SKSB 34
Gendhis menguncir kuda rambutnya. Pagi ini dia bermaksud hendak ikut bersama Linda rekan kerjanya untuk menikmati car free day di pusat kota. Mengenakan kaus olahraga dan celana panjang serta sepatu kets tak lupa topi, Gendhis terlihat sangat manis.
"Pantes, nggak heran aku, Dis!" celoteh Linda saat melihat Gendhis keluar dari kamar kostnya.
Linda adalah rekan Gendhis yang juga kost di tempat yang sama.
"Kenapa, Lin?"
"Ya nggak heranlah kenapa Mas Rega jadi sering berkunjung ke sini," jawabnya sambil tersenyum lebar.
"Kenapa emang?" Gendhis menyipit menatap Linda.
"Ada yang didatengin sih, secara yang didatengin manisnya nggak ketulungan gini!" goda Linda dengan tawa berderai karena berhasil membuat rekannya tersipu.
"Bisa aja kamu! Udah ah! Ayo, nanti keburu siang nggak asyik!"
"Oke!"
Mereka berdua masing-masing naik sepeda yang memang disediakan oleh pemilik kost.
"Gendhis."
"Ya?"
"Aku rasa Mas Rega lagi deketin kamu deh!"
"Nggak usah ngarang!"
Gendhis mengayuh sepedanya beriringan dengan Linda.
"Dih siapa yang ngarang, aku serius, Dis!"
Gendhis tak menyahut, dia hanya menarik kedua sudut bibirnya. Rega, pria berkulit bersih dan selalu tampil rapi itu memang belakangan ini semakin sering menghubunginya baik telepon atau sekadar mengirim pesan. Meski begitu, Gendhis tidak pernah berpikir terlalu jauh dengan apa yang dilakukan Rega akhir-akhir ini.
Karena kedekatannya dengan pria itu untuk saat ini masih sebatas karyawan dan atasan. Terlebih sekarang dia memang tengah menjajal tawaran Rega untuk bekerja sama membuka koffe shop di tempat ini.
Terlalu banyak peristiwa yang menjadikan dirinya untuk kembali lebih berhati-hati. Cukup kesalahan yang lalu menjadi catatan baginya supaya tidak salah dalam meletakkan hati dan harapan.
Akhirnya mereka sampai di lokasi car free day. Jogging sambil menikmati udara pagi adalah pengalaman pertama yang dilakukan Gendhis di kota ini. Perlahan dia mulai memahami apa yang diucapkan Rega.
"Aku jamin kamu akan betah di sini, Dis. Meski kota kecil, tetapi sudah sangat kekinian dan yang paling penting, keramahan warganya tidak berubah sejak dulu!"
Mereka kalau memarkir sepeda di tempat yang sudah disediakan untuk kemudian berlari kecil memulai aktivitas pagi mereka.
"Dis."
"Ya?"
"Kemarin ada yang nanyain soal kamu." Linda membuka pembicaraan sembari berlari.
"Nanyain aku? Kapan?"
"Sabtu sebelum kantor tutup. Kamu Sabtu kemarin kalau nggak salah ada meeting dengan klien di luar kantor, 'kan?"
Gendhis mengangguk, menoleh menatap Linda.
"Siapa yang nyari aku, Lin?"
Linda mengedikkan bahu.
"Aku nggak tahu, tapi kata security, laki-laki, sih!"
"Laki-laki?"
"Iya."
Gendhis menghentikan langkah dan mulai mengira-ngira.
"Dis? Kenapa? Kamu kenal sama laki-laki yang nanyain kamu?" Linda ikut berhenti. "Jangan bilang itu pacarmu, Dis!"
"Security bilang nggak siapa namanya?"
Linda tampak berpikir sejenak lalu menggeleng.
"Aku nggak tahu, coba besok kamu tanya ke Pak Ponco!"
Gendhis mengangguk samar. Otaknya mulai berpikir dan mencoba menebak siapa pria yang bertanya tentang dirinya itu.
"Kenapa, Dis? Kok kamu jadi kepikiran gitu? Apa dia benar pacarmu? Ah iya, atau jangan-jangan mantan pacar ya?"
"Bukan, eh maksudnya aku nggak tahu siapa yang nyariin aku. Eum, apa Pak Ponco mengatakan padamu ciri-cirinya?" Gendhis penasaran.
Linda menggeleng cepat.
"Nggak, Dis. Sori ya, kemarin aku juga keburu-buru pulang, jadi nggak hanya apa-apa ke Pak Ponco."
"Oke nggak apa-apa. Kita lanjut lari yuk!" ajak Gendhis sembari merapikan topinya.
**
[Bagus nggak, Sayang?] Karina mengirim desain foto undangan pernikahan mereka.
[Bagus.]
[Bagus aja? Kamu nggak komentar atau tanya siapa yang mendesain?]
