SKSB 19
Jonathan terbahak melihat ekspresi Dewa saat mempertanyakan soal Gendhis. Rekan kerjanya itu rupanya sudah sedikit mencium aroma aneh pada perhatian Dewa terhadap karyawan mereka.
Malam itu setelah mengantar Karina pulang ke rumahnya, Dewa menyempatkan mampir ke kediaman Jonathan meski malam sudah larut.
"Please! Lo kenapa, Wa! Kenapa segitu penasarannya lo sampai nanyain soal Gendhis?"
Dewa menarik napas dalam-dalam sembari mengusap tengkuk.
"Dia, 'kan karyawan gue juga, Jo! Lo sendiri yang bilang kita harus memperlakukan karyawan seperti keluarga, karena kita butuh mereka dan begitu juga sebaliknya. Iya, 'kan?"
"Iya, iya. Li bener. Gue pernah bicara seperti itu, tapi nggak seperti lo, Wa. Masalahnya lo sangat menaruh perhatian hanya pada Gendhis. Sementara Hardi, Dila, Bobi dan yang lainnya lo b aja! Jadi nggak salah, 'kan kalau gue curiga?" Jonathan memberi isyarat dengan dua jadi kiri dan kanan saat mengatakan curiga.
Tak menjawab, Dewa hanya menarik napas dalam-dalam. Jujur entah kenapa ada sudut hati yang berontak ingin kembali mendengar suara dan tawa Gendhis. Seperti ada magnet yang ingin selalu melihat perempuan yang memiliki dekik di kedua pipinya itu.
"Jangan bilang lo mulai main hati, Wa. Jangan bilang hati lo mulai tidak yakin pada pilihan lo!"
Dewa menoleh menatap lekat rekannya.
'Main hati? Apa iya? Apa benar jika dirinya mulai tidak yakin pada Karina?' Dewa menarik napas dalam-dalam seolah ingin meredakan suara-suara dan perasaan yang mulai mengganggu hatinya.
"Nah iya, 'kan? Lo melamun? Benar, 'kan, Bro?"
Dewa tak menjadi, dia kembali ke pertanyaan semula tentang ketidakhadiran Gendhis beberapa hari yang lalu seperti yang diceritakan Robi.
"Dia ada panggilan interview!"
"Interview? Dia mau pindah kerja?"
"Kenapa? Lo keberatan?"
"Ck! Jo! Dia itu punya perjanjian kerja sama aku, kamu tahu, 'kan?"
"Iya gue tahu!"
"Kalau dia pindah kerja lalu bagaimana dengan kerjasama yang sudah disepakati?"
Jonathan tergelak. Lagi-lagi dia merasa tebakannya tidak salah. Dewa telah memiliki perasaan berbeda terhadap anak buah mereka. Gendhis memang berbeda dengan karyawan lainnya.
Sebenarnya Jonathan keberatan jika Gendhis harus mengundurkan diri dari koffe shop itu, karena menurutnya keahlian Gendhis dalam meracik kopi dan keterampilan lainnya sangat susah untuk digantikan.
Pembawaan yang ceria dan sikapnya yang selalu menyenangkan menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung maupun rekan kerjanya. Dia juga tidak segan untuk berbagi kemampuan yang dimiliki.
"Soal perjanjian kerja lo, gue yakin dia tidak akan mangkir, Wa. Lo percaya gue deh!"
"Kok bisa lo seyakin itu?"
"Karena gue yang paling tahu dan pertama kali kenal dia. Gue percaya karena selama dia bekerja di sini, Gendhis tidak pernah membuat gue atau teman yang lain kecewa," ucapnya yakin. "Kecuali lo!" imbuhnya kembali tertawa.
Dewa menyeringai, dia kembali teringat saat pertama kali kenal Gendhis. Memang Gendhis salah saat itu, tapi jika tidak pernah ada kesalahan itu, tentu dia tidak akan kenal perempuan yang memiliki mata indah tersebut.
Entah kenapa dia kini justru bersyukur Gendhis pernah melakukan kesalahan terhadapnya.
"Lo gini deh, mending lo ke koffe shop, lo tanya sendiri ke dia!"
Dewa bergeming. Sudah cukup lama juga dia tidak ke koffe shop. Bukan apa-apa, tetapi dia benar-benar sibuk mempersiapkan pertunangan dan tentu saja menyelesaikan pekerjaan di kantor papanya yang menumpuk.
"Lo lama nggak ke sana, 'kan? Kenapa? Tumben?"
Dewa hanya tersenyum tipis.
"Karena Karina, 'kan?"
Tak menjawab, Dewa mengisap rokok yang sejak tadi dibiarkan terselip di jarinya.
