah hal yang sangat biasa. Benar-benar tidak menghormati keberadaan Liliana sama sekali.
"Kalau aku bilang tidak, apa kamu percaya?"
"Nggak," ketus Liliana.
"Ya sudah, aku tidak perlu jawab kalau begitu." Mikkel bangkit lalu berjalan cepat menuju kamarnya. Yang harus dilakukan laki-laki kalau mendapat pertanyaan jebakan seperti itu, yang kalau diiyakan salah, dijawab tidak juga tetap salah, adalah kabur. Kabur secepat-cepatnya seperti bokongnya hendak digigit zombi.
"Mau ke mana kamu?" Liliana belum selesai bicara tapi Mikkel meninggalkannya.
"Poop." Mikkel menepuk bokongnya sendiri.
Setengah berlari Liliana menyusul Mikkel. "Aku dulu. Aku yang bangun duluan."
"Makanya bangun tidur jangan langsung marah-marah." Mikkel berdiri tepat di depan kamar mandi, menghalangi Liliana yang berusaha masuk.
Setiap pagi Mikkel menikmati rutinitas baru bersama Liliana. Berebut kamar mandi. Kamar mandi yang berfungsi hanya kamar mandi di kamar ini. Kamar mandi satunya bermasalah dengan saluran pembuangan dan Mikkel belum sempat menghubungi pengelola. Selama Liliana di sini, 'jadwal pagi' mereka sering bentrok dan berujung meributkan siapa yang harus masuk lebih dulu. Untuk menggoda Liliana dan membuatnya kesal, Mikkel suka menyengaja berlama-lama di kamar mandi.
"Ini gara-gara pacarmu yang seksi itu." Liliana memajukan bibir bawahnya.
"Dia memang seksi." Mikkel setuju.
"Lebih seksi daripada aku?"
"Iya." Sebelum sempat memikirkan konsekuensi atas jawaban ini, bibir Mikkel sudah menjawab lebih dulu.
"Minggir!" Liliana menendang tulang kering Mikkel keras-keras, lalu cepat-cepat masuk kamar mandi dan membiarkan Mikkel mengaduh kesakitan di luar.
Liliana menggerutu panjang. Jadi Mikkel berani mengakui, di depan Liliana—tidak kurang-kurang—bahwa mantan pacarnya lebih baik daripada Liliana? Sambil menyelesaikan urusan di kamar mandi, Liliana kembali berpikir. Mantan pacar Mikkel tinggal di Copenhagen. Selama ini Liliana tidak pernah mempermasalahkan jarak di antara Mikkel dan Signe. Tetapi setelah menempuh perjalanan melintasi ruang dan waktu dari Jakarta ke Lund—hampir dua puluh empat jam—dan dari Copenhagen ke Lund—hanya tiga puluh menit—baru Liliana sadar betapa dekatnya Copenhagen dan Lund. Secara jarak, Signe menang. Mudah sekali bagi Mikkel untuk berkomunikasi dengan Signe tanpa terkendala perbedaan waktu. Gampang bertemu karena tidak perlu tiket pesawat. Tidak membuang waktu dan tidak membuang uang.
Relationships that include plane tickets are truly the hardest. Ini menyebalkan sekali.
Liliana membasuh wajah dengan air dingin. Sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, Mikkel sudah move on dari jauh-hauh hari, sejak sebelum pacaran dengan Liliana. Signe adalah pacar kedua Mikkel. Saat itu, berdasarkan pengakuan Mikkel lagi, Mikkel menjalin hubungan dengan Signe karena ingin menghilangkan perasaan suka terhadap Liliana. Liliana adalah sahabat adiknya, Mikkel berpikir dua kali untuk mendekati Liliana.
Cerita cinta Mikkel dengan Signe bukan kisah Romeo dan Juliet, yang bahkan kematian pun tidak bisa memisahkan. Bukankah Mikkel akhirnya memilih untuk berpisah dengan Signe, karena Mikkel tidak bisa mebohongi dirinya sendiri, lalu memutuskan untuk menyatakan cinta kepada Liliana? Tidakkah itu cukup? Tidak cukup. Liliana menarik napas panjang. Seandainya jarak antara dirinya dengan Mikkel dekat. Tidak membentang dari kutub utara ke tengah bumi. Pasti akan lain cerita. Lebih baik. Jauh lebih baik.
"Sweets, ini Signe telepon lagi!" Teriak Mikkel dari luar.
Cepat-cepat Liliana menyelesaikan sisa urusannya di kamar mandi. Dengan senang hati Liliana akan bicara dengan Signe dan menjelaskan bahwa sebaiknya wanita itu tidak lagi menghubungi Mikkel. Karena ada Liliana, kekasih sah Mikkel, di sini.
####
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top