SKSB 38


"Kenapa?" Selidik sang papa.

"Secepat itu?"

"Kamu nggak happy? Atau ...."

"Happy, Pa, tapi ...." Rega menoleh ke Gendhis di sebelahnya. Perempuan itu tersenyum malu membalas tatapan Rega. "Kita harus meminta persetujuan Gendhis dan ibunya dulu."

"Kapan Papa bisa bertemu ibumu, Gendhis?"

Kalimat papa Rega membuat jantungnya berderap lebih keras. Selama hidupnya hampir bisa dibilang dia tidak pernah merasa memiliki seorang ayah. Dan sekarang jika Hakim memanggil dirinya sebagai papa tentu sisi kanak-kanaknya menyeruak.

"Kapan pun Papa dan Ma sempat, Pa,"jawabnya dengan bergetar.

Bergetar, iya bergetar. Bagaimana tidak jika dia merasa kedua mata tajam Dewa terus memindainya. Meski mencoba abai dengan bisikan hati tentang kesungguhan perasaan yang sebenarnya dimiliki pria yang tengah duduk di samping Karina itu, tetap saja dia kembali berada dalam situasi yang tidak mudah.

"Oke, kami akan datang lusa. Bagaimana? Apa terlalu cepat?" 

"Ibu tahu kamu meragu, tapi ada kalanya kita harus mengalahkan semua keraguan itu dengan keyakinan yang kuat. Keyakinan bahwa terkadang memang apa yang kita inginkan itu bukan hal yang baik untuk kita. Karena tanpa sepengetahuan kita, Tuhan telah menyediakan hal yang lebih baik dari yang kita kira." 

Terngiang kembali ucapan sang ibu. Santi benar, dia memang masih melibatkan perasaan yang tidak pasti, yang membuat keyakinannya akan sesuatu yang sudah pasti menjadi sedikit goyah. 

"Nanti saya akan bicara ke Ibu, Pa. Dan secepatnya saya akan kabari melalui Mas Rega."

Hakim mengangguk paham. Dia lalu menatap sang istri.

"Ma, sebaiknya kamu siapkan segala sesuatunya. Entah itu menghubungi WO dan hal yang berhubungan dengan pesta."

Desi mengangguk dengan bibir melebar. 

"Mungkin terdengar terburu-buru, tapi akan lebih baik jika kalian segera menikah karena kalian sudah dewasa dan ya ... mau tunggu apa lagi?" tutur Desi dengan wajah semringah.

"Berarti, Rega lebih dulu dibanding Karina, dong, Om?" 

"Iya, lagian kenapa kalian menunda pernikahan? Mau nunggu apa lagi?" Hakim menatap Dewasa dan Karina penuh tanya.

"Dewa."

"Ya, Om?"

"Kalau kamu sudah yakin, kenapa harus ditunda? Apalagi Om dengar kisah cinta kalian itu luar biasa, jadi kenapa ditunda? Ada masalah apa?"

Karina menatap Gendhis lalu beralih ke Dewa.

"Eum ... nggak ada masalah, Om. Cuma memang belakangan ini agak sibuk dengan kerjaan."

Karina tersenyum tipis. Selama ini dia memang memutuskan untuk diam meski sebenarnya dia tahu ada hal yang tak biasa pada Dewa. Semenjak dia tahu Dewa dekat dengan Gendhis, sejak itu pula pikirannya tidak pernah bisa berhenti untuk memikirkan nasib kelanjutan hubungannya.

Meski upayanya memindahkan Gendhis ke kota lain sudah dilakukan, tetapi tetap saja Karina merasa hati Dewa sudah tak lagi seperti yang dia kenal jauh sebelumnya.

"Oh begitu, tapi ada baiknya setelah Rega segera dilangsungkan pernikahan kalian, sebelum Om dan Tante kembali ke Singapura untuk waktu yang lama."

"Iya, Om. Kami pasti segera menyusul Rega dan ... Gendhis." Mata Dewa kembali menelisik perempuan yang pada akhirnya dia tak mampu mendustai perasaannya lagi.

"Oke! Kalau begitu sekarang sebaiknya kita menikmati hidangan yang sudah disediakan. Ayo, Rega, Gendhis, kita semua ke halaman samping!" ajak Hakim sembari beranjak dari duduk.

Rega dan semua yang ada di ruangan itu berdiri mengikuti tuan rumah menuju halaman samping. Tenda putih berukuran sedang menanungi meja besar berisi aneka hidangan. Tak jauh dari tempat itu terlihat kolam renang besar mengingatkan dia pada Rezki.

