SKSB 25


Gendhis tertawa kecil melihat tingkah Rezki yang terlihat gembira dengan sepatu barunya. Ada perasaan yang sangat lega ketika dia bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan keponakannya.

Meski terbilang baru bekerja di kantor itu, tetapi hasil kerjanya bisa dibilang bisa diandalkan. Itu terbukti dia menerima pujian langsung dari Karina dan tentu saja Rega. Kedua atasannya itu merasa cocok dengan apa yang dia usahakan agar tidak mengecewakan klien perusahaan mereka.

"Rezki suka?"

"Suka banget, Onty! Makasih ya," jawabnya sembari melompat kegirangan.

"Oke, sekarang kita beli sesuatu buat Nenek yuk!" ajak Gendhis saat selesai membayar.

"Onty mau beliin apa buat Nenek?" Rezki mendongak sembari memegang erat paper bag berisi sepatu.

"Eum ... kita belikan kalung! Ayo, Rezki!"

Melangkah beriringan mereka menuju toko perhiasan. Langkah Gendhis tertahan saat melihat seseorang yang tak asing berada di tempat itu. Tak ingin terlihat oleh orang tersebut, gegas dia mengajak Rezki untuk segera menjauh dari tempat itu.

"Kenapa, Onty?"

"Kita cari kalung untuk Nenek di tempat lain aja," terangnya.

"Kenapa, Onty? Kita, kan baru mau masuk?" Suara Rezki ternyata membuat sosok itu menoleh. Dan tentu saja itu sangat tidak diinginkan oleh Gendhis.

"Gendhis?" Dewa bangkit lalu mendekat.

"Hai, Rezki. Apa kabar?" sapanya hangat.

"Baik, Om." Dia menyambut uluran tangan Dewa dan mencium punggung tangannya.

Pria berkemeja hitam itu kemudian menatap Gendhis yang mengulas senyum meski terlihat kaku.

"Halo, Pak Dewa," sapanya mencoba bersikap wajar karena mendadak Gendhis merasa debar jantungnya terasa tak beraturan.

"Hai. Apa kabar?"

"Baik. Bapak sendiri apa kabar?" Pertanyaan yang sangat terkesan basa-basi itu semakin membuat Gendhis merasa aneh pada dirinya sendiri.

"Aku baik. Kamu ke sini mau belanja ...."

"Oh iya, mau membeli sesuatu untuk Ibu."

Dewa membulatkan bibirnya sembari mengangguk, kemudian memberi isyarat agar Gendhis masuk dan melihat-lihat.

"Bapak sudah selesai?"

"Sudah. Tinggal ambil aja kok."

Gendhis menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk. Dia kemudian menggandeng Rezki mengajaknya mendekat ke etalase. Sementara Dewa tampak menerima paper bag kecil dari pelayan. Terdengar pramuniaga tersebut mengucapkan terima kasih dan mendoakan semoga acara pernikahan Dewa berjalan lancar.

"Om sudah mau pulang?" Rezki dengan wajah polosnya menyapa.

Sejenak dia mencuri pandang ke Gendhis yang tampak tak peduli. Perempuan itu sedang memandang satu per satu perhiasan yang berada di dalam etalase.

"Om?" Suara Rezki mengalihkan pandangannya.

"Oh iya, Om sudah mau pulang. Eum ... Rezki habis beli apa tadi?" tanyanya membungkuk hingga dia leluasa menatap keponakan Gendhis itu.

"Beli sepatu, Om."

Kedua sudut bibir Dewa terangkat. Sembari menepuk pundak Reski dia berucap, "Sekolah yang pinter ya. Rezki harus bikin Onty happy."

"Oke, Om." Bocah kecil itu mengangkat jempolnya sembari tersenyum lebar.

"Gendhis," panggil Dewa setelah kembali menegakkan tubuhnya.

"Iya, Pak?"

"Saya duluan ya."

Mengangguk, Gendhis tersenyum. Entah kenapa dia sama sekali tidak berminat untuk bertanya ke mana Karina. Karena jelas tadi dia melihat dua kotak cincin dimasukkan ke dalam paper bag berwarna hitam dengan logo berwarna emas tersebut. Sudah barang tentu itu adalah cincin pernikahan mereka dan hak itu dikuatkan dengan ucapan dan dia dari pramuniaga tadi yang sempat dia dengar.

"Mbak mau yang model seperti apa, Mbak?" Suara pramuniaga toko tersebut mengejutkannya.

"Oh iya, eum ... Rezki, sini!" Dia mengajak keponakannya mendekat.

