SKSB
"Gendhis, tamu paling pojok ya, yang baru datang itu, dia minta cofe noir."
Tak menyahut, perempuan berambut sebahu itu mengambil biji kopi yang dibutuhkan untuk digiling di mesin penggiling kopi. Sesekali dia mengangguk saat Dila rekannya kembali menyampaikan pesanan pelanggan.
Gendhis Ranti Anjani, perempuan bermata indah, berhidung mancung, berkulit sawo matang adalah mahasiswi semester akhir jurusan publik relation. Dua bulan lagi dia akan diwisuda, sementara penghasilannya bekerja di koffe shop dan guru privat masih sangat jauh dari kata cukup.
Jika dia menggantungkan pada sang ibu, tentu akan lebih memberatkan karena selama ini dia kuliah tanpa meminta uang sepeser pun kepada ibunya. Karena sang ibu juga harus membiayai sekolah Rezky, keponakannya, anak dari almarhum Widuri sang kakak.
Santi, ibu Gendhis adalah seorang penjahit yang penghasilannya tak menentu, sementara ayah Gendhis entah di mana. Karena sejak kecil, dia gak pernah tahu sosok sang ayah. Konon menurut cerita Bulek Murni adik ibunya, ayah Gendhis seorang abdi negara yang memilih tak kembali dari tugasnya karena telah menikah dengan perempuan lain di luar pulau. Meski terakhir dia dengar ayahnya itu sudah berada di kota yang sama dengannya saat ini.
"Gendhis! Udah belum?" Dila mencolek lengannya.
"Udah, ini."
"Gendhis, pelanggan kita itu pesan cofe noir, bukan espresso!"
"Hmm? Cofe noir ya? Bukannya tadi kamu bilang ...."
"Ck! Gendhis, yang espresso itu bukan dia, tapi yang pesan barusan."
"Oh, sori, Dila. Aku bikinin lagi."
Dila hanya menghela napas. Belakangan ini memang rekannya itu sering melamun sehingga beberapa pesanan terkadang harus dia ingatkan lagi. Beruntung ada Hardi yang menjadi rekan satu timnya yang juga mampu meracik kopi selihai Gendhis. Akan tetapi, untuk saat ini, pria itu tengah izin karena sakit.
"Please, Gendhis, dia ini pelanggan tetap. Kamu pasti paham, 'kan?"
Sekilas dia memalingkan pandangan ke pojok ruangan. Tampak pria berkemeja putih itu tengah menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Dari garis wajahnya, tak bisa dipungkiri jika pria pelanggan kafenya adalah dari golongan orang berpunya. Seringkali pria itu meninggalkan beberapa lembar uang ratusan ribu di meja sesaat sebelum meninggalkan kafe ini.
"Oke, nanti aku yang kasi ke dia, sekaligus meminta maaf karena pesanannya terlambat."
Dila mengangguk lalu kembali ke tempatnya.
Segelas cofe noir sudah siap, pria itu memang selalu memesan koffe yang sama hampir setiap hari. Entah kenapa hari ini terbesit di kepala Gendhis untuk menawarkan minuman kopi yang lain untuknya. Karena menurut Gendhis ada banyak varian kopi yang enak hasil racikannya yang harus dinikmati oleh pria kaya seperti dia.
Menarik napas dalam-dalam, Gendhis melangkah mendekati meja di pojok ruangan. Pria itu tengah sibuk dengan laptop dan sesekali meraih ponselnya seperti tengah membalas pesan.
"Selamat sore, mohon maaf, Pak, kopi yang Anda pesan terlambat, ini murni kesalahan dari saya," sapa Gendhis ramah sembari meletakkan secangkir kopi pesanan pria tersebut.
"Hmm." Tanpa menoleh pria itu mengangguk.
Melihat reaksi datar dari pria itu membuat Gendhis bernapas lega, karena tadindia berpikir jika pria itu akan protes.
"Tunggu!" Suaranya mencegah Gandhis mengayun langkah.
"Jangan kamu kira aku bisa menerima keterlambatan ini! Kafe ini kusinggahi karena rasa dan ketepatan waktu yang tidak dimiliki oleh kafe lain yang kutahu, tapi hari ini kamu menghancurkan rasa percayaku!" Dia mengangkat wajah menelisik Gendhis yang mematung memegang nampan di dadanya.
Telapak tangan Gendhis mulai berkeringat, gak ini selalu terjadi jika emosinya tidak stabil.
"Maaf, Pak. Saya tadi ... atau bagaimana jika saya beri kopi racikan saya yang lain? Sebagai permintaan maaf saya, saya jamin Anda pasti menyukainya," tuturnya mencoba bernegosiasi meski sanga khawatir.
Pria di depannya itu menautkan alisnya sembari menyeringai.
