SKSB 35
Suara yang tak asing membuatnya menoleh. Desir itu kembali hadir, bahkan sekarang semakin tidak beraturan. Dewa terlihat sangat tampan dengan kaus olahraga membungkus tubuhnya dan tampak peluh di dahi yang membuat dirinya semakin seksi.
Sadar pikirannya berkelana, Gendhis menarik bibirnya lebar.
"Mas Dewa? Eum ... Mas Dewa ,kok, di sini?"
Mendengar pertanyaan Gendhis, Dewa menautkan alisnya dan tertawa kecil.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku kenapa kamu balik bertanya?"
Kembali dia menarik kedua sudut bibir. Meski Gendhis mencoba berusaha setenang mungkin, tetapi tetap saja seluruh tubuhnya tak bisa diajak kompromi.
"Iya, saya ... saya di sini sama ...."
"Sama siapa?" Dewa terlihat penasaran, dia ikut menelisik sekeliling seperti yang dilakukan Gendhis.
"Sama teman. Teman kerja saya," jawabnya saat tak berhasil menemukan sosok Linda.
Dewa mengangguk samar.
"Mas Dewa sama ...."
"Teman," potongnya cepat.
Sejenak mereka saling diam.
"Eum, Mas Dewa mau cobain kue ini? Ini enak deh!" Gendhis memecah ketegangannya.
Bagaimana hatinya tidak tidak bergemuruh. Jika Dewa berdiri sangat dekat di sebelahnya. Aroma parfum pria itu mengingatkannya pada saat mereka berdua di kamar beberapa waktu lalu ketika dia diajak Dewa untuk hadir reuni.
Pria beralis tebal itu menyipitkan matanya.
"Kue apa itu? Aku belum pernah coba sih!"
"Ini namanya kue talam abon, kue ini kesukaan Ibu.
"Oh ya?"
Gendhis mengangguk sembari menyodorkan satu potong kue bertabur abon tersebut.
"Oke, aku coba ya?"
Memamerkan dekik di pipi, Gendhis mengangguk.
"Gimana, enak? Mas Dewa suka?"
"Enak! Aku suka. Rasanya gurih!" Dewa lalu kembali memasukkan setengah dari gigitannya kembali ke mulut.
Gendhis tersenyum tipis menatap pria di sebelahnya. Sejenak dia lupa jika Dewa sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan.
Dia pun seakan lupa pada keinginan untuk melenyapkan perasaan indah yang tak bisa hilang dari hatinya itu. Dunianya terasa berhenti ketika menatap sepasang mata tajam, tetapi telah mampu meruntuhkan tembok kokoh yang dia bangun.
"Eum, Mas Dewa."
"Ya?"
"Itu, maaf ada yang ketinggalan." Dia menunjuk ujung bibirnya berharap Dewa paham jika ada sedikit sisa kue yang tertinggal di sana.
"Apa? Apa yang ketinggalan?" Dewa mengernyit sembari mengikuti apa yang dimaksud Gendhis, tetapi sisa kue itu masih ada di sana.
"Sebentar, maaf, ya, Mas."
Setelah kembali mengucap maaf, Gendhis mengulurkan tangannya ke arah sisa kue yang ada di sudut bibir pria itu. Kali ini mata mereka saling mengunci.
Baik Dewa maupun Gendhis tak bisa melepaskan pandangan, hingga tepukan tangan Linda di bahu Gendhis menyudahi semuanya.
"Sori, Dis! Kamu nyariin aku, ya? Maaf, ya. Aku tadi ketemu teman. Jadi dia itu dulu tinggal di kost-an kita, terus pindah gitu. Eh lama nggak ketemu ternyata dia udah nikah!" paparnya tanpa diminta. Linda tak menyadari jika kehadirannya telah menghentikan dua hati yang tengah saling berdialog.
"Eum ... Lin, kenalin ini, Mas Dewa."
"Oh, hai, Linda." Dia mengulurkan tangan sembari tersenyum.
"Dewa."
"Oke, Dis, aku lanjut dulu."
"Iya, Mas."
Pria bertubuh tinggi itu membalikkan badan meninggalkan mereka berdua.
"Dia siapa, Dis? Kok kamu bisa kenal sama cowok-cowok ganteng gitu sih?" tanya Linda setelah Dewa menghilang dari pandangan.
Gendhis tertawa kecil mendengar pertanyaan Linda.
"Seriusan, Dis. Dia siapa?"
"Dia calon suami bos kita."
"What? Maksudmu, calon suami Mbak Karina?"
Gendhis mengangguk. Dia tampak menyerahkan sejumlah uang kepada penjual kue di depannya sembari mengucapkan terima kasih.
"Tapi, Dis ... kok bisa kenal sama kamu? Eum, kalian sepertinya ...."
Linda tak meneruskan kalimatnya. Pikirannya mulai berkelana mencoba menyusun dan menduga-duga.
"Kita ke sana yuk, Lin!"
Linda mengangguk. Mereka berdua melangkah menuju sebuah pohon yang di bawahnya terdapat bangku kayu.
"Dis."
"Ya?"
"Kamu belum jawab pertanyaanku."
