SKSB 39
Karina perlahan membuka matanya. Masih samar, tetapi jelas dia melihat Dewa tengah resah menatapnya. Sementara di samping Dewa ada mama dan papanya yang tak kalah cemas.
"Sayang, kamu baik-baik aja, 'kan? Please, jangan bikin aku panik." Dewa meraih tangan Karina lalu menggenggamnya erat.
Mata Karina kembali berkaca-kaca mengingat apa yang terjadi sebelum dirinya tak ingat apa pun lagi tadi.
"Karina, kamu kenapa, Sayang?" Sindi duduk di bibir ranjang putrinya setelah Dewa memberi ruang.
"Mama." Suara Karina terdengar serak dan tangisnya pecah.
"Hei, ada apa ini?" Kembali mama Karina bertanya, tetapi kali ini matanya menatap Dewa.
Pria yang ditatap itu menunduk.
"Apa kalian bertengkar?"
"Nggak, Ma. Hanya sedikit salah paham. Kami baik-baik saja, kok, Ma," elak Dewa berusaha menyembunyikan hal yang sesungguhnya.
"Ayolah, kalian itu sebentar lagi akan menikah, please, nggak perlu meributkan hal yang tidak seharusnya diributkan. Oke?" Sindi menatap Dewa dan putrinya bergantian.
"Karina. Kamu juga harus bersikap dewasa. Sebentar lagi kamu akan jadi seorang istri. Jadi buang sikap kekanakanmu," imbuh sang mama.
Karina tak menjawab, dia hanya mengangguk tanpa mau menatap Dewa yang sejak tadi tak memindahkan pandangan ke arahnya.
"Ya udah, ini kita masih di rumah Rega. Sebaiknya kamu antar Karina pulang, Wa. Mama sama Papa masih ada sedikit kepentingan sama orang tua Rega."
"Iya, Ma. Dewa antar Karina pulang."
Perempuan yang mengenakan blazer cokelat itu mengangguk. Sejenak dia menatap putrinya.
"Baik-baik ya, Sayang. Biar Dewa antar kamu pulang. Mama masih ada urusan sedikit. Oke?"
Tanpa menunggu sang putri setuju, Sindi bangkit dari duduk.
"Kamu bisa antar Karina sekarang. Hati-hati di jalan, ya."
**
Kabar pingsannya Karina sudah barang tentu diketahui oleh Gendhis.
"Bagaimana kondisi Mbak Karina, Tante?" tanyanya saat Sindi kembali ke tempat mereka berkumpul.
"Baik. Nggak apa-apa, Karina udah sadar. Kecapekan aja mungkin, karena memang belakangan ini dia yang sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk pernikahannya."
"Apa Karina perlu ke dokter, Ma?" Dodi -papa Karina - menatap istrinya.
"Nggak perlu, Pa. Karina udah baik kok, lagian ada Dewa."
Semua yang ada di ruangan itu mengangguk paham.
"Tadi Mama suruh Dewa untuk nganter Karina pulang."
Dodi kembali mengangguk. Sementara Gendhis menarik napas lega. Lega karena calon istri Dewa itu baik-baik saja dan lega karena di tempat itu tidak ada Dewa yang selalu menatapnya seolah ingin menelannya hidup-hidup.
"Gendhis, jangan lupa ya, kabari ibumu jika kami aka datang lusa." Desi mengingatkan.
"Iya, Ma."
Rega menatap Desi lalu berkata, "Ma, Rega ngajak Gendhis duduk di tempat lain, boleh?"
"Boleh dong. Sekalian kalian berdua sepakati apa konsep pesta kalian nanti. Kalau udah oke, kabari Mama! Gimana?" Bibir Desi melebar menunjukkan dekik sama seperti dekik di pipi Gendhis.
Rega tak menjawab, dia menoleh ke Gendhis.
"Rega tergantung Gendhis aja, Ma."
"Gendhis?" Desi menatapnya masih dengan wajah gembira.
"Soal itu ... saya ...."
"Oke, oke, setidaknya kalian berdua punya bayangan deh. Itu mungkin remeh, tapi harus dibicarakan. Mama tunggu kabarnya, ya!"
Seolah tak memberi celah bagi keduanya menjawab, Desi memutar tubuh meninggalkan mereka kembali ke tempat di mana keluarga mereka berkumpul.
**
Sepanjang perjalanan keheningan sangat terasa di dalam mobil. Tak ada canda Karina yang biasanya selalu bisa mencairkan suasana. Tak ada kecerewetan Karina yang biasanya membuat Dewa hanya mengangguk mencoba mengerti. Meski begitu, sesekali sudut mata Dewa terlihat menangkap ekspresi gulana perempuan di sampingnya.