[Aku tahu ini desainmu.] Dewa terlihat enggan menanggapi.
[Dewa, kapan pulang? Meski masih dua bulan lagi acara kita, tapi kita harus ketemu sama WO-nya, loh, Wa.]
[Iya, nanti kalau udah selesai urusan, aku segera balik. Kamu temui mereka sendiri aja nggak apa-apa, 'kan?]
[Nggak mau! Aku maunya sama kamu!]
Dewa memijit pelipisnya. Pikirannya semakin menjadi ketika Karina setuju acara diundur, tapi hanya satu atau dua bulan saja. Alasan pekerjaan adalah hal yang paling masuk akal dan bisa diterima oleh Karina dan keluarganya.
"Kamu pikir aku apaan, Wa? Atau jangan-jangan kamu memang nggak cinta lagi sama aku? Kalau nggak cinta, untuk apa semua yang pernah kita lakukan? Untuk apa kamu menunggu? Untuk apa aku bertahan? Kamu jahat, Dewa!"
"Oke, ditunda, tapi hanya satu bulan sampai dia bulan!"
Demikian tanggapan Karina kala itu, hingga akhirnya meski sangat emosional, Karina setuju meski mungkin akan ada cerita berbeda lagi di kemudian hari.
[Dewa, sebenarnya aku mau bicara banyak sama kamu, tapi kita harus ketemu.] Kembali pesan Karina masuk.
Membaca kalimat serius dari Karina, mata Dewa menyipit. Kekasihnya itu jarang sekali menuliskan hal serius seperti ini. Karena mereka jika berkirim pesan, lebih sering bercanda atau sekadar bertanya kabar satu sama lain.
[Bicara apa? Sepertinya serius?]
[Kita harus ketemu dan membicarakan hal yang seharusnya dibicarakan, Wa. Jujur ini tentang kita.]
Menarik napas dalam-dalam, Dewa kembali memijit pelipis. Dia tahu Karina menaruh curiga sejak kedapatan dirinya bersama Gendhis. Biar bagaimanapun alasan dia ungkap, tetap saja calon istrinya itu tidak percaya.
[Okelah, terserah kamu aja. Nanti aku kabari kalau udah mau balik. See you, Karina.]
Pesan berakhir, ponsel kembali diletakkan ke meja oleh Dewa. Pria itu bangkit dari duduk bermaksud hendak ke kamar mandi, tetapi ponselnya berdering.
"Halo, Do? Kenapa?"
"Nggak apa-apa, Pak. Bapak kemarin katanya mau ke car free day, kan? Sekalian mau kulineran dan melihat lokasi perumahan yang akan dibangun. Maaf, apa Bapak lupa?"
Kalimat Edo, anak buahnya yang memang asli lahir di kota ini, membuatnya menepuk dahi.
"Sori sori, aku lupa. Oke, kamu sekarang di mana?"
"Saya di lobi, Pak."
"Baik, lima belas menit lagi saya turun. Tunggu!"
"Baik, Pak."
**
Gendhis dan Linda tengah menikmati jajanan pasar yang digelar tak jauh dari lokasi car free day. Melihat aneka kue tradisional, ingatannya melayang ke sang ibu.
"Ibu aku suka banget kue-kue tradisional, Lin."
"Oh ya? Orang dulu sih paling jago kalau bikin kue-kue kayak gini, Dis!"
"Hu umh!"
Dia mengambil kue talam yang di atasnya bertabur abon.
"Kue itu bertekstur lentur dan lengket ini konon memiliki filosofi mengenai hubungan antar manusia yang penuh kekentalan dan kekerabatan," terangnya sembari memasukkan ke kotak kue yang disediakan.
"Hmm, kamu tahu dari mana filosofi itu?"
"Ibuku."
Rekannya itu mengangguk paham.
"Ini juga enak, Dis!" Linda menyodorkan kue berbungkus daun pisang.
"Lemper?"
Rekannya itu mengangguk.
"Aku sepakat kalau itu enak!"
"Aku masukkan juga, ya."
"Masukkan aja. Asal nanti kemakan semua!"
"Beres kalau soal itu sih!" Perempuan bertubuh sedikit subur itu menjentikkan jarinya.
Kembali mereka memilih aneka kue tradisional, hingga tanpa disadari baik oleh Gendhis maupun Linda, mereka sudah terpisah. Linda terlihat tengil merasa di bagian minuman, sementara Gendhis masih setia memilih aneka kue.
"Kamu di sini juga?" Suara seseorang yang tiba-tiba muncul di sebelahnya membuat Gendhis mengurungkan niat untuk memasukkan dua kue ke dalam kotak.
**
Happy Friday everyone
Jadii ... apakah pria yang datang itu Dewa?
**
Semoga kita selalu diberi kesehatan yaa.
Love you all 🤍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top