"Pertanyaan yang mana?" Gendhis lebih dahulu sampai dan menghenyakkan tubuhnya di bangku panjang tersebut.
"Kok kamu bisa kenal sama calon suami Mbak Karina?" Linda terlihat penasaran.
"Dia dulu bosku, sebelum aku kerja di kantor Mbak Karina."
"Bos?"
"He emh," sahutnya sembari mengunyah kue lapis.
"Hanya sebatas bos dan karyawan?"
"Iya. Kenapa emang?" Gendhis berusaha bersikap biasa. Andai Linda tahu, sampai saat detik ini pun debar dadanya masih riuh bertalu.
Bibir Linda mengerucut, sambil meneguk jus jeruk, dia menatap intens pada Gendhis.
"Ya nggak apa-apa, sih, tapi kamu ngerasa ada yang beda nggak sih, Dis?"
"Beda? Apanya yang beda?"
"Tatapannya. Tatapannya ke kamu itu beda, tahu nggak!" Linda mencoba mengulik lebih dalam.
"Dan kamu ... kamu ...."
"Aku kenapa?" Kali ini dia menoleh membalas tatapan Linda.
"Jangan bilang kamu sedang berusaha menyimpan rahasia dariku, Dis."
"Rahasia apa, Linda. Udah ah! Nggak usah ngaco!" Dia menggeleng sembari mengibaskan tangan. "Mending kamu makan nih kue!"
Sambil mengedikkan bahu, Linda tersenyum. Dia bukan anak kemarin sore yang tidak tahu gesture seseorang yang sedang menyembunyikan perasaannya.
"Dis."
"Ya?"
"Aku boleh kasi saran nggak?"
"Saran apa?"
"Boleh nggak?"
Tersenyum tipis, dia mengangguk.
"Tapi aku minta maaf sebelumnya."
"Apaan? Kamu mau kasi saran apa?"
Linda menarik napas dalam-dalam.
"Mending kamu jalan sama Mas Rega yang jelas-jelas jomlo, dibanding mengagumi calon suami Mbak Karina."
Gendhis tersedak, dia meraih gelas berisi air mineral kali meneguk perlahan.
"Sori. Ucapanku barusan menyinggung perasaanmu, ya?" Linda merasa bersalah.
"Tapi jujur, Dis, aku tadi bersandiwara," imbuhnya.
"Bersandiwara? Maksud kamu?"
"Maaf banget, tapi aku tadi lihat dari jauh interaksi kalian berdua itu seperti ...." Tatapan Linda tampak ragu. "Seperti sepasang kekasih yang memendam rindu. Aku nggak pernah melihat kamu sebahagia tadi sebelumnya. Bahkan saat bersama Mas Rega."
Gendhis terpojok, dia tidak mungkin mengelak karena biar bagaimanapun apa yang diucapkan Linda itu memang benar meski yang terjadi tadi bukan sebuah kesengajaan, tetapi interaksi mereka memang seharusnya tidak terjadi.
"Kamu diam? Itu artinya memang terjadi sesuatu pada perasaanmu, Gendhis."
Memejamkan mata sejenak, Gendhis kembali meneguk sisa air mineral di depannya.
"Apa kalian saling mencintai?" Pertanyaan hati-hati dari Linda membuat Gendhis menarik napas dalam-dalam.
"Nggak, Lin. Nggak!"
"Nggak? Kamu yakin?"
"Yakin! Aku nggak ada perasaan apa pun padanya. Jadi apa yang kamu simpulkan itu salah. Dan yang kamu lihat itu juga hanya ketidaksengajaan," elaknya.
Meski dia bisa merasakan jika bibir dan hari Gendhis berlawanan, Linda terlihat mencoba tersenyum.
"Syukurlah. Setidaknya apa yang aku khawatirkan tidak terjadi padamu. Karena biar bagaimanapun kamu sudah tahu kalau cowok itu milik Mbak Karina, dan you know apa yang tersemat padamu jika ternyata kamu benar-benar melakukan apa yang aku pikirkan, 'kan?"
Gendhis mengangguk paham.
"Aku tahu, Linda. Percayalah, aku nggak seperti itu." Gendhis meyakinkan sembari menarik napas dalam-dalam.
'Linda benar. Sama seperti nasihat Ibu. Tentu aku akan di-cap sebagai perempuan perebut kekasih orang, meski pada kenyataannya aku hanya jatuh cinta sepihak. Tuhan ... jauhkan perasaan ini sejauh-jauhnya. Izinkan aku bahagia dengan apa yang seharusnya kumiliki dan bukan milik orang lain.' Gendhis membatin.
**
"Sial, Rob!"
"Apanya yang sial?"
"Gue nggak bisa lupa!"
"Lupa apa?"
"Otak gue seperti nggak bisa membiarkan bayangan Gendhis begitu aja!"
Robi menepuk dahinya. Bagi saja bertemu hari ini untuk membicarakan bisnis mereka, tetapi Dewa justru membuka pembicaraan tentang asmaranya.
"Gue nggak mau ikutan, Wa! Masalah lo itu datang dari lo sendiri. Jadi ... lo kudu tegas!"
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top