SKSB 26

Melihat Rezki menikmati ayam goreng kesukaannya, membuat Gendhis tersenyum tipis.

"Terima kasih. Bapak sudah begitu baik dengan Rezki."

Dewa mengedikkan bahu lalu mengangguk.

"Kamu yakin nggak makan?"

"Nggak, Pak. Saya minum aja." Dia lalu kembali menyesap ice lemon tea.

Berulangkali terdengar telepon genggam Dewa berbunyi hingga akhirnya pria itu me-non-aktifkan ponselnya.

"Bagaimana para pengrajin? Masih terus berproduksi, kan?" Seolah tak ingin ditanya oleh Gendhis, Dewa mencoba mencari topik yang menarik.

"Masih, Pak. Alhamdulillah mereka semakin antusias."

"Syukurlah. Eum ... kalau bagaimana kerjaanmu?"

"Baik, Pak. Alhamdulillah."

"Kamu suka bekerja di sana?"

Gendhis hanya mengangguk tanpa berani menatap mata pria itu yang menurutnya hanya akan semakin menumbuhkan desir indah itu yang tak henti menyapa relung hatinya.

"Suka, Pak. Teman-teman di sana juga sangat menyenangkan," jelasnya sembari menatap Rezki.

Dewa mengangguk paham.

"Bapak yakin mau nungguin kita? Ini sudah lewat makan siang dan Mbak Karina ...."

"Aku nggak akan bicara berulang-ulang untuk meyakinkan kamu dan Rezki. Aku akan antar kalian pulang."

**

"Ck! Sebenarnya dia itu ngapain aja sih, Rob! Kenapa sekarang malah ponselnya nggak bisa dihubungi?" keluh Karina.

Lelah menunggu dan hampir putus asa, Karina menelepon Robi. Dia mengungkapkan kekesalannya belakangan ini karena perubahan sikap Dewa terhadapnya.

"Sori, Karina, gue nggak tahu juga dia di mana sekarang, tapi lebih baik lo sabar dulu deh. Tunggu aja, sebentar lagi juga datang."

"Tapi ini udah hampir satu jam aku nungguin, Robi!" Nada suaranya terdengar sangat kecewa.

"Robi."

"Ya?"

"Lo jawab jujur ya. Gue minta tolong banget!"

"Apa itu?"

"Jawab jujur! Apa Dewa menyembunyikan sesuatu dari gue?"

"Maksud lo? Sori, Rin! Gue nggak ngerti." Robi mulai merasa tunangan Dewa itu curiga.

"Apa Dewa punya cewek lain?"

Robi yang tengah menikmati kebersamaan dengan istrinya itu terlihat memijit pelipis.

"Gue nggak tahu. Sori, Rin, tapi pertanyaan lo gue nggak bisa jawab karena bener gue nggak tahu."

"Lo yakin nggak tahu? Atau pura-pura nggak tahu?" cecarnya

"Sori, Karina. Gue benar-benar nggak tahu. Sori."

Terdengar Karina mengembuskan napas kesal setelah itu menutup obrolan itu begitu saja.

**

Rezki sudah tak lagi bersuara, dia tampak tertidur pulas di jok belakang. Sementara Gendhis yang duduk di depan di samping Dewa yang tengah mengemudi, berulangkali harus menarik napas dalam-dalam untuk mengkondisikan hatinya agar tetap bisa tenang.

"Gendhis."

"Iya, Pak?"

"Aku boleh meminta sesuatu padamu?" Dewa bertanya tanpa menoleh.

Gendhis menoleh perlahan. Menatap Dewa adalah hal yang membuatnya resah sekaligus rindu. Iya. Rindu! Betapa perasaan itu terus bergejolak saat melihat hidung mancungnya, rambut tipis yang tumbuh di rahang kokohnya, dan senyum yang pelit, tetapi saat bibir itu merekah begitu tercetak indah.

"Apa yang bisa saya bantu, Pak?"

Dewa menoleh sejenak.

"Apa yang kamu pikirkan saat kamu memanggilku dengan sebutan bapak?"

Kening Gendhis berkerut.

"Maksud Bapak?"

"Aku sudah bukan atasanmu, 'kan? Jadi kamu bisa panggil aku dengan menghilangkan sebutan bapak?"

Sejenak Gendhis tak berkata-kata.

"Kenapa? Nggak usah heran, hal itu biasa, 'kan?"

"Iya, tapi bukannya Bapak tetap bos saya? Karena biar bagaimanapun saya dan para pengrajin membutuhkan Bapak untuk ...."

"Oke, tapi di luar itu kamu bisa panggil saya tanpa embel-embel bapak. Bisa?"

Gendhis mengangguk samar. Tak bisa dipungkiri jika saat ini dirinya hampir tak bisa mengendalikan debar jantungnya. Berkali-kali dia bermonolog agar tenang, tetap saja satu sisi dalam hatinya bersorak dan menebar hormon oksitosin.

"Gendhis? Melamun?"

"Oh nggak, Pak. Iya, bisa," jawabnya sembari menyelipkan rambut ke belakang telinga.

"Good!" Dewa tersenyum lebar. Entah kenapa dia suka melihat setiap kali Gendhis gugup. Menurutnya, perempuan berwajah manis itu begitu menggemaskan.

Merasa telah begitu jauh memikirkan Gendhis, Dewa menggeleng cepat.

'Kenapa perasaan ini justru muncul saat Karina datang?' batinnya sembari terus mengemudi.

"Ibumu sehat?" Dewa mencoba mengalihkan pikirannya dengan bertanya soal yang lain.

"Sehat, Pak. Alhamdulillah."