"Kamu pikir saya bisa disogok? Saya tahu siapa pemilik tempat ini, dan saya bisa langsung melaporkan hal ini padanya!" Dia mulai mengancam. "Jonathan, 'kan? Koffe shop ini milik Jonathan Prawira."
Kekhawatiran Gendhis semakin memuncak, karena Pak Jonathan paling tidak suka dengan karyawan yang terdeteksi tidak disiplin dan tidak fokus.
Tak menyangka jika usulannya untuk meminta maaf menjadi bumerang, mata Gendhis berkaca-kaca. Pikirannya mulai liar berandaim jika benar ancaman itu, bagaimana dia harus membayar uang kuliah yang masih menunggak satu semester dan uang untuk wisuda?
"Pak, bukan itu maksud saya, saya bukan hendak menyogok, tapi saya hanya berharap Anda bisa memaafkan saya jadi ...."
"Tapi caramu itu licik seolah saya orang yang mudah dihasut!
Gendhis menunduk, dia mengeratkan jemari mencengkeram nampan. Sungguh semua permasalahan pelik ini membuat kacau.
"Maafkan saya, Pak," tuturnya lirih.
Kembali pelanggan yang memiliki rahang kokoh itu menyeringai seolah puas membuat ketakutan pada Gendhis.
"Memangnya kopi apa yang bisa kamu beri ke aku sebagai permintaan maaf?" Pria itu terlihat menantang meski sebenarnya lebih kepada ingin tahu.
"Apa aja, Bapak mau kopi apa?" Cepat dia menanggapi. "Setahu saya Bapak selalu pesan cofe noir, mungkin Bapak bisa mencoba coba Kopi Americano. Rasa yang mirip dengan kopi hitam atau cofe noir. Tapi Americano terdiri dari espresso shot yang diencerkan dengan air panas," paparnya antusias tak peduli pria yang tengah menatapnya itu paham atau tidak.
Melihat ekspresi Gendhis yang tak lagi ketakutan, bahkan kini tampak antusias menjelaskan kopi yang dia rekomendasikan kepadanya, pria itu kini justru penasaran.
"Oke, oke! Nggak perlu kamu menjelaskan, karena aku tidak terbiasa dengan semua penjelasan itu. Aku cuma penikmat, bisa kamu tunjukkan seenak apa kopi' yang kamu jelaskan itu?"
Melangkah mundur, dia berlari kecil menuju kitchen setelah mengucapkan terima kasih dan meminta agar pria tersebut bersabar sebentar.
[Dewa, segera ke kantor! Papa mau bicara!"]
"Ck!" Pria bernama Dewa itu mengusap wajahnya kesal. Bagaimana mungkin dia harus kembali ke kantor sementara dia sudah lelah setelah seharian meeting bersama klien.
[Pa, kita ketemu di rumah Papa aja ya. Ini sudah sore.] Ketiknya.
[Nggak bisa! Cepat ke kantor! Papa tunggu!]
Sadewa Danaraja, pria yang hendak menyesap kopinya itu kembali meletakkan cangkir ke meja. Dia tahu jika sang papa sudah membuat kalimat perintah itu artinya tidak ada alasan yang bisa membuat dia berubah pikiran. Bangkit dari duduk dengan cepat dia mengemas laptop, setelah semua masuk tas, tak lupa seperti biasa di meletakkan beberapa lembar rupiah berwarna merah di bawah cangkir kalau melangkah keluar tanpa berkata apa pun, bahkan sepertinya dia tidak peduli dengan antusias Gendhis yang sedang menyiapkan kopi Americano untuknya.
Dila menggeleng kecil melihat kopi yang tak tersentuh dan tiga lembar uang seratus ribuan yang diselipkan dibawah cangkir. Dari sekian banyak pelanggan, memang cuma satu orang itu yang sangat loyal dan terkesan membuang-buang uangnya jika berada di tempat ini. Bagaimana tidak, setiap sore pria itu datang, memesan kopi' yang sama menyesapnya tanpa memesan apa-apa lagi setelah itu pergi dan tak lupa meninggalkan tips untuk mereka.
"Dila? Ke mana orang yang ...."
"Sudah pergi. Ini ... seperti biasa, dia meletakkan di bawah cangkir." Rekannya itu menunjukkan lembaran rupiah kepadanya. "Kamu ngapain?" selidik Dila.
"Dia tadi ingin tahu rasa kopi Americano, dan ... kenapa tiba-tiba pergi?" Gendhis heran.
"I don't know! Udah bawa balik!"
Meski kesal karena jerih payahnya tak bisa dia buktikan, tetapi Gendhis merasa lega karena pria itu tak lagi mempermasalahkan keterlambatan pesanannya tadi.
**
Sesuai janji, kisah ini aku persembahkan untuk pembaca setiaku🤍
Semoga suka dengan kisah ini juga yaaa.
Selamat membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top