SKSB 5
"Kalau bulan ini tidak segera melunasi tunggakan kuliah dan uang wisuda ... mohon maaf, berarti namamu akan dicoret. Itu artinya kamu tidak bisa ikut wisuda."
Ucapan Nuri petugas bagian administrasi, terngiang di telinga. Tadinya dia ke kampus ingin meminta sedikit kelonggaran agar bisa tetap ikut wisuda meski terlambat membayar. Namun, nyatanya pihak kampus tidak lagi bisa memberikan dispensasi untuknya.
Gendhis berjalan gontai, harapan untuk bisa ikut wisuda menipis. Meski ada perhiasan yang tempo hari diberikan oleh Santi, tetapi Gendhis masih berkeras untuk menjadi makan itu opsi terakhir. Terlebih semalam ibunya kesakitan di bagian perut dan kini sedang tergolek di rumah sakit.
Menurut dokter, ibunya harus segera dioperasi karena mengidap usus buntu.
"Gendhis, Ibu nggak apa-apa, kamu harus bisa membayar tunggakan dan mengikuti wisuda itu," tutur ibunya saat tahu jika harus ada tindakan operasi padanya.
"Nggak, Bu. Apa arti wisuda buat Gendhis kalau ibu sakit? Buat Gendhis Ibu lebih utama dari semuanya."
Siang nanti Santi akan dioperasi, sementara pagi-pagi sekali dia ke kampus untuk meminta dispensasi yang ternyata berakhir dengan penolakan.
Melangkah dengan pikiran yang tak menentu membuat Gendhis hampir saja menabrak pejalan kaki lainnya.
"Sori, maaf, saya nggak lihat," tuturnya membungkuk mengabaikan omelan ibu-ibu bertubuh subur itu.
Langkahnya berhenti di halte. Semua semangatnya lenyap, bahkan untuk bekerja pun dia seperti tidak punya keinginan. Menarik napas dalam-dalam, dia duduk menatap kosong ke jalanan. Riuh pengendara lalu lalang seperti tak berpengaruh padanya. Gendhis seperti berada di dunianya sendiri. Sepi.
**
"Kamu kenapa telat, Gendhis? Tadi Pak Jonathan ke sini tahu!" Dekat terlihat khawatir.
"What? Pak Jonathan? Ke sini?"
Dila mengangguk masih dengan wajahnya yang cemas.
"Terus kamu bilang aku kenapa?"
Kembali rekannya itu mengangguk.
"Aku bilang kalau ibumu masuk rumah sakit, tapi kamu tetap datang meski terlambat."
Gendhis mengucapkan terima kasih, sembari menghela napas lega.
"Tapi kenapa sampai telat banget sih? Kamu bilang tadi ...."
"Aku ke kampus, Dil. Aku minta dispensasi, tapi mereka menolak," potongnya sembari memakai apron.
"Sabar, Gendhis. Maaf aku nggak bisa nolongin kamu.
"It's oke, Dil. Kamu udah mau jadi juru bicaraku tadi aja udah makasih banget."
Dila tersenyum. "Beruntung ada Hardi, jadi aman terkendali."
Hardi yang baru saja keluar dari kamar mandi menepuk dada.
"Thanks, Hardi!. Kamu emang hero!"
"Udah, nggak usah lebay! Aku cabut dulu ya."
"Oke, hati-hati, Hardi!" seru Dila dan Gendhis hampir bersamaan.
"Kalau begitu sekarang buatkan kopi latte untuk dua orang di sebelah sana!" Dila menunjuk dengan dagunya ke dekat jendela.
"Oke, Dil.
"Oh iya, si cowoknya mau latte art-nya love ya, dia minta ini dimasukkan ke dalam minuman pacarnya!" Dila menyorongkan cincin kepadanya.
Menaikkan alisnya, Gendhis menggeleng samar.
"Kenapa? Pasti kamu udah under estimate. Iya, 'kan?"
"Bukan gitu, Dila, ini si cowoknya nggak takut cincinnya ketelan apa ya?" sahutnya mengulum senyum.
Mengerucutkan bibir, Dila berseloroh, "Makanya cari pacar, biar tahu rasanya dikasi kejutan pacar itu seperti apa!"
Ucapan Dila membuat Gendhis sejenak menghentikan aktifitasnya.
"Emang kamu udah punya pacar gitu?"
Memasang wajah jenaka, Dila menahan mulutnya dengan tangan agar tawanya bisa dia kendalikan.
"Eh tapi, Dhis ... ternyata pelanggan kita itu teman Pak Jonathan loh. Aku baru tahu." Dila mengalihkan pembicaraan.
Gendhis yang sedang membuat art pada permukaan latte buatannya menoleh sejenak lalu kembali fokus.
"Pelanggan yang mana?"
"Yang biasanya."
"Yang biasanya yang mana? Aku, 'kan bagian kitchen, Dila. Mana aku paham siapa aja pelanggan kita."
Tampak Dila berpikir sejenak.
"Ah, yang waktu itu kamu salah ngasi kopi! Iya itu orangnya tadi!"
