SKSB 14

Karina, papa dan mamanya lalu masuk ke mobil. Mereka  menuju ke sebuah rumah yang sudah disiapkan. Dodi, papa dari Karina adalah pebisnis yang seringkali ke luar negeri, pada saat SMP akhirnya keluarga itu memutuskan untuk pindah dan tinggal di Denmark untuk mengurus bisnisnya di sana hingga Karina selesai kuliah.

Dodi ingin saat tuanya dihabiskan di Indonesia dan tentu saja juha mengikuti keinginan putrinya. Karina sebenarnya memiliki saudara laki-laki, tetapi kakaknya itu memilih tetap di Denmark. Selain meneruskan bisnis sang papa, dia juga sudah menikah satu tahun yang lalu.

"Jadi  apa yang paling pertama mau kamu lakukan, Karina?" tanya Sindi sang mama.

"Jangan bilang kamu langsung nyari Dewa!" sela Dodi dengan tawa .

"Papa! Ya nggaklah! Karina mau jalan-jalan, makan makanan apa pun yang dulu sangat Karin sukai!"

Dodi tersenyum, baginya Karina kebahagiaan Karina adalah hal paling penting di hidupnya. Pernah suatu ketika saat mereka masih di Denmark, rekan bisnisnya ingin mempersunting Karina untuk putranya, tetapi Karina menolak lembut karena ada yang harus dia tepati.

Tidak kurang dari empat pria yang pernah mencoba singgah, tetapi Karina lebih memilih berteman dengan mereka. Syukurnya mereka tidak marah, dan mempersilakan Karina untuk menjalani apa yang menjadi pilihannya.

"Rumah Dewa kamu masih ingat?" tanya Sindi

"Lupa, Ma. Tapi Karin ingat kapan Karin ke tempat saat kami berpisah dulu."

"Heii, kalian waktu itu masih sangat muda dan sudah se-sweet itu?" Dodi kembali meledek putrinya.

Karina tersenyum lebar, tiga hari lagi adalah waktu yang sudah dia janjikan bertemu setelah delapan tahun yang lalu. Perasaan bercampur aduk di hatinya.

Akankah Dewa memenuhi janji atau sebaliknya? Apa yang akan berubah pada paras Dewa nanti? Berkumis? Atau tanpa kumis? Memiliki cambang atau bersih? Lalu apakah dia masih suka berolahraga? Jika iya, sudah pasti lengan Dewa akan menjadi tempat bersandar yang nyaman untuknya! Tetapi jika Dewa lupa dan tidak datang, dia tak tahu apa yang akan dia lakukan setelah itu?  Menangis atau marah?

Memikirkan pertemuannya yang masih di angan membuat Karina menarik napas dalam-dalam. Tak lama mobil yang membawa mereka sudah tiba di depan rumah yang berpagar tinggi. Tampak kemudian pintu pagar dibuka oleh seorang pria paruh baya.  Membungkuk hormat, dia tersenyum mempersilakan sopir memasuki halaman.

"Welcome home ...." Dodi menatap istri dan anaknya.

"Jadi ini rumah kita, Pa?" Karina sejenak mengamati dari dalam mobil.

Dodi mengangguk lalu mengajak istri dan anaknya untuk turun.

"Beruntung Papa punya teman seperti Pak Rahmat yang mencarikan rumah sesuai dengan keinginan," ungkap Sindi saat mereka semua turun.

Dodi mengangguk, tampak pintu dibuka oleh seorang perempuan yang sebagian rambutnya kelabu. Tersenyum lebar, dia berucap, "Selamat datang, Pak Dodi, Bu Sindi."

"Terima kasih, Narti." Sunarti adalah orang yang ditugasi oleh Rahmat untuk menjaga sekaligus membersihkan rumah Dodi.

Karina terlihat sangat bahagia, dia lalu menuju kamar yang sudah disiapkan.

"Karin ke kamar ya, Ma."

Sindi mengangguk sembari tersenyum. "Istirahatlah."

**

Gendhis mematut diri di depan cermin, parasnya berbinar. Dia terlihat sangat anggun dengan kebaya dan rambut yang dicepol dengan hiasan melati di sana.

"Onty! Ayo, Nenek udah nunggu di depan!" Rezky mengetuk pintu.

Gendhis tersenyum lalu bergegas keluar kamar.

"Wah! Onty cantik! Rezky sampai nggak kenal!"

"Rezky! Bisa aja ih!" Dia mengusap puncak kepala keponakannya.

Mereka berdua lalu keluar. Sudah menunggu taksi online yang sudah dipesan. Santi pun sudah terlihat siap. Perempuan paruh baya itu menoleh menatap putrinya.

"Anak ibu cantik banget!"

"Ibu juga cantik!"

"Ayo, kita berangkat!" Gendhis lalu menggandeng tangan Santi sementara Rezki berjalan lebih dahulu menuju mobil.

Tak ada yang paling membahagiakan selain memberi senyuman pada bibir orang yang paling dicintai. Hal itu pula yang membuat Gendhis berulang kali mengucap syukur.

Sepanjang perjalanan menuju lokasi wisuda, mata Santi berkaca-kaca, tangannya terus mengusap bahu Gendhis.

"Semoga hidupmu selalu bahagia, Gendhis. Setelah jatuh bangun dengan kerasnya hidup. Semoga setelah ini kebahagiaan itu kamu genggam."

