SKSB 28


Bibir Dila mengerucut mendengar cerita Gendhis. Perempuan yang usianya sama dengan Gendhis itu terlihat ikut khawatir dengan perasaan rekannya.

"Aku yakin kamu mulai jatuh cinta ke Pak Dewa, dan ... aku curiga dia juga memiliki perasaan yang sama dengan kamu," ungkapnya lalu meneruskan suapan bakso ke mulut.

Gendhis bungkam. Seperti ini rasanya jatuh cinta. Mungkin perasaan ini bukan yang pertama, setidaknya dirinya pernah merasakan hal yang kurang lebih sama di saat sekolah dulu. Lebih tepatnya merasakan cinta monyet. Sudah lama sekali tentu, dan kemudian rasa itu kembali hadir dengan kondisi berbeda.

"Aku takut, Dila. Kamu paham, 'kan apa yang aku takutkan?"

Dila mengangguk.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?"

"Jauhi dia! Nggak ada jalan lain selain kamu menjauh dari Pak Dewa."

"Aku sudah berupaya untuk menjauh, Dila, tapi lagi-lagi aku bertemu dia."

"Itu karena kamu bekerja di kantor calon istrinya, Gendhis!" Dila kemudian meneguk air jeruk dingin miliknya.

Gendhis kembali bungkam. Saran dan alasan Dila sangat benar dan masuk akal. Bekerja di kantor milik Karina adalah salah satu yang bisa memicu pertemuan dirinya dengan Dewa. Haruskah dia keluar dari kantor itu demi menjaga hatinya? Sementara dia baru saja kerja di tempat itu dan dirinya pun merasakan nyaman bergabung di perusahaan tersebut.

"Kamu tahu, 'kan, Dila? Aku butuh pekerjaan dan baru saja kerja di tempat itu?"

Dila mengangguk.

"Apa iya aku harus resign? Padahal baru juga sebulan aku di sana? Apa kata Mbak Karina dan Mas Rega?"

Gendhis mengaduk bakso yang baru separuh masuk ke perutnya. Angin sore itu bertiup sepoi-sepoi. Mereka berdua memilih makan bakso di tempat favorit mereka yang tidak jauh dari koffe shop milik Jonathan dan Dewa.

"Rumit juga masalahmu." Dila menggumam dengan tangan menyangga dagu.

"Ibumu? Apa beliau tahu soal ini?"

"Iya."

"Lalu?"

"Ibu sudah mengingatkan supaya aku bisa jaga jarak. Karena beliau tidak mau aku dianggap sebagai perempuan pengganggu." Dia lalu menarik napas dalam-dalam. "Aku bingung, Dila."

Sejenak mereka berdua bergeming. Masing-masing dari mereka memikirkan hal yang sama. Ada hal rumit yang harus diputuskan, tetapi untuk mengambil keputusan itu pun tidak bisa dilakukan gegabah.

"Gendhis."

"Ya?"

"Kamu bilang ... kalau mereka punya beberapa kantor cabang di luar kota?"

"Iya. Kenapa?"

"Kenapa kamu nggak minta ditempatkan di luar kota aja?"

Gendhis menatap wajah rekannya sejenak lalu kembali menarik napas dalam-dalam. Ke luar kota? Itu artinya dia akan jauh dari ibu dan Rezki. Bagaimana jika mereka membutuhkan dirinya sementara dia berada di tempat lain? Apakah buleknya bisa menjadi seseorang yang bisa diandalkan saat kedua orang yang dia kasihi itu membutuhkan dirinya?

"Bisa, 'kan kamu minta pindah kantor misalnya? Atau apalah alasanmu supaya nggak lagi berkantor di tempat itu. Asal ...."

"Asal apa?"

"Ya asal Dewa nggak tahu aja, aku sih khawatirnya kalau dia tahu terus malah dia Ngajukan keberatan ke Karina atau malah nyamperin kamu ke tempat baru kamu," jelasnya seperti kehilangan cara agar Gendhis bisa menjauh dari Dewa.

"Ide kamu bagus, Dil, mungkin besok aku ngobrol sama Mas Rega soal ini, dan untuk apa yang kamu khawatirkan itu rasanya nggak bakal terjadi deh! Karena pasti Mbak Karina akan banyak bertanya jika calon suaminya kepo tentang aku."

Dila tersenyum sembari mengangguk.

"Semoga ini jalan keluar terbaik ya. Dan aku berharap semoga kamu diberi jalan supaya kerja di luar kota. Ini semua untuk kebaikanmu. Sama dengan ibumu, aku nggak mau kamu jadikan perempuan perusak hubungan orang lain."

Dila mengusap lengan Gendhis seolah memberi kekuatan untuknya.

"Makasih, Dila. Kamu sangat membantuku."

"Tapi, Dis ...."

"Apa lagi?"

Dila merapikan duduknya dengan bibir melebar seperti batu saja mendapatkan ide baru.

"Kenapa senyum-senyum gitu?" tanyanya.

"Ada cara yang paling jitu sebenarnya."

"Cara jitu? Gimana?"

"Kamu harus memiliki kekasih dan hal itu diketahui oleh Dewa. Aku yakin dengan begitu dia tidak akan lagi mendekat atau membuat modus apa pun untuk dekat padamu!"

