0.8 Senyuman Mematikan

Ryu menyalakan air keran di kamar mandinya, kemudian menyiram tubuhnya yang terasa sangat lengket. Ia akan sengaja berlama-lama di kamar mandi agar Alisha menyerah dengan keputusannya untuk selalu mengikuti Ryu. Ia akan melihat sampai kapan wanita itu akan terus menunggunya.

Sudah hampir sepuluh jam Alisha mengikuti Ryu, mulai dari pria itu pergi ke ruang kerjanya, makan siang dan bahkan makan malam. Wanita itu hanya pergi sebentar untuk mandi atau pergi ke toilet, beberapa menit kemudian Alisha akan kembali seperti semula. Ryu terus memperingatkan wanita itu agar tidak mengikutinya. Namun, sifat keras kepala Alisha mengalahkannya.

Anehnya, wanita itu tidak melakukan apa pun ketika berada di dekat Ryu. Bahkan ia tidak mengeluarkan kata-kata bantahan seperti biasanya. Ia tetap bungkam terkadang tersenyum aneh sambil mengamati gerak-gerik Ryu. Membuat pria itu sedikit risi.

Setelah hampir dua puluh menit pria itu membersihkan diri, kini Ryu mematikan keran pancuran, kemudian berjalan ke sisi kanan kamar mandi untuk mengambil handuk keringnya. Ia mengusap seluruh tubuhnya, setelah itu ia melilitkan handuk pada pinggangnya, dan pergi ke luar dari kamar mandi.

"Kau, belum pergi?" Tanya Ryu yang melihat Alisha masih setia berdiri di samping pintu untuk menunggunya.

Alisha tertegun beberapa detik tatkala melihat tubuh atletis Ryu, empat kotak bisep terukir indah pada perut pria itu, membuat Alisha susah payah meneguk salivanya. Wanita itu mengingat tujuannya kembali, dan menggelengkan kepalanya yang susah dikompromi. Alisha menarik ujung bibirnya, dan kembali tersenyum lebar seperti sebelum-sebelumnya.

Hal itu membuat jantung Ryu tiba-tiba berpacu kencang, entah kenapa. Tidak mungkin ia jatuh tertarik pada senyuman wanita itu, yang terlihat manis. Apa manis? Bahkan Ryu merasa terganggu melihatnya.

Jika saja, Ryu tidak mengingat tujuannya membawa Alisha ke tempat itu. Mungkin ia sekarang sudah berlari memeluknya, dan mencumbunya. Ryu pria normal, melihat seorang wanita yang berdiri dengan rambut acak-acakan seperti anak itik, dan senyuman yang mematikan itu. Siapa yang tidak gemas?

"Keluarlah! Aku mau ganti baju."

Seperti sebelum-sebelumnya, wanita itu masih tidak merespon. Ryu berusaha mengusir Alisha dari kamarnya dengan gerakan hendak melepas handuknya, untuk melihat seberapa besar tekad wanita itu.

"Tunggu, baiklah aku akan akhiri ini sampai di sini," ujar Alisha seraya mengangkat tangannya untuk menghentikan Ryu. "Tapi ingat, besok aku akan melakukannya lagi sampai Anda tertarik padaku."

Ryu tidak bisa menyalahka Alisha karena ia yang memang memperbolehkan wanita itu melakukan apa pun untuk menarik perhatiannya. Ternyata keputusannya salah sekarang, hanya tujuh hari ia akan terbebas dari wanita itu.

°°°

"Bi Mirang melihat itu, kan? Ryu sebentar lagi akan luluh dengan senyumanku," tukas Alisha setelah memasuki kamarnya.

Bi Mirang tersenyum melihat Alisha bahagia. Kemudian wanita paruh baya itu mengangguk. "Kenapa Nona memakai trik seperti itu?"

Alisha mendudukkan bokongnya pada kursi meja riasnya. Senyuman kemenangan terukir di wajahnya, hari ini ia merasa telah mengalahkan dua sasaran sekaligus. Yang pertama, si manja Daehwa, dan kemudian kakaknya yang sangat aneh.

"Aku mendapatkan informasi itu dari ibuku, seperti katannya, sebenarnya hanya butuh empat menit untuk seseorang jatuh cinta. Jadi aku manfaatkan waktu tujuh hari untuk menemukan kapan empat menit yang berharga itu," ujar Alisha. "Empat menit yang mungkin bisa merubah hidupku di sini."

