SKSB 4


Tepukan tangan Robi di bahu Dewa membuat pria berkemeja hitam itu menoleh. Seperti sedang tidak terjadi apa-apa, dia langsung meneguk air mineral di depannya.

"Lo kenapa malah bengong waktu mamanya muncul?" selidik Robi dengan senyum meledek.

Tak menjawab, Dewa menatap Robi dengan tatapan seolah memintanya diam.

"Jadi dia sudah punya anak? Pantas nggak fokus kerja waktu itu. Tapi kemana suaminya?" pikir Dewa dalam hati.

Robi masih memperhatikan Dewa, tawanya muncul menyadarkan ada hal yang tak biasa pada rekannya.

"Jangan bilang lo naksir sama mamanya tuh anak, Wa! Bisa heboh grup wa sekolah kalau sampai kejadian," selorohnya.

"Ck! Ya nggaklah! Nih dia itu barista yang gue ceritain tadi. Paham lo?"

Mata Robi kembali mengarah ke tempat duduk Gendhis dan Rezky. Pantas jika Dewa mencari sosoknya, karena memang paras perempuan itu sangat menarik. Kulitnya sawo matang, rambutnya hitam, dan memiliki senyum menawan.

"Gue paham sekarang, pantes lo cari dia, ya dia manis begitu!"

"Robi, selain menjengkelkan, lo ternyata punya mulut udah kek emak-emak komplek!" Dewa menatap geram.

Tawa Robi meledak, hingga menjadi perhatian pengunjung tanpa terkecuali Gendhis dan keponakannya. Mata keduanya mengarah ke Robi yang masih tertawa meski tak sekeras tadi.

"Sori, sori, Bro. Ya udah, kita balik sekarang atau giman nih?"

"Oke, lo udah pesan untuk istri lo?"

"Oh iya, gue pesen dulu ya."

Robi beringsut dari duduk meninggalkan Dewa sendiri.

"Itu, 'kan ...."

"Kenapa, Onty?" Rezky menatap Gendhis.

"Sebentar, sepertinya Onty tahu Om itu siapa."

"Om yang Rezky ceritakan tadi?"

"Iya."

Dia mengamati dan mencoba memastikan jika matanya tidak salah. "Iya, benar. Dia pelanggan yang waktu itu," gumam Gendhis.

Tak lama muncul rekan pria itu untuk kemudian mereka meninggalkan restoran cepat saji tersebut.

**
Dewa dan timnya mendengar penjelasan Desi tentang progres kerajinan tangan dari bahan baku enceng gondok jika dikerjakan serius.

"Kami hanya memanfaatkan bahan yang disediakan oleh alam, jadi benar-benar memanfaatkan bahan yang sudah ada di sekitar."

"Awalnya kami berpikir tanaman itu hanya jadi perusak sungai, tetapi setelah Gendhis rekan kami menjelaskan bagaimana dan seperti bapa manfaat tanaman itu untuk kemajuan masyarakat di sekitar, kami tertarik untuk mengembangkan. Jadi kamu meminta perusahaan perusahaan Pak Dewa untuk bisa membantu kami dalam hal pemasaran bunga pengembangan," jelas Desi panjang lebar.

Ketukan pintu membuat semua yang ada di ruangan sanggar seni itu menoleh. Seorang perempuan dengan rambut dikuncir kuda dan poni menjuntai di dahi muncul dengan wajah ragu meski bibirnya dihiasi senyum.

"Maaf, aku terlambat, Des," bisiknya saat Desi memberi isyarat agar dia segera masuk.

"Maaf, Bapak-bapak, ini Gendhis teman satu tim saya yang saya ceritakan tadi, jadi ... dia ini yang pertama kali punya ide untuk pemanfaatan enceng gondok."

Tersenyum manis, dia membungkuk kemudian menyalami satu per satu tim dari Nature Corp. Sadar jika dia kembali bertemu perempuan barista itu, Dewa tersenyum samar. Dunia ternyata sesempit itu, dia bahkan tidak pernah berpikir untuk tahu siapa dan apa kesibukan perempuan barista yang pernah dia ancam waktu itu.

Semesta seperti tengah menuntunnya untuk lagi dan lagi bertemu dengan perempuan itu dan bahkan dia tahu siapa namanya.

"Jadi nama kamu Gendhis?" Dewa memiringkan kepalanya menatap perempuan yang mengenakan blouse putih itu.

"Iya, Pak," sahutnya ramah dengan menarik bibir.

Robi yang duduk di sebelah Dewa menautkan kedua alisnya, dia ikut tersenyum menyaksikan rekannya yang seolah mulai tebar pesona.

"Sudah kenal sama Gendhis?" Desi menatap keduanya bergantian.

"Sudah," sahut Gendhis.

"Belum." Dewa menjawab.

Mendengar itu, Desi tampak bingung sementara Robi tertawa.

"Mungkin lebih tepatnya baru tahu namanya. Betul begitu, kan, Wa?"

Dewa menaikkan alisnya, sementara Gendhis terpaksa harus menahan malu karena dia berpikir tentu Desi akan berpikir yang tidak-tidak.

"Oke, oke, saya paham. Baik, jadi bagaimana, Pak? Apa Pak Dewa setuju dengan semua yang saya paparkan tadi?"

"Boleh, lalu apa saya bisa melihat sampel produknya? Setidaknya saya harus tahu seperti apa contoh barangnya. Apa ada?"

"Eum, untuk itu ... ada di Gendhis. Dia yang menyanggupi untuk membuat beberapa sampel produk. Gimana, Gendhis? Kamu bawa barangnya?"

