SKSB 33

Rega mengajak Gendhis duduk di kursi taman dekat dengan air mancur. Menikmati Sabtu malam yang sudah pasti banyak pasangan muda-mudi yang menghabiskan malam itu.

"Kamu suka itu?" Rega menunjuk ke penjual permen kapas berwarna-warni.

Gendhis tersipu, tak menyangka jika ternyata pria di sebelahnya itu bisa membaca pikirannya. Dia memang menggemari makanan manis itu. Sama seperti Rezki, bahkan terkadang dia berebut makanan yang terbuat dari gula itu bersama keponakannya.

"Ayolah, nggak usah malu. Aku juga suka, kok!"

"Serius? Mas Rega suka?"

"Serius dong! Kenapa? Heran?"

Senyum lebar tercetak di bibirnya, sembari menggeleng dia berkata, "Saya pikir cuma saya orang dewasa yang menyukai permen itu."

Rega tersenyum.

"Ada banyak yang suka, bukan cuma kamu. Eum, kamu mau warna apa?"

"Pink, deh!"

"Sudah kuduga."

Tawa mereka berderai. "Kenapa hampir semua perempuan suka warna itu? Dan warna pink selalu identik dengan kaum hawa?"

Gendhis merapikan rambutnya yang tertiup angin. 

"Entahlah, mungkin karena perempuan itu suka hal-hal yang berbau roman, lembut, dan itu diwakili dengan warna merah muda."

Rega mengangguk sembari menautkan alis. 

"Oke, kamu tunggu di sini ya. Aku yang beli." Pria itu bangkit dari duduk.

"Eum, Mas Rega!" Gendhis ikut bangkit.

"Ya?"

"Aku ikut!"

"Ikut?"

"Hu umh! Nggak enak bengong sendirian."

Pria berhidung mancung itu tertawa kecil lalu mengangguk.

"Ayo!"

Setelah mendapatkan apa yang dimau, keduanya kembali ke tempat semula. Beruntung bangku itu masih kosong.

"Mas Re sepertinya sangat hafal dengan kota ini. Bukannya Mas Re jarang tinggal di Indonesia?" Gendhis membuka pembicaraan di tengah-tengah keduanya menikmati permen kapas.

Rega menoleh menatap sejenak lalu kembali mengalihkan pandangannya ke orang-orang yang lalu lalang.

"Kamu sepertinya sudah tahu aku?" Dia tersenyum lebar.

"Oh, nggak bukan begitu, maksud saya ...."

"Hei! It's okey! Kalau kamu tahu aku itu artinya aku cukup dikenal. Sama sekali bukan suatu kesalahan," selanya saat mendengar  nada suara Gendhis yang seolah merasa bersalah.

"Saya dengar dari teman di kantor, soal itu, Mas."

Rega mengangguk. 

"Ini kota kelahiran ibuku, dan memang sangat banyak kenangan yang aku nggak bisa urai satu per satu. Ya mungkin seperti inilah caraku mengenang setiap sudut kotanya," jelas Rega dengan mata menerawang.

Kota ini memang bukan kota besar, tetapi sebagai daerah tingkat dua kabupaten, perkembangannya memang sangat cepat. Mungkin karena wilayahnya tidak begitu jauh dengan ibukota provinsi.

"Ibuku sudah dipanggil pulang sama Tuhan menyusul Ayah," imbuhnya lirih.

Mendengar penjelasan Rega, mendadak hari Gendhis larut dalam suasana sedih yang terlihat pada ungkapan pria berambut tebal itu.

"Maaf, Mas. Maaf kalau saya ...."

"Nggak apa-apa. Nggak ada yang perlu dimaafkan. Itu tadi sekelumit kisahku, dan ... soal aku sering ke luar negeri itu karena aku harus menjalankan bisnis kedua orang tua angkatku."

Gendhis sama sekali tidak menyangka jika pria di sampingnya itu ternyata memiliki kisah hidup yang tak mudah. Mungkin sebagian orang menganggap jika Rega sangat beruntung di hidupnya. Masih muda sudah meraup keberuntungan berupa hidup mapan, kekayaan, dan tentu saja dikelilingi oleh banyak perempuan yang mencoba mendekat.

 Untuk yang terakhir itu lagi-lagi dia mendengar dari rekan kerjanya. Menurut mereka Rega adalah pria yang sulit didekati, meski dia sangat ramah, tetapi untuk urusan pendamping atau kekasih sepertinya Rega masih belum memastikan siapa calon pendampingnya kelak.

"Nah kebetulan orang tua angkatku itu bersaudara dengan orang tua Karina, ya jadi begitu ceritanya," pungkasnya lalu kembali menikmati permen kapas yang sisa separuh.

Gendhis mengangguk paham.

"Oh iya, kamu sendiri? Aku dengar pernah kerja di kafe milik Dewa? Betul?"

"Iya, Mas."

"Dan kamu punya keahlian meracik kopi. Itu yang aku baca dari cv-mu waktu itu."

"Bukan ahli, hanya kebetulan saya bisa."

"Kebetulan bisa, itu berarti kamu punya bakat, itu keren!"

