SKSB 32
Ini pertama kalinya Gendhis menghadiri pesta pernikahan berdua. Berjalan di samping Rega. Pria bertubuh atletis, berhidung mancung, dan memiliki pribadi yang hangat membuat dirinya merasa nyaman. Berbeda dengan Dewa, meski pria itu angkuh dan cenderung dingin, tetapi ada getar yang tak biasa setiap berdekatan dengannya.
"Tolong jangan lihat aku terus seperti itu, aku bisa ge er nanti," tuturnya bergumam tanpa menoleh.
Sadar tingkahnya diketahui Rega, paras Gendhis merona seketika. Dia tak menyangka jika Rega tahu sedang diperhatikan.
"Ayo kita masuk!" Tanpa ragu, dia meraih tangan Gendhis dan menggandeng erat memasuki gedung tempat pesta berlangsung.
Beberapa tamu terlihat memperhatikan keduanya. Bahkan mereka sempat berhenti melangkah karena harus berhadapan dengan beberapa tamu yang lain yang sepertinya sangat mengenal Rega.
"Jadi ada rencana nyusul nih?" goda seorang yang terlihat seusia dengan Rega.
Pria yang mengenakan setelan jas berwarna hitam itu tersenyum tipis sembari mengeratkan genggaman tangannya. Hal itu membuat hati Gendhis serba salah.
"Beruntung sekali kamu, Re. Cantik banget masa depanmu!" goda yang lainnya. Lagi-lagi Rega hanya tersenyum sembari mengucapkan terima kasih atas pujian-pujian yang dilontarkan.
"Kita kasi selamat dulu ke pengantinnya," bisik Rega sembari menoleh.
Gendhis mengangguk dan mereka kembali melangkahkan mengikuti antrian para tamu.
"Maafkan kalau teman-temanku membuat kami nggak nyaman," ucapnya saat mereka tak lagi diberondong dengan berbagai pertanyaan dan pernyataan.
"Nggak apa-apa, Mas."
"Thanks, Dis. Seenggaknya aku nggak lagi diledekin terlalu workaholic sampai lupa cari pasangan," jelasnya dengan tawa kecil.
Gendhis ikut tertawa, meski dia tak yakin jika pria sebaik dan setampan Rega tidak memiliki pasangan.
"Eum, Mas."
"Ya?"
"Aku nggak yakin Mas Rega belum punya pasangan."
"Sebaiknya simpan keyakinanmu itu," balasnya kali ini sembari merapikan jasnya. "Aku memang terlalu sibuk ngurusin pekerjaan, Dis." Kali ini paras Rega terlihat ada seperti bias kecewa yang enggan diungkap.
Mengangguk paham, Gendhis lalu mengedarkan pandangan. Bibirnya bergetar mengucapkan satu nama saat pindaian matanya berhenti pada sosok pria yang tengah menikmati snack yang disediakan di meja yang berjarak lima meter dari tempatnya berdiri.
Tampak Dewa tengah berbincang dengan beberapa orang yang berdiri di sekelilingnya. Sesekali juga tampak dia tertawa kecil. Tawa yang terkadang hanya bisa dia nikmati saat tiba-tiba ada rasa rindu pada pria itu.
"Mas Dewa," batinnya.
"Gendhis?"
"Eh, iya, Mas."
"Ayo! Antrian udah jalan," ajaknya tanpa melepas tangan Gendhis.
"Iya, Mas."
"Kamu kenapa?" Rega menatap sekeliling berharap mendapatkan jawaban dari kekikukan perempuan yang tengah digandengnya itu.
"Nggak apa-apa, Mas. Ayo!"
"Oke, ayo!"
Sementara di sudut lain, Dewa tersenyum hambar, saat beberapa temannya tengah asyik menggodanya soal pernikahan.
"Jadi harus ada pesta bujang, Bro! Ya nggak usah yang beralkohol, yang penting ada pelepasan gitu, Wa!" celetuk pria yang sejak tadi tak lepas dari gadgetnya.
"Usul yang bagus! Gue tungguin undangannya, Wa!" rekan yang lain tertawa sembari menepuk bahunya.
Dewa lagi-lagi hanya Bisa menarik paksa kedua sudut bibirnya. Pesta bujang? Sebelum pernikahan. Tiba-tiba muncul kelebat bayangan Karina yang belakangan ini lebih sering terlihat pendiam, sedih dan uring-uringan.
Hal itu terjadi tentu saja karena dirinya. Iya, dirinya yang membuat mood Karina menjadi buruk akhir-akhir ini. Keadaan itu pula yang menahannya untuk mengatakan hal yang sesungguhnya pada perempuan yang pernah begitu dia cintai itu.
"Jadi kenapa kamu terlihat galau, Bos?" canda rekannya sembari menyodorkan segelas minuman.
Dewa hanya menggeleng cepat lalu meneguk minuman dingin itu.
"Kamu jahat tahu, Wa!" Kalimat Karina kembali bergema di kepalanya.
