SKSB 9
Dewa menyerahkan kunci kamar Gendhis. Perempuan berambut sebahu itu menerima sambil mengucapkan terima kasih.
"Kamu istirahat, satu jam lagi aku telepon. Kita semua kumpul di halaman belakang!" titahnya lalu meninggalkan Gendhis.
Menarik napas dalam-dalam, dia kembali menutup pintu. Melangkah menuju ranjang dia mengedarkan pandangan. Kamar yang luas dan nyaman, andai tidak ada acara jam tujuh nanti sudah pasti dia akan meluruskan punggung di atas kasur ukuran king size ini. Beruntung dia tadi sudah makan, kalau tidak bisa-bisa dirinya pingsan karena lapar.
Gendhis membuka paper bag dari Dewa. Matanya menyipit meraih isi di dalamnya. Saat dia mengeluarkan dari pembungkusnya, Gendhis benar-benar terpesona dengan gaun yang diberikan pria itu.
Sebuah gaun panjang, berwarna merah dengan leher model sabrina tampak begitu indah.
"Pasti mahal," gumamnya sembari menempelkan gaun itu ke badannya.
Saat mengamati dirinya di depan kaca, sebuah pesan masuk di ponselnya.
[Aku lupa, buka pintu, ada kotak kecil di depan pintu. Kamu pakai nanti!]
Gendhis bergegas membuka pintu. Setelah menoleh ke sekeliling tak dijumpai satu orang pun dia memungut benda itu lalu kembali menutup pintu.
Dewa tidak main-main dengan ucapnya, dia tidak mau terlihat pasangannya biasa-biasa saja, tetapi menurut Gendhis semua ini begitu berlebihan.
[Pak ini ada kalung, apa saya harus pakai? Apa ini nggak berlebihan?] Ketiknya lantas mengetuk tombol kirim.
[Aku mengajakmu bukan memintamu untuk mendebatku. Pakai saja dan lakukan apa yang kuminta. Paham?]
Menggeleng cepat, dia meletakan ponsel ke meja rias. Tak ingin kembali membuat kesal Dewa, Gendhis memilih untuk segera membersihkan diri.
**
Melangkah ragu, dia membuka pintu. Perasaan Gendhis kali ini benar-benar tidak karuan. Mengenakan gaun indah lengkap dengan perhiasan mewah, dia nyaris mati gaya saat di depan pintu berdiri Dewa yang tengah menatapnya lekat. Pria itu mengenakan kemeja putih dengan celana formal berwarna hitam. Aroma parfum maskulin menguar menusuk indra penciumannya.
Sekilas tampak Dewa terpesona dengan penampilan perempuan di depannya itu.
"Maaf, Pak. Apa saya terlihat seperti boneka kayu yang diberi baju mewah?" tanyanya merasa tidak nyaman karena Dewa menatap dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Boneka kayu?" Dewa mengulang ucapan Gendhis dengan tawa.
"Iya, Bapak melihat saya seperti itu pasti persepsinya. Iya, 'kan?"
"Bukan itu, aku nggak percaya aja kalau ternyata baju itu muat kamu pakai."
"Makasih, Pak."
"Ayo!" Dewa mengisyaratkan agar Gendhis mengikutinya.
**
"Wa! Kenapa nggak digandeng cewek lo? Mana pake high heels pula. Kagak ada mesra-mesranya deh!" Aldi dan Fio muncul di depan mereka.
"Gue jadi ragu nih kalau begini," selidik Fio.
"Mesra itu nggak cuma digandeng, diperhatikan dan dipenuhi segala kebutuhannya itu juga mesra kok!" tangkisnya menoleh ke Gendhis.
"Iye iye, kita bakal kalah kalau bicara sama dia, Aldi," ungkap Fio terkekeh.
"Ya udah, ditunggu yang lain tuh! Kalian aja yang belum gabung!" imbuh Fio. "Gendhis, ikut aku ya, Wa!"
"Kenapa iku lo?"
"Ya kali lo ajak dia ngobrol sama circle lo, dia kan perempuan, ya sama kita-kita dong. Lagian semua istri-istri teman yang lain juga gabung kok di sebelah sana," terangnya menunjuk dua gazebo dan beberapa kursi di tempat itu.
"Kamu nggak apa-apa?" Dewa menatap Gendhis khawatir. Sebenarnya bukan mengkhawatirkan perempuan itu, tetapi dia cemas jika Gendhis tidak bisa menjaga rahasia mereka.
"Nggak apa-apa, Pak."
"Pak?" Fio menyipitkan mata menatap keduanya.
Dewa menggeleng samar, dia menatap tajam pada Gendhis.
"Eum ... biasa, kami memang suka bercanda, sering seperti itu, kadang dia kupanggil ibu, iya, 'kan, Sayang?"