"What? Pak Dewa?" Matanya membeliak mendengar penuturan Dila.
"Pak Dewa? Pak Dewa siapa?"
"Iya, itu. Pelanggan kita, pelanggan yang kamu maksud itu namanya Dewa!"
"Kok kamu kenal?"
Gendhis menatap Dila lalu memberi isyarat agar membawa dua kopi latte diantar ke pemesan. Seperti tak ingin melewatkan penjelasan Gendhis, Dila cepat kembali ke tempat Gendhis.
"Gendhis!"
"Hmm."
"Eh! Cerita ke aku, gimana kok kamu bisa tahu nama orang yang kemarin itu?" Dila terlihat penasaran.
Gendhis merapikan rambut lalu duduk di kursi dekat sink. Dia kemudian menceritakan bagaimana bisa bertemu dan tahu nama pria yang biasanya selalu memesan kopi hitam itu.
"Sudah kuduga," gumam Dila.
"Kamu menduga apa?"
"Dia pria kaya!"
Gendhis menaikkan alisnya lalu bangkit.
"Udah ah! Ada pelanggan tuh, Dil!"
**
Pukul sepuluh malam, Gendhis keluar dari koffe shop. Motor tua yang biasa menemani rusak dan dia tidak bisa membawa ke bengkel. Karena keuangan yang tidak bersahabat. Sementara kemarin dia minta tolong ke Murni, untuk menjual perhiasan yang berikan sang untuk menambah biaya operasi dan obat.
Beruntung ada Murni buleknya, sehingga dia tak harus meninggalkan pekerjaan untuk menjaga ibunya. Sementara Rezky pun bisa paham dengan kondisi mereka, hingga dia mau tinggal di kediaman Bulek Murni.
Ini kali pertama dia pulang tanpa motor. Terkadang kehidupan memang begitu keras sehingga kita pun harus bisa lebih keras lagi agar tidak tergerus.
Malam ini dia pulang ke rumah sakit, Gendhis ingin tahu kondisi ibunya setelah operasi. Meski Bulek Murni sudah memberi kabar jika ibunya baik-baik saja, tetapi tidak membuat dia tenang sebelum menyaksikan sendiri bagaimana ibunya.
"Rumah Sakit Husada! Ayo terakhir!" Suara kenek angkot membuat beberapa orang di halte bangkit, termasuk Gendhis.
**
Setelah mendapatkan keterangan dari dokter jika kondisi ibunya tidak ada masalah, Gendhis bisa bernapas lega. Setidaknya ibunya bisa lebih cepat pulih dan bisa pulang ke rumah.
"Ibu, Gendhis kerja dulu ya. Satu pekan ini Gendhis dapat shift pagi."
"Iya, Sayang. Hati-hati ya."
"Iya, Bu. Ibu harus banyak makan, ya. Eum ... nanti siang, Gendhis ajak Rezky ke sini. Dia telepon sejak kemarin katanya kangen sama nenek."
Santi mengangguk.
"Bulek, Gendhis berangkat ya."
"Hati-hati, Gendhis."
Sedikit mempercepat langkah, Gendhis menguluk salam kalau berlari kecil meninggalkan tempat itu.
"Gendhis, Bulek nggak bisa bantu biaya rumah sakit ibumu, maaf ya. Kamu pasti tahu kondisi Bulek."
"Iya, Bulek. Nanti Gendhis coba cari pinjaman. Bulek tolong jaga ibu. Untuk biaya, buat Gendhis yang usahakan."
Percakapan dini hari tadi kembali terngiang di kepalanya. Entah di mana dia bisa mendapatkan tambahan uang untuk ibunya jika dirinya sendiri juga sama sekali sudah tidak ada tabungan. Sementara gaji bulan depan masih lama keluar.
'Atau aku kasbon aja kali ya?' Gendhis bermonolog. 'Tapi gaji itu pun ngga akan cukup untuk biaya ibu.' Kembali dia berpikir
Membuang napas perlahan, dia kembali berlari kecil menghampiri kendaraan yang membawanya ke tempat kerja.
**
"Kopi hitam, seperti biasa!" Dewa lalu duduk di tempat favoritnya, di sudut ruangan.
Terlihat pria itu menatap arloji seolah tengah menunggu seseorang. Tak lama pintu terbuka, muncul Gendhis tergopoh-gopoh.
"Gendhis! Astaga, kenapa kamu terlambat lagi?"
"Sori, Dila. Sorii. Tapi ini, 'kan ngga parah telatnya, cuma sepuluh menit doang," tuturnya membela diri.
"Sstt, tuh ada Pak Dewa! Dia pesan ...."
"Kopi hitam?"
"He eum!"
Tiba-tiba saja ide muncul. Secepat kilat dia membuatkan pesanan Dewa dan satu lagi kopi Americano yang pernah dia janjikan waktu itu.
Dia berharap diberikan keberanian untuk kembali mengucapkan terima kasih telah diberikan kesempatan untuk membuat contoh produk dan selamat dari amarah Desi.
Selain itu, Gendhis akan membuang malu demi ibunya. Meminjam uang ke Dewa adalah tujuannya kini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top