"Jadi kapan kamu punya waktu untuk meracik kopi buatku?" tanyanya.

Gendhis menyipit memindai paras Rega.

"Mas Re suka kopi?"

"Suka. Kenapa?"

"Karena saya hampir tidak pernah melihat Mas Re minum kopi. Jarang."

"Aku suka kopi macchiato, americano juga enak. Tapi aku lebih suka macchiato." Pria berhidung mancung itu mengusap tengkuknya.

"Kenapa aku terlihat tidak pernah minum kopi karena kopi yang kusuka memang butuh orang yang paham, jadi kalau mau minum kopi, aku lari ke koffe shop," jelasnya sembari memamerkan deretan gigi yang putih.

"Macchiato itu dapat menjadi kopi penambah energi saat sudah mulai mengantuk di siang atau sore hari. Dan aku hampir setiap siang atau sore kadang  sampai malam sering menghabiskan waktu di koffe shop di mana pun aku singgah."

Bibir Gendhis melebar, baru kali ini dia menemukan pria yang memiliki pengetahuan lumayan tentang kopi. 

"Kenapa selera kita sama, Mas? Saya juga suka macchiato. Eum ... suka dikasi sirup karamel juga nggak?"

"Sure! Biar rasanya jadi lebih sedikit ada rasa manis dan lezat!" jawab Rega. "Jadi kamu suka macchiato juga?"

"He emh, Mas."

Rega tertawa kecil. "Oke, kalau begitu ... next bisa kali ya kita ngopi bareng, atau ...."

"Atau?"

"Ada bagusnya kalau kita buka koffe shop di kota ini dan ... kamu jadi penanggung jawabnya!"

"What? Saya, Mas?"

"Iya, kenapa? Aku akan cari lokasi yang bagus, kita akan diskusi seperti apa konsepnya dan kita mulai kerja sama. Gimana?"

Tawaran yang sangat bagus sekaligus tidak pernah dia sangka. Sejenak Gendhis membayangkan jika hal ini terwujud, dia akan lebih leluasa dan bisa memboyong ibu serta Rezki pindah ke kota ini.

"Yah, malah ngelamun! Gimana? Oke?"

"Tapi kerjaan saya di ...."

"Kamu bukan pekerja di koffe shop nanti. Kamu penanggung jawab dan hanya memonitor pekerjaan karyawan. Itu saja. Jadi kamu nggak perlu memikirkan bagaimana kerjaan di tempat yang lama," jelasnya.

"Tapi ...."

"Tapi apa lagi, Mas Re?"

Rega tergelak.

"Bukan apa-apa, tapi aku harus mencicipi terlebih dahulu macchiato buatanmu secepatnya!"

Gendhis ikut tertawa. Dia lalu menyanggupi permintaan Rega. 

"Oke, Mas Re atur aja kapan Mas Re mau nyobain kopi racikan saya."

Keduanya lalu kembali menikmati malam yang kian merangkak.

**

"Kusut banget itu muka, Wa!" protes Robi saat melakukan video call.

"Ck! Ngapain sih lo pake segala video call?" keluhnya sembari mengusap kedua mata yang baru saja bisa terpejam.

"Lo kudu balik ke sini segera, Dewa! Ada banyak jadwal meeting sama beberapa klien yang gue nggak mungkin handle sendiri."

"Lo bisa libatkan Nino, Rob! Lagian urusan Lo, kan sama Sari, Rob!"

"Iya, tapi Sari butuh orang yang bisa ngasi support ke para pengrajin seperti Gendhis mensupport mereka. Kalau ngandelin Sari doang, dia nggak sanggup apalagi mereka banyak yang minta kesejahteraannya dinaikkan, Bos!"

Dewa mengacak rambutnya. Baru kali ini dia merasa bertubi-tubi dihadapkan dengan masalah. Tentu saja yang paling bikin kusut adalah masalah asmaranya yang masih belum jelas ke mana akan bermuara.

"Oke, oke. Lo bisa hubungi Nino, lo bilang turuti apa permintaan produsen, dan untuk meeting sama klien. Gue balik sore ini!"

"Good, Bos! Gue tunggu!"

"Ya!"

"Eh jangan dimatikan dulu, Bro!" cegah Robi saat Dewa hendak mengakhiri video call mereka.

"Kenapa lagi? Gue mau tidur, Rob!"

"Lo jadinya gimana?"

"Jadi apa?"

"Karina. Jadi sama dia, 'kan?"

Membuang napas kasar, Dewa menggerutu, "Ck! Jangan makin bikin gue pusing, Rob! Udah ah! Gue mau lanjut tidur!"

Akhirnya Dewa mengakhiri obrolan mereka, lalu kembali merebahkan tubuh di ranjang. Matanya menerawang, kabar dari Robi soal meeting dan permintaan produsen tidak menjadi hal yang terlalu mengganggu, tetapi pertanyaan Robi sebelum obrolan berakhir yang membuat dirinya kembali dihantui rasa cemburu yang tiba-tiba menyeruak.

 Bayangan kedekatan Rega dan Gendhis telah berhasil membuat dia tidak bisa tidur hingga pagi

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top