Perempuan yang mengenakan blazer hitam itu tersenyum tipis sembari menggeleng. Lagi-lagi usulan temannya itu masuk akal, tetapi apakah semudah itu? Lagipula bagaimana dia bisa mengubah dengan cepat perasaan indah untuk Dewa yang kini justru tengah memenuhi hatinya?

"Ya aku tahu, nggak semudah itu, tapi kamu pasti bisa kalau ...." Dila menghentikan kalimatnya. Mata perempuan berponi itu berhenti di belakang Gendhis.

"Pak Dewa?" sapanya dengan bibir tertarik kaku.

Mata Gendhis membulat menatap Dila saat dia memanggil satu nama yang sejak tadi mereka bicarakan.

"Gendhis."

"Iy ... ya, Pak? Eh Mas Dewa?" Perlahan dia memutar tubuh menghadap pria yang sudah membuat hidupnya menjadi rumit belakangan ini.

"Kok Mas Dewa ada di sini?"

"Aku yang seharusnya tanya kenapa kamu ada di sini," balas pria itu. "Bukannya kamu sekarang sedang meeting sama Rega?"

"Oh iya, Mas Rega telepon kalau kita akan meeting malam nanti."

"Dari mana Mas Dewa tahu?" tanyanya heran.

"Soal itu kamu nggak perlu tahu," jawab Dewa tak acuh.

"Eum ... aku cabut ya, Dis." Dila bangkit sembari melihat arlojinya.

"Eum ... aku juga, tunggu, Dil!"

"Aku butuh ketemu Sari. Kamu bisa antar aku ke rumahnya?" pertanyaan Dewa mengurungkan niat Gendhis untuk ikut beranjak dari tempat itu.

**

Gendhis menautkan jemarinya, perjalanan ke kediaman Sari terasa lama tidak seperti biasa. Padahal jalanan tidak macet karena memang dia tahu jalur yang relatif lebih lengang dibanding jalan yang biasanya dilalui.

Wajah Gendhis seketika berubah saat mobil berhenti bukan di depan rumah Sari.

"Mas tapi ini bukan rumah Mbak Sari."

"Aku tahu." Dewa meminggirkan mobilnya tepat di depan area persawahan.

Gendhis mengernyit heran.

"Maaf, aku terpaksa mengajak kamu bicara di sini." Dewa mengembuskan napas perlahan dari mulut.

"Ada apa, Mas?"

"Karina marah dan memindahkan kamu ke luar kota."

Masih dengan kernyitan di dahi, Gendhis memiringkan tubuhnya menghadap ke Dewa.

"Marah? Saya dipindah ke luar kota? Tapi kenapa Mbak Karina marah?"

Menoleh sejenak, Dewa kembali menatap ke depan. Dia kemudian menceritakan jika ada seseorang karyawan Karina yang melihat mereka saat bersama-sama di mal waktu itu. Karyawan tersebut rupanya merekam kebersamaan mereka.

"Aku merasa sudah menyulitkan hidupmu. Maafkan aku." Suara Dewa tak seperti biasa. Kali ini terdengar sangat hati-hati dan jauh dari kata arogan seperti biasanya.

Meski terkejut karena Karina tahu jika dia pernah menghabiskan waktu bersama Dewa, tetapi ada sudut hati yang bersorak karena tanpa diminta dia akhirnya pindah juga ke tempat lain meski di otaknya kini tengah memikirkan bagaimana ibu dan Rezki tanpa dirinya.

"Mungkin soal itu nanti Rega yang bicara ke kamu."

Gendhis seolah kehilangan kata-kata, dia hanya menunduk serta mengangguk menanggapi.

"Sekali lagi aku minta maaf."

"Nggak perlu, Mas. Saya juga salah karena mengikuti keinginan Rezki padahal saya tahu kalau ...."

"No! Itu semua nggak akan terjadi kalau aku mengikuti saranmu untuk pulang lebih dulu," potong Dewa.

"Jangan khawatir soal Rezki dan Ibu, aku akan sering-sering menengok mereka. Kamu fokus kerja aja."

Mendengar penuturan Dewa, Gendhis mengangkat wajahnya memindai paras pria yang tengah menatapnya itu.

"Kenapa? Kamu keberatan aku mengunjungi mereka?"

Menggeleng cepat, Gendhis merapikan anak rambut yang berserak di dahinya.

"Bukan begitu, tapi saya yang merasa tidak enak, Mas. Lagian ... saya bukan siapa-siapa, jadi Mas Dewa nggak perlu repot untuk itu."

"Aku merasa bertanggung jawab atas dipindahnya kamu ke luar kota. Itu semua karena aku. Jadi biarkan aku menebus kesalahanku. Hanya itu!"

Gendhis diam dan mengatupkan bibirnya. Ada gelenyar nyeri saat mendengar kalimat terakhir Dewa. Benar! Memang hanya sebatas rasa tanggung jawabnya saja. Hanya itu dan tentu hanya itu, bukan? Kalimat terakhir itu secara tidak langsung mematahkan opini Dila, ibunya dan tentu saja dirinya yang ternyata telah jauh bermain dengan perasaan.

"Kamu juga nanti bisa pulang satu pekan satu dua pekan sekali. Semoga saja kota itu tidak begitu jauh dari sini." Suara Dewa kembali terdengar, dan kali ini seperti sebuah pengharapan.

**

Maaf kalau lama baru update.

Terima kasih sudah berkunjung 🫰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top