SKSB 23
Gendhis diam, dia mencoba memahami ucapan Jonathan barusan. Pria itu menawarkan posisi supervisor di koffe shop. Seperti yang diketahui oleh Gendhis, koffe shop milik Jonathan yang bekerja sama dengan Dewa tidak hanya satu. Ada beberapa koffe shop yang lain di beberapa lokasi berbeda.
"Tapi saya sudah diterima di ...."
"Perusahaan milik Karina. Iya, 'kan?"
Dia mengangguk. Sebenarnya tawaran mendadak ini cukup menggiurkan, terlebih dia tidak perlu kembali menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjaan. Sementara jika di tempat Karina, tentu akan banyak hal baru yang bisa jadi sama sekali asing baginya.
Namun, akan jadi hal yang tidak etis ketika dia mengundurkan diri begitu saja dari tempat Karina bahkan sebelum dia bekerja di sana. Selain itu tentu saja ada hal yang lebih penting dari itu.
Jika dia menyetujui tawaran itu, berarti dirinya masih bisa berinteraksi dengan Dewa karena biar bagaimanapun pria itu adalah juga pemilik koffe shop tersebut.
Sedangkan Gendhis sudah bertekat untuk menjauh meski pada akhirnya dia tetap saja tidak bisa lepas dari Dewa karena kini dirinya justru bekerja dengan Karina. Calon istri Dewa.
Merapikan rambutnya, Gendhis menyesap jus semangka yang dipesan Jonathan untuk mereka. Setelah pulang dari acara Dewa, dia dan Jonathan mampir ke sebuah restoran seperti yang dikatakan Jonathan tadi.
"Maaf, Pak, tapi saya nggak bisa menerima tawaran itu."
"Kenapa? Kamu merasa tidak enak sama Karina atau ada hal yang lain?"
Menarik napas dalam-dalam, Gendhis tersenyum tipis.
"Mungkin iya, tapi ada hal yang lebih dari itu. Saya ingin mencari suasana baru."
Sejenak mereka diam.
"Pak Jo."
"Ya?"
"Kalau boleh tahu ... kenapa saya merasa tawaran ini mendadak?"
Pria di depannya itu tersenyum kemudian menggeleng.
"Bukan mendadak, tapi memang karena semakin berkembangnya usaha, maka baik aku dan Dewa sepakat untuk mencari seseorang yang bisa dipercaya dan memiliki basic keilmuan tentang kopi yang mumpuni seperti kamu."
Gendhis menarik kedua sudut bibirnya. Keputusannya tetap bulat, yaitu menolak tawaran tersebut.
"Semoga Pak Jo dan Pak Dewa segera bisa menemukan orang yang tepat untuk menduduki posisi itu, Pak. Maafkan saya, saya tidak bisa."
"Oke. Aku hargai keputusanmu, tapi ... kalau nanti kamu berubah pikiran, kamu bisa hubungi aku, Dis."
"Terima kasih, Pak. Kau begitu saya mohon pamit pulang. Terima kasih sekali lagi untuk tawarannya."
Jonathan mengangguk dan membiarkan mantan karyawannya itu meninggalkan meja mereka.
Pria yang mengenakan mata sedikit sipit itu mengambil ponselnya kalau mengetikkan pesan.
[Gue bisa telepon lu nggak?]
Pesan itu dia kirim ke Dewa.
**
"Jadi dia menolak?" Dewa memijit pelipisnya mendengar penjelasan Jonathan lewat telepon.
"Iya, gue bilang juga apa, Wa. Gue yakin Gendhis tidak akan mau."
Dewa membuang napas kasar. Entah kenapa dia merasa tenang jika dia tahu di mana Gendhis bekerja.
Karena setahu Dewa, perusahaan Karina itu masih baru dan butuh waktu untuk bisa menunjukkan eksistensinya dalam dunia periklanan.
"Lagian nih ya, Wa. Lo kenapa seolah-olah pengin banget Gendhis untuk tetap bekerja di tempat kita sih? Please, Wa. Gue nggak mau kalau alasannya adalah karena lo nggak mau jauh darinya!" tebak Jonathan.
Dewa mengembuskan napas perlahan, sembari menggeleng dia berkata, "Nggak tahu gue, Jo."
Mata Jonathan menyipit.
"Nggak tahu lo bilang?" tanyanya dengan tawa kecil. "Lo jangan main api, Wa. Ingat, lo barusan bertunangan!"