"Aamiin. Terima kasih, Bu. Ibu tahu? Titik puncak kebahagiaan Gendhis adalah senyuman Ibu. Nggak ada yang lain dari itu!"

Santi semakin terharu.

"Gendhis."

"Iya, Bu?"

"Ada hal yang ingin Ibu tanyakan."

"Apa itu, Bu?"

"Ini soal Dewa."

Keningnya mengernyit. Dia menoleh ke ibunya.

"Kenapa Pak Dewa, Bu?"

"Dia baik sekali padamu."

"Iya, Bu. "

"Apa kira-kira Dewa itu suka padamu?"

Mata indah Gendhis membeliak. Parasnya memerah dengan bibir mengatup.

"Ibu, kenapa Ibu mengambil kesimpulan seperti itu?" Dia menggeleng cepat. "Pak Dewa itu memang orangnya baik, Bu. Itu aja."

"Kamu yakin?"

"Kenapa, Bu?"

Santi menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum. Entah mengapa dia suka dengan sikap Dewa yang begitu santun dan sangat murah hati.

"Ibu akan bahagia kalau kamu memiliki pendamping seperti Dewa."

Gendhis mengabaikan ucapan ibunya, dia berpura-pura tak mendengar.  Bukan dia tidak tahu apa yang dimaksud sang ibu sejak membuka pembicaraan tadi, tetapi tentu saja hal itu jauh dari mungkin, lagipula dirinya akan sangat malu jika memang itu terjadi, karena utang yang dia miliki kepada pria yang memiliki hidung mancung itu sangat banyak.

Bukan hanya rupiah, tetapi utang budi yang begitu besar. Mengingat itu, kembali di memorinya muncul saat dia pingsan.  Rasa malu yang mendalam kembali menyeruak, mengingat itu, mendadak wajahnya merona.

"Memalukan," gumamnya lirih.

**

Lagu Indonesia Raya dikumandangkan, satu titik air mata jatuh membasahi pipi Santi. Perjalanan yang tak mudah hidup bersama kedua anaknya dengan status yang tidak jelas pelan-pelan terbayarkan. Meski harus membungkus malu karena harus menerima uluran tangan orang lain, tetapi tekad untuk memperbaiki hidup dan menebus rasa malu itu menjadikan dia dan Gendhis kuat.

Kepergian Kakak Gendhis adalah pukulan berat kala itu, terlebih kondisi Rezky yang betul-betul masih sangat membutuhkan ibunya. Akan tetapi, Gendhis selalu ada untuk keponakannya itu. Apa pun jika berkaitan dengan Rezky, dia selalu mengusahakan agar bocah kecil itu bisa bahagia.

"Ibu tenang aja, Gendhis akan bayar pelan-pelan semua utang kita ke Pal Dewa. Ibu nggak usah terlalu banyak memikirkan soal ini ya, Bu. Yang penting ibu happy dan sehat, iyu sudah bikin Gendhis semangat." Ucapan putri keduanya itu kembali terngiang.

Prosesi wisuda berlangsung, lagi-lagi maya Santi tak bisa menahan genangan air di dalamnya. Bulir bening itu kembali menetes saat nama Gendhis disebut.

"Nenek nangis?" Suara Rezky terdengar. Cucunya itu terlihat heran.

"Nenek sedang bahagia, Rezky."

"Bahagia kok nangis?" tanyanya polos.

Tak menjawab, Santi memeluk bocah itu lalu mengecup puncak kepalanya.

"Rezky jadi anak yang baik dam saleh ya, Nak."

"Iya, Nek."

**

Robi mengamati beberapa hasil kerajinan yang sudah siap dikirim. Beberapa waktu lalu dia dan tim sudah mempromosikan ke beberapa mal dan tempat-tempat yang memungkinkan agar produk kerajinan tangan dari enceng gondok itu biasa dipakai. Ternyata pihak konsumen cukup antusias bahkan ada beberapa dari luar negeri sudah mulai menjajaki kerja sama dengan mereka.

"Berkah nggak sih, Wa, kita kenal sama mereka?"

Robi membalikkan badan menatap rekannya yang duduk menghadap laptop.

"Mereka siapa?"

"Sari dan timnya. Ya seperti simbiosis mutualisme gitulah!"

"Ya kalau simbiosis mutualisme itu sudah hal biasa dalam bisnis. Lo kayak baru masuk dunia kayak gini, Rob!"

Robi nyengir.

"Ya, setidaknya aku pada awalnya dulu nggak begitu yakin. Jujur aja karena  selain pesaing ada, meski nggak banyak, aku pikir hal yang berbau home made jarang dilirik karena biaya yang besar dan you know lah, orang-orang kita ini banyak yang mau serba instan. Maunya sat set langsung dapat cuan."

Dewa mengalihkan pandangannya ke Robi lalu kembali ke laptop.

"Ternyata dugaanku salah. Mungkin karena ada hal lain yang menjadi muatan produk ini jadi banyak diminati," imbuhnya.

"Muatan? Muatan apa maksudmu?" Dewa kembali menatapnya.

"Ya niatan karena ingin mensejahterakan masyarakat di tempat itu dan ...." Dewa menggantung kalimatnya. Mata pria itu membalas tatapan Dewa dengan bibir menahan tawa.

"Dan apa?"

"Asmara mungkin!" celetuk Nino yang sejak tadi sibuk dengan angka-angka di laptopnya

**

Dua part yaa. Terima kasih. Semoga sukaaa 🫰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top