Tak ingin ada kebekuan di antara mereka, Dewa menarik napas dalam-dalam kemudian berkata, "Maafkan aku, Karina. Tapi kamu harus percaya bahwa aku sedang berusaha untuk melepasnya. Aku sedang berusaha untuk menghilangkan perasaan itu."
Karina bergeming. Kedua matanya seolah tak ingin berhenti berkaca-kaca. Mobil meluncur membelah jalanan siang itu. Gundah terlihat jelas pada paras Dewa dan Karina. Keduanya masing-masing sedang bermonolog dengan pikirannya.
"Aku tahu aku salah, tapi aku juga tahu nggak mungkin menyembunyikannya darimu. Aku nggak mau kamu merasa dibohongi pada hubungan kita selanjutnya, Karina."
Perempuan berkulit putih itu bungkam. Tatapannya masih kosong menerawang ke lurus ke depan. Jika pada awal dia mengendus ada hal yang disembunyikan oleh Dewa, separuh hatinya masih utuh meski di satu sisi hancur. Akan tetapi, kini setelah mendengar pengakuan langsung dari pria yang begitu dicintai itu, hatinya kini seakan remuk dan hanya tersisa serpihan-serpihan saja.
"Kamu masih percaya hari gini ada pria setia?"
"Aku percaya, atau mungkin ini semacam gambling. Jika beruntung aku bisa mendapatkan pria seperti itu, tapi jika nggak ... memang sudah nggak ada pria yang setia di bumi ini setidaknya pada generasi kita."
Kilas obrolan dirinya dengan Nuke saat dia masih di luar negeri kala itu kembali terngiang. Mengingat itu, Karina hanya bisa menarik singkat sisi kanan bibirnya. Perih memang menyadari jika ternyata memang apa yang dikatakan Nuke benar adanya. Jika pun ada mungkin bukan untuk dirinya.
Perlahan kembali dadanya terasa sesak. Nyeri kembali menusuk-nusuk hatinya dan lagi-lagi air mata tak lagi bisa diajak kompromi. Karina tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika pada akhirnya semua impiannya harus hancur.
"Karina, please, maafkan aku, please bantu aku."
"Bantu apa? Apa lagi yang kamu mau, Dewa! Apa kamu ingin aku membantu untuk membuka pintu hubunganmu dengan Gendhis? Iya?" Karina menatap Dewa sejenak kemudian membuang pandangannya ke luar. "Kamu pikir aku perempuan seperti apa, Dewa? Aku bahkan sebelum semuanya terjadi, pernah merasa beruntung memilikimu," tuturnya dengan suara hampir tak terdengar.
Dewa membuang napas perlahan.
"Kita minggir dulu," ujarnya sembari menepikan mobil.
Setelah Dewa mematikan mesin mobilnya, dia menoleh ke Karina. Pria itu menatap lekat seperti mencoba mengumpulkan semua kenangan dan harapan yang perlahan terberai. Karina, perempuan cerdas dan cantik itu dulu begitu kuat memikatnya.
Bertahun-tahun menunggu hanya bermodal kepercayaan, bukan sesuatu yang mudah. Namun, kini setelah dia datang kembali, bukankah dirinya harus gembira? Bukankah dirinya harus segera meresmikan hubungan mereka agar dia dan Karina bisa mengarungi hidup bersama selamanya?
Meski ragu, Dewa memiringkan tubuhnya menghadap Karina dan mencoba meraih jemarinya, tetapi tentu saja bisa ditebak oleh pria itu. Karina justru menepis tangannya.
"Karina, dengarkan aku," titahnya sembari kembali mencoba meraih tangan Karina.
Dewa menggeleng seolah mengumpulkan energi dan kalimat agar perempuan di depannya itu mau mendengar ucapannya.
"Aku harap apa yang aku rasakan ke Gendhis itu hanya sesaat. Aku ... aku tahu aku salah. Aku tahu mungkin kamu akan kesulitan untuk memaafkan aku, tapi aku mohon bantu aku dengan berhenti mencari tahu apa yang terjadi. Karena aku juga tidak ingin membuatmu terluka, Karina."
Tangis Karina pecah. Sedemikian besar halangan yang dirasakan saat hampir saja dia dan Dewa berada di gerbang pernikahan.
"Apa dia tahu kamu mencintainya?" Karina bertanya tanpa menatap.
Dewa menghela napas lega saat mendengar suara Karina.
"Nggak. Dia nggak tahu dan aku berharap akan selamanya begitu."
"Kamu yakin?" Karina membiarkan tangannya digenggam oleh Dewa.
"Harus yakin karena aku ...."
"Aku yang nggak yakin, Dewa!"
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top