"Kenapa lo? Harusnya lo happy, kan?"
"Nggak apa-apa. Iya, gue happy dan sudah seharusnya seperti itu," jawabnya malas.
Tertawa kecil, Jonathan bangkit dari duduknya. Pria itu mengambil dua soft drink di lemari pendingin kemudian memberikan satu kepada Dewa.
"Thanks!"
"Wa, lusa lo udah tunangan. Itu artinya semua impian lo udah satu tahap hampir terlampaui. Setidaknya setelah tunangan, lo sudah hampir bisa dipastikan bersanding dengan Karina. Perempuan yang sudah begitu lama lo nantikan. Betul, 'kan?"
Dewa mengangguk. Tidak ada yang salah dari ucapan Jonathan, semua yang dikatakan rekannya itu benar, tetapi entah kenapa menurutnya Karina yang kini dia temui bukan seperti Karina delapan tahun yang lalu. Karina kini lebih sering mengatur hidupnya, apa-apa yang dia lakukan harus diketahui oleh Karina.
"Karena kita sudah bukan dua orang yang pacaran, Wa. Kita sudah akan menjadi sepasang suami istri nantinya. Jadi nggak bilang ada rahasia di antara kita dan ... kita juga harus saling menyesuaikan. Kamu harus ngerti aku, aku juga wajib ngerti kamu." Ucapan Karina kala mereka berdua di sebuah restoran kembali terngiang.
"Aku heran, kenapa kamu jadi perokok? Bukannya dulu kamu ...."
"Sebenarnya dari dulu aku merokok, Karina, tapi kamu aja yang nggak tahu karena aku selalu sembunyi-sembunyi. Ya, you know lah, waktu itu kita masih SMP."
"Kamu tahu rokok itu sangat tidak baik, kan? Kamu nggak kesian apa sama aku? Perokok pasif itu lebih berbahaya dibandingkan dengan perokok aktif. Apalagi kalau nanti aku hamil punya anak dan ...."
"Karina ... oke aku tahu aku akan berhenti, tapi aku nggak bisa kalau langsung. Aku minta waktu ya."
Kala itu Karina hanya mengangguk.
"Aku hanya ingin yang terbaik, Dewa. Kamu paham maksudku, 'kan?"
"Aku mau setelah kita menikah, kita tak lagi berdebat karena hal remeh seperti ini. Karena buatku hal yang remeh pun akan jadi besar kalau kita terus menyimpannya."
Deheman Jonathan mengalihkan pikiran Dewa tentang obrolan dia dengan Karina.
"Lo sebenarnya kenapa, Wa? Gue lihat aura happy lo nggak ada! Swear! Lo cerita deh! Kali aja gue bisa kasi jalan keluar."
Menarik napas dalam-dalam, Dewa menelisik rekannya.
"Gue ...."
"Kenapa?"
"Lo bener, Jo! Gue bingung sama perasaan gue."
**
Santi menatap sendu putrinya. Mendengar cerita Gendhis jika Dewa akan bertunangan entah kenapa membuatnya kecewa. Benar kata Gendhis, antara dia dan Dewa ada jarak yang cukup jauh dan sulit untuk disatukan.
Kisah Cinderella itu hanya ada di dongeng, itu memang benar. Faktanya memang menyakitkan, tetapi begitulah adanya.
"Pak Dewa itu ibarat pangeran dan hanya akan mendapatkan puteri yang bibit bobot dan bebet yang satu level, Bu. Udah ya, ibu nggak bisa terus berharap. Biarkan Tuhan yang mengatur apa pun hidup Gendhis "
Santi menghela napasnya. Perempuan paruh baya itu khawatir jika nanti putrinya memilih untuk tetap sendiri karena banyak pertimbangan salah satunya adalah kegagalannya dan juga kegagalan Widuri ibu dari Rezki.
"Gendhis."
"Iya, Bu?"
"Ibu mau kamu janji, Nak."
"Janji apa?"
"Janji kalau kamu akan tetap menikah cepat atau lambat."
"Ibu, kenapa harus pakai janji segala sih?"
"Karena Ibu nggak mau kamu terus menerus hidup seperti ini, Gendhis. Memiliki pendamping itu menyenangkan. Kamu bisa mengajaknya berdiskusi tentang berbagai hal, kamu punya teman bercerita apa pun, kamu juga bisa lebih merasakan kebahagiaan. Percayalah!"
Gendhis merapikan rambutnya dengan menguncir ekor kuda.
"Kalau bahagia ... kenapa Gendhis nggak melihat itu pada Ibu juga Mbak Widuri? Kenapa Ibu dan Mbak Widuri menderita?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top