SKSB 7
Gendhis menunggu penjelasan Dewa dengan wajah serius. Sementara Dewa justru tengah berpikir di mana dia bisa mengubah penampilan barista di depannya. Berada sangat dekat seperti saat ini membuat dirinya bebas mengamati pahatan yang diciptakan Tuhan yang ada di wajah perempuan berkulit sawo matang itu.
Hidung mancung, bibir tipis, tetapi sensual, mata indah dengan alis rapi melengkung di atas matanya dan bulu mata lentik merupakan satu kesatuan yang menciptakan keindahan.
"Pak Dewa? Kenapa Bapak bengong?"
"Oh, nggak, nggak bengong cuma sedang berpikir apa kira-kira kamu bisa membantuku."
Gendhis menunduk.
"Apa pun yang Bapak minta saya akan bantu usahakan, kecuali bantuan uang, saya tidak bisa," tuturnya dengan tangan saling bertaut.
Dewa tertawa kecil, di luar perkiraan, ternyata Gendhis memiliki sisi humoris yang dibalut oleh rasa mellow-nya.
"Sabtu sore sampai Minggu sore, kamu ikut aku!"
Gendhis sontak mengangkat wajahnya menatap Dewa. Matanya membulat dengan kening berkerut seperti tengah meminta agar Dewa kembali mengulangi ucapannya.
"Kenapa? Nggak mau bantu? Sudah kuduga, kamu nggak bisa bantu," ujarnya kemudian meraih sebatang rokok dari kotak yang berada di kantong bajunya.
Gendhis berusaha membasahi tenggorokan yang tiba-tiba kering. Bagaimana mungkin dia ikut Dewa sementara dirinya harus bekerja demi melunasi biaya kuliah dan wisuda yang hampir sebulan lagi itu?
"Bukan begitu, Pak, tapi Sabtu sampai Minggu?" Dia menarik napas dalam-dalam. "Tidak mengganggu jadwal kerja saya, 'kan?"
"Sabtu sore kita menginap di villa sampai Minggu sore, jadi sudah jelas mengganggu jadwal kerjamu!"
Mata indah Gendhis semakin membulat, tetapi kali ini menatap tajam pada Dewa.
"Bapak pikir saya perempuan apa? Bapak pikir saya perempuan murah yang bisa Bapak beli begitu? Jangan karena saya punya utang ke Bapak terus Bapak bisa ...."
"Sttt!" Pria berkemeja merah hati itu meletakkan telunjuk ke bibirnya. "Bisa diam?" tanyanya.
"Nggak, Pak! Maaf, kalau Bapak pikir saya perempuan murahan." Gendhis menggeleng cepat, "Bapak salah orang!" Dia kemudian bangkit berniat untuk meninggalkan kursi, tetapi kemudian dia kembali menghadap Dewa.
"Saya akan bayar sesegera mungkin, akan saya usahakan untuk ...."
"Duduk!" titah Dewa dengan tatapan menusuk. "Kamu bisa diam sebentar? Kamu pikir otakku rusak sehingga berpikir seperti yang kamu sebutkan tadi? Aku bisa menuntutmu dengan pasal pencemaran nama baik karena sejak tadi kamu selalu menyudutkanku!"
Perlahan Gendhis kembali duduk.
"Aku juga pilih-pilih kalau mau booking perempuan seperti yang kamu pikirkan!" sindir Dewa masih menatap tajam.
"Aku bilang tadi aku minta tolong, 'kan? Bukan mengajakmu tidur di villa!"
Menyelipkan rambut ke belakang telinga, Gendhis menelan ludah.
"Sebaiknya kamu harus membiasakan mendengar sebelum bicara!" Tampak Dewa kesal dengan semua yang diucapkan olehnya barusan. "Jangan putus bicaraku sebelum selesai!"
"Aku minta kamu berpura-pura menjadi pasanganku. Sabtu sore kita ke villa, di sana ada acara reuni hingga esok harinya, dan acara selesai sore hari di hari Minggu."
Gendhis masih diam. Tampak jika dirinya berusaha menahan pertanyaan sampai Dewa selesai berbicara.
"Aku nggak tahu harus mengajak siapa karena ... pasanganku tidak di sini dan aku tahu kamu perempuan baik jadi aku berpikir untuk mengajakmu!"
Kembali Gendhis membasahi tenggorokan. Otaknya berputar keras memikirkan bagaimana mungkin dia dan Dewa berada di villa yang sudah barang tentu mereka suka tidak suka akan berada dalam satu kamar.
Dewa mengambil cangkir berisi kopi di depannya kalau menyesap perlahan. Seolah paham apa yang dipikirkan Gendhis, dia tersenyum lalu kembali meletakkan cangkir ke meja.
"Kamu tidak sedang berpikir kita tinggal dalam satu kamar, 'kan?"