Paling tidak, ia sudah berusaha semampunya. Jika usahanya tidak membuahka hasil, maka itu tidak mungkin. Karena Alisha percaya, setiap usaha pasti akan membuahkan hasil.

"Baiklah Nona, ini sudah malam, aku akan pergi dulu. Selamat istirahat."

Setelah mengatakan itu Bi Mirang membungkukkan badannya sekilas kemudian meninggalkan Alisha.

°°°

Langit sudah berubah mulai gelap. Bulan sudah sepenuhnya menampakkan diri pada malam yang dingin mencekam itu, seakan mampu menembus tulang. Namun, seorang pria masih berada di luar dengan hanya mengenakan seragam kantornya tanpa jaket atau sesuatu yang membalut seragamnya itu. Pria itu barkali-kali berjalan ke arah berlawanan di depan sebuah kelab di wilayah Gangnam. Seraya meremas ponselnya, pria itu memasang raut yang susah diartikan.

"Jangan sampai apa yang dikatakan Asisten Han benar. Kenapa perasaanku tak enak?" Ryu bergumam.

Sorot matanya menangkap seorang wanita yang baru saja keluar bersama dengan seorang pria asing. Ryu menghela napasnya kecewa, ia melihat dua orang itu berjalan sempoyongan ke arah mobil, sepertinya mereka baru saja meminum alkohol.

Ryu mengepalkan tangannya, begitu sakit, ia seperti tengah di tikam ribuan pisau di hatinya. Bagaiman seorang wanita yang sudah memiliki ikatan dengan seseorang diam-diam pergi bersama pria lain.

Perlahan demi perlahan, pria itu mengikuti dua orang di depannya, bahkan ia terang terangan berjalan di belakang mereka hanya beberapa langkah. Namun, dua orang itu sama sekali tidak menyadari kehadiran Ryu. Dalam diam, Ryu masih menatap mereka yang sudah masuk ke dalam mobil dan bercumbu di sana. Sebuah cairan ke luar dari pelupuk matanya tanpa ia sadar. Ia menangis?

Beberaja menit berlalu begitu cepat, dan Ryu masih setia menatap mereka enggan mendekat dan memergoki mereka untuk sekedar bertanya. "Mengapa kau lakukan ini padaku?"

Ryu melihat mobil yang ada di depannya itu menyalakan mesin, dan akan segera meninggalkan tempat itu. Segera, Ryu memasuki mobilnya yang tak jauh dari sana, kemudian mengikuti mereka.

Setelah membelah jalanan kota Seoul, Ryu melambatkan laju mobilnya, dan beberapa detik kemudian ia menancap gas serta melepas pedal remnya.

Detik itu juga,

BRAK!!

Mobilnya menghantam bagian belakang mobil kekasihnya, ia berpikir jika ia tidak bisa bahagia maka wanita itu juga tidak boleh bahagia. Pria itu terlempar ke luar dari mobilnya dan terlentang di atas aspal dengan tubuh yang sudah berlumuran darah.

Ia melihat mobil yang tadi ia tabrak menghantam pagar pembatas jalan hingga terpental jauh, dan terbalik. Percikan-percikan api terlihat pada mobil yang ditumpangi dua orang itu. Ryu menarik ujung bibirnya melihat wajah kekasihnya penuh dengan darah dan tak berdaya, mata mereka terkunci satu sama lain. Dalam kesakitan wanita itu bergumam. "Mianhae ...."

Pada saat bersamaan suara ledakan besar memenuhi perkotaan Seoul pada malam itu. Mobil itu meledak di depan mata Ryu. Pria itu tertawa, dan menangis pada saat bersamaan, ada raut penyesalan di matanya, mengapa ia tidak berusaha mendengar penjelasan wanita itu dulu.

"TIDAK!!"

Teriak Ryu kemudian bangkit dari tempat tidurnya. Mimpi buruk itu lagi, sudah hampir setiap malam pria itu mengalami mimpi buruk yang sama setelah insiden ia membunuh kekasihnya dengan sengaja. Tidak, itu bukan kesalahan Ryu, pria itu hanya terbakar kecemburuan tinggi hingga tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top