"Iya, kami memang sering bercanda," timpal Gendhis mencoba meyakinkan Fio dan Aldi.
"Oke, nggak apa-apa, 'kan dia aku ajak ke sana, Wa?"
Dewa mengangguk menghela napas lega.
Acara terus berlanjut, keriuhan dan keramahan teman-teman Dewa membuat Gendhis sedikit banyak bisa membaur dan bisa sejenak melupakan statusnya malam itu.
"Wa."
"Ada apa?" Dewa mengepulkan asap rokoknya.
"Gendhis cakep juga ya? Kenapa nggak lo pacarin aja sih?" Robi duduk di sebelahnya. Saat itu tidak ada orang lain selain mereka berdua.
"Ngaco lo!"
"Dih, kenapa ngaco? Aku pikir dia itu bukan perempuan sembarangan."
"Nggak usah promosi!"
"Gue nggak promosi, Bro! Istri gue tadi cerita, dia kagum sama Gendhis."
Dewa menoleh menunggu kalimat yang akan keluar dari mulut Robi.
"Kagum kenapa?"
"Kata istri gue, Gendhis itu perempuan yang sangat independen, maksudnya dia begitu menyayangi keluarganya dan cara dia bicara dengan Ivone teman kita yang di Swiss pake bahasa Inggris dan bahasa Inggrisnya jago!"
"Ya itu biasa sih! Mungkin dia kuliah jurusan Bahasa Inggris."
"Lo tahu dia ngapain sekarang?"
"Ngapain?"
"Dia diminta Fio untuk memeragakan keahliannya meracik kopi!"
"What?"
"Iya."
"Sial!" Dewa bangkit tetapi ditahan oleh Robi.
"Mau kemana?"
"Ya mencegah dia! Gila aja!"
"Wait, Wa!"
"Jangan pernah lo berpikir untuk mengubah seseorang hanya karena dia udah lo tolong!
"Iya, tapi ini bukan saatnya dia begitu, Robi."
"So what? She's happy! Bahkan si Fio minta diajari. Apa yang salah?"
"Lo ngeremehin kerjaan dia? Lo anggap dia harus jadi seperti yang lo mau?" imbuhnya.
"Apa dia juga nggak boleh menikmati malam ini? Apa lo pikir di ma hanya duduk diam? Aku rasa diam itu bukan dirinya, Wa."
"Sejak kapan lo jadi psikolog?"
Tawa Robi pecah, tak lama muncul dari arah lain Gendhis dan istri Robi. Terlihat Gendhis membawa secangkir kopi untuk Dewa, pun demikian dengan istri Robi. Dia membawakan kopi untuk sang suami.
"Kopi, Mas," tawar Diana istri Robi. "Makasih, Sayang." Rekan Dea itu mengecup dahi sang istri.
"Kopi, Mas Dewa." Dia menyodorkan ke arah Dewa.
"Thank you!"
"Wa, sori, kamar buat lo dipake Kayla sama anaknya yang masih bayi, kesian kalau dia harus bareng tidur sama temen-temen perempuan yang lain." Seseorang bertubuh tinggi datang mendekati mereka.
"What? Kamar yang lain nggak ada?" Dewa meletakkan cangkir kopinya.
"Sori, Bro! Full udah. Villa di sini udah full, ada juga agak jauh dari sini, itu juga belum tentu."
"CK! Sial!" umpatnya.
"Udah deh, lo sekamar aja sama dia, asal nggak ngapa-ngapain nggak apa-apa, 'kan?" celetuk rekannya yang baru datang tadi.
Terlihat ketegangan di paras Gendhis, tetapi tidak pada Dewa. Ada samar tercetak seringai pada bibir pria itu.
"Ya gampanglah itu, lagian di mobil juga bukan masalah." Dewa menghentikan pikiran nakal Robi dan temannya yang lain.
"Lagian kenapa kalian udah pada nikah?" cetusnya mengusap tengkuk. "Yang belum nikah mereka nggak bawa pasangan."
"Lagian siapa suruh bawa pasangan kalau memang belum halal, Bro?" timpal seseorang tadi.
"Lah ini nih! Dia ini yang bikin aku begini!" Dia menunjuk Robi yang menahan tawa.
"Ya bukan begitu, Bro. Siapa yang nggak kenal lo? Dulu waktu SMA nih ya, Dis." Robi menoleh ke Gendhis. "Dia ini setiap kelas ada pacarnya. Belum lagi sama yang tidak diketahui publik." Romi menaik turunkan alis menatap Dewa yang sudah siap memberi bogemannya.
"Sabar, Gendhis. Biar nanti Dewa aku temenin." Kalimat Robi mengakhiri kecemasan Gendhis.
**
Tiga part done
Semoga selalu sukaaa.
Terima kasih sudah berkunjung 🫰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top