Pertanyaan Dewa sontak membuatnya salah tingkah.
"Tentu saja aku sudah pikirkan itu. Kamu jangan khawatir, aku bukan pria yang berpikir bisa membeli perempuan meski aku bisa." Kembali dia menyindir Gendhis.
"Gimana? Kamu mau bantu?"
"Tapi gimana kerjaan saya, Pak?"
"Nanti aku yang bicara langsung ke Jonathan, asal kamu bersedia!"
Gendhis mengangguk samar.
"Bagus kalau begitu! Sore nanti kamu ke sini ya. Kamu sebutkan saja namaku." Dia menyodorkan kartu nama. Di sana tertulis, 'Kanaya Skin Clinic Center.'
"Ini ... ini untuk apa, Pak?"
"Kamu bisa baca, 'kan?"
"Iya, tapi ...."
"Aku nggak ada waktu untuk menjelaskan. Sore sepulang dari sini, kamu langsung ke sana. Sebutkan namaku dan tunjukkan kartu nama itu. Mengerti?"
Gendhis tak menjawab, dia membiarkan Dewa melewatinya dan meninggalkan tempat itu. Tak dia duga ternyata tawaran membantu pria itu membuatnya harus datang ke tempat yang sama sekali tak pernah dia datangi.
"Gendhis! Ada apa?" Dila menepuk bahu rekannya.
"Oh, nggak apa-apa."
"Itu apa?" Dila membaca kartu nama di tangan Gendhis.
"Kanaya Skin Clinic? Namira tempat perawatan yang mahal itu?"
Gendhis tak menjawab, dirinya masih mencoba memahami apa yang baru dan akan terjadi nanti.
"Sadewa Danaraja, ini nama siapa?" Dila terlihat penasaran.
"Dila, kamu nanti pulang sore juga, 'kan?"
"Hu umh. Kenapa?"
"Temani aku."
"Ke?"
"Ya ke Kanaya."
"What? Untuk apa? Kamu bilang kamu nggak punya uang, kenapa malah perawatan?" Mata Dila menyipit.
"Ck, udah deh, nanti aku cerita."
**
Dila tak henti-hentinya tersenyum mengingat cerita Gendhis. Sebagai teman dia ikut bahagia sekaligus ingin tahu ke mana akan bermuaranya kelak antara Gendhis dan Dewa.
Meski masih terlalu dini untuk dibahas, tetapi dia berharap Gendhis bisa mendapatkan kebahagiaan dan itu dari Dewa.
Menunggu rekannya sedang di-treatment, dia memilih membuka media sosial dan muncul ide untuk mencari akun Sadewa Danaraja.
Hingga lelah berselancar di media sosial, Dila tak menemukan akun Sadewa.
"Misterius!" gumamnya tepat saat Gendhis keluar dari ruang perawatan.
"Gendhis? Wuaaah ... kamu jadi lebih cling!" cetusnya bangkit mendekat.
"Cling? Kamu pikir aku piring kotor yang habis dicuci?"
Dila tak bisa menahan tawa mendengar penuturan rekannya.
"Kita ke mana sekarang?"
"Kita pulang!"
"Eh, ya nggak bisa begitu dong! Aku lapar, Gendhis!"
Tawa Gendhis pecah, dia mengangguk lalu memberi isyarat agar Dila mengikutinya.
"Kita ke warung seafood di dekat rumahku. Enak deh! Kamu mau?"
"Ya mau dong, sambil cerita ya."
"Cerita apa?"
"Pak Dewa!" Dila menaik turunkan alisnya dengan mata menggoda.
"Semua sudah aku ceritakan, Dila. Kalau kamu masih pengin mengulik lebih jauh, kamu bisa tanyakan sendiri deh!"
Dila memajukan bibirnya lalu tertawa kecil. Tak lama taksi online yang dipesan Dila datang menjemput keduanya.
**
Santi mendengar cerita putrinya dengan saksama. Meski ada sedikit rasa khawatir, tetapi dia percaya jika Gendhis bisa menjaga diri.
"Ibu memang belum mengenal jauh Pak Dewa, tapi dari ceritamu ... Ibu rasa dia bukan pria sembarangan apalagi terhadap perempuan."
"Iya, Bu. Tapi Gendhis tetap harus waspada karena orang seperti Pak Dewa itu bisa berbuat aoa saja dengan uangnya."
Santi mengangguk. Sembari menarik napas dalam-dalam dia mengusap rambut Gendhis.
"Maafkan Ibu, Gendhis. Karena Ibu semua jadi begini dan kamu harus berurusan dengan Pak Dewa."
"Nggak apa-apa, Bu. Ibu doakan saja supaya semuanya baik dan tidak terjadi apa pun yang mengkhawatirkan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top