Gendhis membalas tatapan Desi dengan wajah khawatir. Dia bahkan sama sekali belum membuat satu pun contoh produk. Padahal Desi sudah berulang-ulang mengingatkan soal itu padanya.

Menelan ludah, Gendhis tersenyum getir.

"Eum, contoh produk ya. Maaf, Mbak Desi, saya ... saya lupa, ketinggalan di rumah." Perlahan dia mengeluarkan napas dari mulut berharap rekannya bisa memahami dan mengerti alasannya.

"Ketinggalan?" selidik Desi seperti tidak yakin dengan jawaban Gendhis.

"Iya."

"Ketinggalan atau ... belum kamu ...."

"Maaf, Mbak Desi, belum karena saya ...."

"Bukannya saya sudah ingatkan kamu berkali-kali untuk segera membuat paling tidak satu produk?" Suara Desi terdengar kecewa sekaligus kesal.

"Tunggu!" Dewa mengangkat tangannya sebagai isyarat agar memberi dia kesempatan bicara.

"Kapan kita bisa lihat barang yang kamu buat?" tanya Dewa dengan tatapan tajam.

"Eum ... segera."

"Kapan? Besok, lusa atau ...."

"Besok! Saya usahakan besok."

"Kamu yakin?"

Gendhis terdiam sejenak. Besok Senin dia sudah harus kembali bekerja dari pagi hingga sore, karena Hardi masih belum pulih, setelah itu dia harus ke rumah Nesya untuk mengajar les anak kelas lima sekolah dasar itu. Kalau kapan ada waktu dia untuk menganyam enceng gondok kering itu?

"Sudah kuduga, kamu nggak akan bisa. Iya, 'kan?" Suara Dewa menjawab keresahannya.

"Dengan kesibukan kamu aku nggak yakin kamu sanggup. Padahal jujur timku sangat tertarik dengan paparan Desi, tapi rupanya kamu menganggap remeh tim kami," imbuhnya seperti mendapatkan ruang kembali untuk mengintimidasi Gendhis seperti saat di koffe shop kala itu.

Gendhis memejamkan mata. Lagi dan lagi dia bermasalah karena orang yang sama. Masalah yang sama yang disebabkan karena dirinya. Jika waktu itu hanya dia yang kecewa, kini tentu naskah melibatkan kekecewaan Desi sebagai rekan sekaligus kakak yang sangat dia hormati.

"Maafkan saya," tuturnya menyesal. "Mbak Desi maaf ...."

"Oke, nggak apa-apa, kalau timku meminta dalam pekan ini apa kamu sanggup? Tapi tidak satu sampel, kami minta sepuluh sampel barang yang harus kamu tunjukkan pada kami. Kamu bisa?"

Menatap nanar, Gendhis berusaha menahan air mata. Sepuluh sampel dalam pekan ini.

"Bisa, Pak. Asal Bapak tetap melanjutkan kerja samanya, saya akan sanggupi syarat itu."

"Good! Kita tunggu pekan depan, tapi ...."

"Tapi apa?" timpal Gendhis spontan menatap Dewa.

"Nggak apa-apa," sahutnya.

Dia lalu menoleh mengajak Robi dan satu lagi rekannya untuk meninggalkan tempat itu.

**

Sepanjang jalan di dalam mobil, Robi menertawakan sikap Dewa yang tiba-tiba penuh pertimbangan terhadap apa yang terjadi tadi.

"Lo biasanya paling nggak suka sama klien yang seenaknya seperti tadi, padahal jelas-jelas mereka yang perlu."

"Betul kata Robi, ada apa dengan lo, Wa?" timpal Nino yang duduk di kursi belakang.

"Gue kesian, Bro. Wajah cewek itu tadi sepertinya sedih banget."

"Lo nggak sedang modus, 'kan?" ledek Robi.

"Modus kalau menguntungkan buat gue, buat perusahaan gue, kenapa nggak?" timpalnya dengan tawa.

"Dengerin nih ya, itu cewek punya anak, lo nggak lupa, kan sama wajahnya kemarin, Rob?" Dewa menoleh sejenak.

Robi mengangguk.

"Dan gue rasa dia juga punya kepentingan dalam proyek ini."

"Maksud lo?"

"Ya meski proyek ini sifatnya lebih ke sosial membantu penduduk sekitar, tapi aku yakin dia juga butuh uang."

"Sok tahu lu!"

Dewa mengedikkan bahu sambil tertawa

"Ya bisa kita bayangkan lah, dia itu sudah punya anak, kerja pula di koffe shop, terus sibuk juga dengan urusan UKM jadi bisa dimaklumi kalau mungkin sedikit keteteran soal bikin contoh produk." Dewa mengira-ngira.

"Iya juga sih, aku pikir juga begitu, tapi, Wa ...."

"Kenapa?" Dewa menatap Nino dari kaca yang aa di atas kemudi.

"Suaminya, kan ada. Seharusnya dia bisa dong bantuin atau apalah gitu."

"I don't know, mungkin suaminya juga sibuk?" Dia mengangkat bahu.

"Sudahlah, kenapa kita jadi membahas ... siapa tadi namanya?" protes Dewa sembari menoleh ke Robi.

"Gendhis, Wa. Gendhis."

"Iya. Gendhis."

Kelebat mata berkaca-kaca milik perempuan itu setidaknya dua kali dia lihat. Mata yang seolah meminta kesempatan agar dia bisa memperbaiki kesalahan.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top