**

Dewa menyandarkan kepalanya ke head restrain, sejak tadi dia masih berada di parkiran. Bertemu Gendhis bukan hal yang dia rencanakan. Justru sebenarnya dirinya sedang berusaha menghilangkan perasaan yang semakin kuat mengakar di hatinya.

Perasaan yang dia tahu itu akan membuat hubungannya dengan Karina memburuk. Tentu saja bukan hanya hubungan dia dan Karina yang akan berantakan, tetapi juga hubungan dua keluarga besar mereka.

"Sial!" gerutunya sembari memukul kemudi. "Nggak boleh! Gendhis bukan siapa-siapa dan Karina, dia adalah sosok yang aku inginkan untuk masa depanku!"

"Lagipula ... kenapa aku terlihat begitu berharap dia memiliki perasaan yang sama?" gumamnya.

Membuang napas kasar, Dewa melihat arloji. Sudah cukup lama dia berada di tempat ini. Sedangkan tadi, dia berjanji ke Karina akan segera menjemput Karina di rumahnya untuk fitting baju terakhir sebelum pesta yang akan digelar dua pekan lagi.

"Ponsel aku?" Dahinya berkerut ketika di kantong dan di dashboard tak ada benda yang dicari. "Di mana ponselku?"

"Ck! Ya Tuhan! Ketinggalan di toko itu!"

Gegas Dewa keluar dari mobil dan berjalan cepat kembali memasuki area pusat perbelanjaan.

'Sudah setengah jam dan aku masih di sini. Karina pasti marah!' batinnya bermonolog.

"Pak Dewa!" Suara yang sangat dikenal tiba-tiba muncul di depannya.

"Bapak mencari ini?" Gendhis menyodorkan ponsel miliknya. "Itu tadi tertinggal di etalase di dekat saya duduk. Pelayan mengira ponsel itu milik saya," jelasnya saat alat komunikasi itu berada kembali di tangan Dewa.

Dewa menghela napas lega.

"Thanks, Gendhis."

"Sama-sama, Pak. Eum ... tadi Mbak Karina telepon."

Dewa tersenyum tipis lalu mengangguk.

"Makasih, eum ... kamu sudah mau pulang?"

"Sudah, Pak."

"Aku antar. Ayo, Rezki!" Dia meriah tangan Rezki dan memberi isyarat agar Gendhis mengikutinya.

"Eum, tapi, Pak."

"Kalian mau pulang, 'kan?"

"Iya, tapi ...."

"Om, Rezki tadi ngajak Onty makan siang. Rezki lapar." Ucapan polos dari Reski membuat Gendhis tersenyum kaku.

"Oh, Rezki mau makan di mana?" Dewa menatap bocah kecil itu tanpa peduli reaksi Gendhis.

Dengan polos dia menyebut nama restoran cepat saji favoritnya.

"Rezki, nggak boleh ...."

"Kenapa nggak boleh?" sela Dewa menatap Gendhis. "Ayo, Rezki kita ke mobil!"

Tak menghiraukan wajah tegang Onty-nya, dia bersorak mengekor langkah Dewa. Sementara Gendhis justru masih mematung tak tahu harus melakukan apa.

"Onty! Ayo! Rezki udah lapar ini!" serunya saat sadar jika Gendhis tertinggal.

Tak menjawab, dia membalas tatapan Dewa yang menyungging senyum tipis.

"Onty, ayo!"

Tak ingin Rezki kembali berteriak, dia mengangguk lalu melangkah mendekat.

"Maafkan Rezki, Pak. Tapi Bapak bisa tinggalkan kami, buat Rezki sama saya aja, Pak Dewa pasti sudah ditunggu Mbak Karina."

"Nggak apa-apa, Rezki sudah bilang ke aku ke mana dia mau makan siang hari ini, jadi ... aku harus mengabulkan permintaannya," terang Dewa. "Ayo masuk!" titahnya setelah membuka pintu mobil untuk Gendhis.

"Ayo, kamu nggak kepanasan? Ini udah tengah hari loh. Mataharinya udah menggigit banget!"

Gendhis masih tak percaya jika pria di depannya itu telah membukakan pintu untuknya yang dulu pernah menjadi karyawannya. Sementara jelas sama sekali tidak terlihat kecanggungan di wajah Dewa karena telah memperlakukan dirinya seperti ini.

"Onty! Ayo masuk!" teriak Rezki yang tanpa dia sadari sudah berada di dalam mobil dan duduk di jok belakang.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top