 Tampak pula di sudut lain, ada dua orang yang tengah memainkan biola mengiringi acara makan-makan mereka. 

"Kamu suka makan apa?" Suara Rega menyudahi aktivitasnya mengamati setiap sudut halaman samping itu.

"Apa aja, Mas. Aku penyuka semua makanan, tanpa terkecuali," jawab Gendhis sembari memamerkan deretan gigi putihnya.

"Good! Aku juga, eum, kamu suka bistik?"

"Suka!"

"Nah, bistik ini menu andalan restoran yang sengaja dipesan Mama. Karena Mama juga suka menu ini." Rega mengambil piring dan menyodorkan ke Gendhis. "Kamu mau coba?"

Perempuan yang mengenakan rok model knife pleast berwarna metalik dengan atasan blouse putih itu mengangguk. Meski sedikit merasa canggung, tetapi perlakuan keluarga besar Rega membuat dia bisa menyesuaikan diri. 

"Enak?"

"Enak, Mas. Pantas Mama suka," jawabnya setelah mereka berdua menikmati bistik yang direkomendasikan oleh Rega.

Sementara di tempat lain, Karina dan Dewa juga tengah menikmati hidangan yang disuguhkan. Akan tetapi, meski samar, tampak Dewa tidak begitu menikmati kebersamaan mereka.

"Dewa."

"Ya?"

"Aku tahu kamu tidak bisa melepas Gendhis begitu saja, 'kan? Aku tahu kamu jatuh cinta padanya, 'kan?"

Dewa meletakkan minuman dingin yang baru saja hendak dia teguk.

"Karina, please, jangan mulai lagi. Aku sedang tidak ingin bicara soal itu."

"Tapi ini penting dan perlu dibicarakan, Dewa!"

"Pelankan suaramu, aku nggak mau masalah ini didengar oleh mereka."

"Oke, berarti benar apa yang aku duga, 'kan? Kamu mencintainya, 'kan, Wa?"

Dewa mengembuskan napas perlahan, Karina berhasil menjebaknya dengan pertanyaan barusan. Tanpa menjawab, dia bangkit lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara Karina terlihat cemas, dia pun cepat mengikuti Dewa.

"Dewa, tunggu! Kamu mau ke mana?" panggilnya sedikit berlari mendekat.

"Dewa, tunggu! Kamu nggak bisa langsung pergi begitu aja dong!" 

Pria yang terlihat sedang tidak baik-baik saja itu membalikkan tubuhnya.

"Aku sudah bilang, berhenti membahas hal itu, tapi kamu sama sekali nggak mengindahkan."

"Maaf," tutur Karina lirih sembari menunduk menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. "Kamu nggak mengerti perasaanku, Dewa. Aku diam selama ini karena aku memang sedang memberi waktu untuk melihat perubahanmu. Untuk melihat seberapa kuat perasaanmu padaku," ungkapnya dengan suara yang mulai bergetar.

Dewa memijit pelipisnya lalu menggandeng tangan Karina menjauh keluar dari kediaman Rega.

"Kita bicara di tempat lain. Ayo ke mobil!" titahnya.

**

Dewa mengembuskan napas perlahan kemudian menatap Karina.

"Aku boleh jujur?"

Perempuan berambut curly itu mengangguk pelan tanpa menoleh. 

"Tapi aku minta, kita bicara sebagai dua orang dewasa yang menginginkan ketenangan, oke?"

Kembali Karina mengangguk.

"Kamu benar," tuturnya singkat dengan mata menatap lurus ke depan.

"Be ... nar? Benar tentang ...."

Dewa mengambil napas dalam-dalam sembari memiringkan tubuhnya menghadap Karina.

"Iya. Apa yang kamu pikirkan itu yang sebenarnya terjadi."

Tangis Karina pecah. Meski sudah memiliki kecurigaan tentang hal yang sebenarnya, tetapi dia tak pernah menduga akan mendengar penuturan jujur dari Dewa. Semua impian dan harapan mendadak musnah luluh lantak begitu saja. Hatinya seperti disayat sembilu yang membuat seluruh persendiannya melemah.

"Maafkan aku, Karina, tapi aku ...."

Mata Dewa membulat melihat paras perempuan disampingnya itu menjadi seputih kapas hingga akhirnya melemas.

"Karina, Karina! Bangun, Karina. Kamu kenapa?"

**

Dobel update, semoga suka yaa.

Terima kasih 🫰😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top