"Pak lagi? Aku tidak setua yang kamu bayangkan," selorohnya mencairkan suasana.

Kali ini bibir Gendhis tertarik lebih lebar ketika mendengar penuturan Dewa.

"Yang bilang Bapak sudah tua siapa?" ujarnya dengan tawa kecil.

"I don't know, tapi aku rasa kamu sudah menganggapku pria tua," tuturnya sembari mengangkat bahu.

"Pak Dewa, tidak semua yang dipanggil Bapak itu berarti tua. "

"Tuh, 'kan? Pak lagi." Dewa menoleh sembari tersenyum. Senyum yang membuat Gendhis merasa dunianya berhenti sejenak.

"Maaf, tapi saya nggak terbiasa, Pak."

"Akan terbiasa kalau kamu mau memulai."

Gendhis menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk.

"Baiklah."

"Baiklah? Baiklah apa?" Kembali Dewa menoleh.

"Akan saya coba."

"Coba? Coba apa?" Dewa mulai menikmati rona merah di pipi Gendhis.

"Akan mencoba memanggil nama Bapak saja."

"Jadi?"

Mengatupkan bibir, Gendhis merasa dadanya semakin berdebar.

"Mas Dewa, saya boleh memanggil dengan panggilan itu?" ucapnya sembari mengembuskan napas lega.

"Boleh. Tentu saja!"

Lagi-lagi Dewa disuguhi rona merah dan senyum malu. Melihat ekspresi Gendhis, Dewa mengulum senyum. Entah kenapa bisa merasa sangat menikmati kebersamaan dengan perempuan di sebelahnya itu. Meski dia tahu hal itu tentu akan membuat perasaan Karina sakit.

Namun, dorongan hati seolah terus menggiring seluruh perasaan indah padanya.

"Aku lihat beberapa waktu lalu kamu keluar kantor?"

"Kapan?"

Mengedikkan bahu, Dewa menoleh.

"Mungkin dia hari yang lalu. Waktu itu kebetulan aku ada janji sama Karina."

Menyipitkan matanya, dia mencoba mengingat.

"Ah iya. Aku ada urusan ketemu klien di Restoran Luxury."

Dewa mengangguk.

"Kamu berdua aja?"

"Berdua?" Gendhis balik bertanya.

"Iya, aku lihat kamu berdua sama sepupu Karina. Eum ... siapa namanya?"

"Oh iya. Mas Rega!"

"Mas?" Terdengar nada tak suka dari pertanyaan Dewa.

"Iya, Pak. Eh, iya, Mas Dewa. Jadi awalnya saya panggil Mas Rega dengan sebutan pak, tapi Mas Rega menolak, karena menurutnya akan lebih enak didengar kalau dia dipanggil Mas Rega saja."

Ada hati yang sedikit memanas mendengar Gendhis bercerita tentang Rega. Padahal tidak ada yang salah dari ucapan perempuan itu.

"Dan kamu langsung setuju memanggilnya Mas Rega?"

"Iya, karena karyawan yang lain pun memanggil dan panggilan yang sama."

Dewa menghela napas, setidaknya dia merasa lega karena pada awalnya dia berpikir jika hanya Gendhis yang memanggil dengan Mas Rega pada pria yang usianya lebih muda satu tahun dengannya itu.

"Eum ... Mas Dewa kenal Mas Rega?"

"Kenal. Kenapa?" Dewa menginjak rem saat lampu merah menyala.

"Nggak apa-apa."

"Dia sepupu Karina. Dia sering bolak-balik ke luar negeri. Karena selain bisnis, kedua orang tuanya juga sering tinggal di sana."

Dewa menatap Gendhis.

"Ada yang ingin kamu ketahui tentang Rega lagi?"

"Dia punya kakak dan adik. Adiknya dan kakaknya tinggal di Jepang." Pria itu menyeringai. "Bahkan keluarganya pun kini semua diimpor," gumamnya.

"Impor? Emang mereka barang?" Gendhis tertawa kecil menanggapi ucapan Dewa.

"Ya habis, semua anggota keluarganya di luar negeri."

"Mas Dewa juga bisa begitu, 'kan? Mungkin saja setelah menikah nanti ... karena Mbak Karina pernah bilang kalau mungkin setelah menikah, kalian akan tinggal di Singapura. Betul, 'kan?"

Mobil kembali berjalan. Singapura. Apa yang dijelaskan Karina kepada Gendhis adalah benar. Mereka memang mengangankan hal tersebut. Karena perusahaan sang papa juga sudah memiliki rekanan di sana untuk meluaskan bisnis propertinya. Akan tetapi, apakah benar itu akan terwujud jika kini justru separuh hatinya sudah merasa bimbang?

"Mas Dewa?"

"Ya?"

"Kok malah diam?"

Dewa mengusap tengkuk.

"Lalu menurutmu aku harus bicara apa?"

Gendhis mengernyit. Mendadak dia merasa Dewa tidak suka dengan obrolan barusan.

"Maaf jika saya terlalu mencampuri urusan Mas Dewa dan Mbak Karina. Maaf."

"No, Gendhis. Kamu nggak salah. Eum ... sebentar lagi kita sampai." Dewa mengalihkan pembicaraan.

Obrolan tentang Karina kini tak lagi menarik hatinya. Ada rasa yang sangat jauh berbeda dari sebelum. Dia mulai  berpikir untuk membatalkan bertemu dengan Karina.

Karena dia merasa semua yang ada di dirinya sedang tidak bisa diajak berpura-pura.

**

Selamat hari Senin semuanya.

Semoga sehat selalu ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top