Jahat? Apakah dia benar-benar jahat? Bukankah dia sedang berusaha untuk mencoba jujur dan tegas terhadap perasaannya sendiri? Bukankah jika diteruskan akan lebih menjadikan dirinya jahat? Akan tetapi, sampai detik ini pun dia masih tidak sampai hati mengatakan apa yang sebenarnya kepada Karina. Tidak dia tidak jahat, dia hanya ... harus menarik diri dan mencoba merenung di mana dia merasa nyaman dan tentu saja siapa pemilik sejati hatinya.
"Gue ke toilet dulu ya. Nanti lo kalau mau cabut tunggu gue!" Dewa menatap salah satu rekannya.
"Oke, beres!"
**
Gendhis merapikan riasan. Semenjak bekerja dan jauh dari ibunya, dia jadi lebih merias diri. Itu dilakukan karena jika ada waktu luang dirinya tak segan belajar tutorial dari YouTube. Berbeda saat di rumah, jika sedang luang, selalu ada Rezki yang manja dan memintanya untuk jalan-jalan.
Suasana riuh masih terdengar. Pesta masih berlangsung meriah. Suara penyanyi terdengar merdu mendendangkan lagi cinta yang justru menusuk di telinga Gendhis. Mood-nya berubah seketika saat dia mendapati Dewa di tempat ini. Meski begitu dia berharap pria tersebut tidak melihatnya.
[Masih lama, Dis?] Pesan masuk dari Rega.
[Sudah, Mas Re. Ini udah mau balik.]
[Oke. Kamu nggak apa-apa, 'kan?]
Pertanyaan Rega membuat alisnya bertaut.
[Nggak apa-apa, Mas. Kenapa emang?]
[Syukurlah. Nggak kenapa-kenapa. Ayo aku tunggu di tempat yang tadi ya.]
[Oke, Mas.]
Memasukkan kembali ponsel ke tas-nya, Gendhis melangkah keluar toilet. Hati kecilnya berharap Dewa tak lagi berada di sana. Karena melihatnya dari jauh saja sudah cukup membuat hatinya kembali porak-poranda.
Namun, tentu saja dia tidak bisa berbuat banyak selain berharap. Karena ternyata harapannya berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Dia melihat Dewa tengah berbincang dengan Rega dan beberapa tamu lainnya. Masing-masing dari mereka membawa pasangan, tetapi tidak dengan Dewa. Pria itu terlihat sendiri dan menikmati obrolan tersebut.
Lagi dan lagi, jantung Gendhis seperti ditabuh. Debarannya begitu kuat. Merasa tidak siap jika berhadapan langsung dengan Dewa, pelan dia melangkah mundur mencoba mencari tempat lain yang bisa menyembunyikan dirinya. Namun, terlambat! Karena mata elang pria itu sudah membidiknya dari kejauhan.
Mencoba menarik kedua sudut bibirnya, dia melangkah mendekat ke Rega yang menoleh dan melambaikan tangannya.
"Kamu ngajak Gendhis, Re?" Pertanyaan Dewa terdengar menyelidik dengan mata masih menatap Gendhis membuat Gendhis terlihat serba salah.
"Iya." Rega tersenyum meraih bahu Gendhis. Sementara yang dipeluk juga tersenyum dan berusaha menyembunyikan debar yang semakin kencang.
"Apa kabar, Gendhis?" Dewa mengulurkan tangannya.
"Baik, Mas. Kabar Mas Dewa gimana?"
"Baik. Aku baik," jawabnya kemudian memalingkan wajah ke arah lain.
"Sori, Re, kita cabut dulu ya. Ada jadwal lain." Dewa lalu menepuk bahu Rega.
"Oke, Wa. Salam buat Karina."
Tak menyahut Dewa hanya mengangguk. Dia lalu memberi isyarat kepada rekannya yang juga berada di situ untuk segera pergi.
"Gendhis, aku duluan ya," tuturnya dengan suara datar. "Selamat bersenang-senang." Suara itu di telinganya seolah sedang menyindir.
Sepeninggal Dewa dan rekannya, masih ada beberapa yang masih bersama mereka.
"Kamu mau minum?" tawar Rega dengan gelas di tangan.
"Thank you, Mas Re."
Pria berhidung mancung itu mengangguk. Dia seperti tahu suasana hati Gendhis.
"Setelah ini kita jalan-jalan ya."
"Jalan-jalan?"
"Kamu pasti belum tahu suasana malam di taman kota. Iya, 'kan?"
Perempuan berlesung pipi itu tertawa kecil sembari mengangguk. Entah kenapa, setiap kali Rega melihat tawa di bibir Gendhis, dia merasa ikut bahagia.
"Nah begitu dong! Kamu cantik kalau ketawa." Kali ini suara Rega terdengar lembut dan hangat.
Terkadang begitulah cinta, dia datang dan pergi semaunya tanpa bisa dikendalikan. Karena rasa memang semisterius itu. Dia bisa muncul untuk kemudian hilang dan bisa dengan cepat kembali hadir.
**
Double update yaa.
Semoga sukaa.
Terima kasih sudah berkunjung 🫰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top