Dewa bergeming, dia kemudian bangkit dari duduk.
"Mau ke mana lo?"
"Kantor!"
Rekannya itu mengangguk paham. Masih dengan bibir melebar, Jonathan ikut bangkit dan menghampiri Dewa.
"Sebelum semuanya terlambat, sebaiknya lo jauhkan semua hal yang berhubungan dengan Gendhis, Wa!"
Dewa tak menjawab, dia hanya mengangguk lalu melangkah meninggalkan ruangan tersebut sambil menyalakan rokoknya.
**
Santi tersenyum menatap Gendhis yang pagi itu siap berangkat ke kantor barunya. Mengenakan blazer hitam dan celana panjang hitam membuat tampilan putrinya itu terlihat sangat berbeda.
"Anak Ibu cantik banget!"
"Pasti dong! Siapa dulu ibunya." Gendhis tertawa kecil sembari merapikan rambut.
"Baik-baik kamu kerjanya ya, Dis."
"Iya, Bu. Doain Gendhis ya."
Santi mengangguk sembari menyambut uluran tangan putrinya yang kemudian melangkah meninggalkan rumah mereka.
Sepanjang jalan ke tempat kerja barunya, perasaan Gendhis campur aduk. Satu sisi dia bahagia sementara di sisi lain ada rasa was-was jika suatu ketika dia kembali bertemu Dewa.
Entah kenapa, semakin Gendhis mencoba berhenti memikirkan pria itu, semakin kuat juga desir indah bercokol di hatinya. Belum lagi tak jarang bayangan Dewa seperti tak jenuh menghantui dirinya.
"Aku percayakan posisi copywriter untukmu di kantorku. Aku yakin kamu bisa mengemas dan membuat kata-kata atau kalimat yang dibutuhkan klien kita nantinya!" tutur Karina sesaat ketika dikabari jika dirinya diterima bekerja.
Pekerjaan copywriter sendiri adalah sebagai penulis iklan. Jadi tugasnya membuat skenario iklan, menulis kata-kata pada iklan cetak, dan membuat tagline. Meski Gendhis tahu jika tugas copywriter tidak semudah yang dibayangkan, karena dituntut untuk bisa menulis kata-kata yang tak terlupakan dengan standar tinggi dari klien, tetapi tentu hal itu adalah tantangan baru yang harus dia taklukan.
Mengembuskan napas perlahan, Gendhis turun dari taksi online yang dia tumpangi. Sejenak perempuan yang menguncir kuda rambutnya itu menatap gedung kantor barunya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Selamat datang di tempat baru, Gendhis!" bisiknya sembari menarik kedua sudut bibirnya.
"Gendhis!" Panggilan seseorang membuat kakinya urung mengayun langkah. Tanpa menoleh dia tahu pemilik suara itu.
"Kenapa kamu menolak tawaran Jonathan?" Suara itu semakin jelas dan terdengar sangat dekat.
Perlahan dia berbalik menghadap pemilik suara.
"Kenapa?" tanyanya mengulang.
"Nggak apa-apa, Pak. Eum ... Pak Dewa ke sini ...."
"Mau ketemu Karina," potongnya cepat.
Gendhis mengangguk samar lalu kembali membalikkan tubuhnya, tetapi tanpa dia duga tangan kokoh Dewa menahan lengannya.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku."
Gendhis kembali berbalik, tatapannya mengarah ke tangan Dewa yang mencengkeram lengannya. Pria berkemeja putih itu seolah sadar dan segera melepas tangannya.
"Sori, tapi ...."
"Apa saya harus menjawab pertanyaan itu? Apa jawaban saya penting?"
"Tentu saja penting!"
"Penting untuk siapa, Pak?"
"Penting untuk ak ... maksudnya penting untuk kemajuan koffe shop itu. Dan aku, eum ... maksudnya semua orang yang ada di situ sangat menginginkan kemajuan tempat itu, kan? Dan kamu yang kamu rasa mumpuni untuk berada di posisi itu."
Gendhis tersenyum tipis lalu menggeleng.
"Maaf, Pak. Sudah saya bilang ke Pak Jonathan jika saya sangat berterima kasih untuk tawarannya, tapi saya nggak bisa mengundurkan diri begitu saja setelah saya diterima di tempat ini."
"Saya mau masuk, Pak. Ini hari pertama saya. Terima kasih untuk kepercayaan Bapak selama ini."
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top