SKSB 13

"Oma! Ayo, Miss Gendhis mau pulang! Mendung  nih, nanti Miss kehujanan di jalan!' Suara Helen menyudahi percakapan ibu dan anak.

"Iya, iya."

Dewa menyipitkan matanya. "Gendhis?" gumamnya lalu bangun dari duduk dan melangkah meninggalkan tempat itu. 

"Hati-hati ya, Miss," pesan Erlin.

Mengangguk sopan, dia melangkah menuju pintu keluar. Tepat saat Dewa muncul di ruang tamu.

"Gendhis?"

Suata Dewa membuat Erlin, Helen dan tentu saja Gendhis menoleh.

"Om kenal Miss Gendhis?" Helen mendongak.

"Pak Dewa?" sahutnya dengan wajah sangat terkejut.

"Kalian sudah saling kenal?" Erlin mengamati keduanya

"Sudah, Ma. Kebetulan Gendhis ini salah satu penggerak UKM di tempat tinggalnya. Dan sekarang sedang kami tangani proses produksi, promosi, dan pemasarannya," jelas Dewa.

Erlin mengangguk sembari tersenyum. Suara guntur menggelegar, langit semakin gelap. Angin pun sudah membawa aroma petrikor.

"Saya ... saya pamit pulang, Oma, Pak Dewa. Helen, Miss pulang dulu ya."

"Iya, Miss. Hati-hati ya," pesan gadis kecil itu.

Dia mengangguk menatap Erlin dan Dewa sembari mengucap salam.

**

Angin datang lebih kencang disertai gerimis kecil. Gendhis memeluk tasnya menghalau rasa dingin yang menggigit. Duduk di halte menunggu kendaraan yang menuju ke kediamannya adalah hal biasa setelah motor satu-satunya rusak dan belum bisa memperbaiki karena keuangan yang tidak memungkinkan.

Satu per satu penumpang yang menunggu ke tujuan mereka masing-masing sudah 'dijemput' kendaraannya. Hujan mulai deras, sementara di halte hanya tersisa tiga orang termasuk Gendhis. Petir berkilat seakan membelah langit. Sementara kendaraan yang dia tunggu belum juga tiba.

Gendhis mulai khawatir, karena hanya dia perempuan yang ada di halte itu, sedangkan suasana mulai sepi.

"Mau ke mana, Neng?" Seseorang dari pria di situ mendekat.

"Ke rumah!" sahutnya acuh sembari membuat jarak.

Seringai muncul di bibir pria berjaket kulit itu.

"Rumahnya di mana?"

Tak menjawab, Gendhis hanya tersenyum. Sementara satu pria lagi tampak acuh, dan lebih fokus pada ponselnya.

"Dari mana tadi?" Kembali pria itu bertanya

"Dari rumah ... teman!"

"Oh, temannya di Komplek Grand Paradise itu?"

Dia mengangguk.

"Grand Paradise itu rumahnya gede-gede, ya."

Dia tersenyum singkat, Gendhis semakin takut saat pria yang tadi sibuk dengan ponsel itu menaiki kendaraan yang baru saja muncul di depan mereka.

"Jangan-jangan kita satu arah ini," tutur pria itu lagi-lagi menyeringai.

Menarik napas dalam-dalam, dia tersenyum tipis, berharap pria itu diam dan menjauh. Namun, dia salah dan harapannya sia-sia. Pria itu semakin mendekatinya. Matanya terlihat seolah ingin melahapnya. Dia mulai resah, jika pria itu macam-macam, tak ada pilihan lain selain berteriak dan berlari sekencang-kencangnya, atau kembali ke rumah Helen.

Saat mulai terdesak, muncul mobil putih yang sangat dia kenal. Dewa muncul membawa payung mendekati Gendhis lalu  meraih tangan perempuan itu.

"Ayo pulang!" titahnya sembari menatap tajam pada pria yang mendadak mundur dan menjauh dari Gendhis. "Anda bisa saya tuntut dengan pasal pelecehan kalau saya mau! Tapi sayangnya saya sedang tidak mood! Lagipula rasanya nggak mungkin Anda membayar pengacara untuk membela Anda!" sergahnya ketus

"Ayo masuk!" Menggandeng tangan Gendhis, Dewa membukakan pintu untuk perempuan itu.

Lega dan tidak menyangka jika dirinya bisa selamat dari gangguan pria di halte tadi membuatnya menangis.

"Nggak usah cengeng!" ujar Dewa saat mobil mulai berjalan.

"Terima kasih, Pak. Bapak lagi-lagi menyelamatkan saya," tuturnya sambil mengusap air mata.

"Kamu lupa semua itu nggak gratis?"

Tersenyum tipis, dia mengangguk.

"Saya ingat, Pak."

Dewa tersenyum tipis.

"Mau langsung pulang?"

Gendhis bergeming, sebenarnya hari ini adalah hari terakhir kesempatannya untuk membayar wisuda, berulang-ulang pesan dan panggilan dari bagian administrasi menghubunginya tadi. Karena tidak ada jawaban untuk mereka selain maaf, Gendhis memutuskan untuk tidak mengangkat telepon atau membaca pesan itu.

Empat tahun berjibaku dengan buku dan materi kuliah, berharap bisa membuat ibunya tersenyum dan berfoto berdua sebagai kenangan harus pupus. Meski mungkin ibunya sudah bahagia, tetapi tentu kebahagiaan itu akan sempurna jika melihat kerja kerasnya untuk kuliah tuntas sudah.

Gendhis menjerit kecil ketika Dewa mengerem mendadak. Dia menoleh menatap pria di balik kemudi lalu kembali melihat ke depan.  Mereka sudah berada di pinggir jalan.

"Kenapa berhenti, Pak?" tanyanya heran.

"Kamu kenapa melamun? Nggak dengar tadi aku tanya apa?"

"Maaf, Pak, saya ...."

"Kenapa?"

Menarik napas dalam-dalam, dia seperti mengumpulkan keberanian untuk meminta tolong lagi kepada Dewa. Entah kenapa, meski Dewa kadang bersikap santai dan bahkan terkadang menjengkelkan, dia tidak merasa berada dalam tekanan.

"Boleh saya bercerita sesuatu?"

Menautkan kedua alisnya, Dewa mengangguk.  "Silakan!"

Gendhis mengatur napasnya kemudian mulai menceritakan problem yang tengah mengganggu pikirannya.

"Jadi? Kamu nggak bisa ikut wisuda karena tunggakan itu tadi?"

Dia mengangguk pelan.

"Berapa nomor rekeningnya? Aku kirim sekarang!"

Mata Gendhis membulat tak percaya. Meskipun jauh dalam hati dirinya ingin bersorak , tetapi tetap saja respon Dewa telah membuat dunianya terasa cerah kembali.

"Bengong lagi?"

"Oh, iya. Terima kasih, Pak. Tapi ...."

"Apa?"

"Bagaimana cara saya membayar semuanya?"

"Terserah, asal kamu punya niat, pasti bisa!"

Gendhis mengangguk, dia lalu menyebutkan nomor rekening yang diminta Dewa. Tidak menunggu lama, sejumlah yang yang menjadikan syarat untuk dirinya bisa ikut wisuda sudah terkirim. 

"Bukti transfer sudah aku kirim ke ponselmu barusan!"

Kembali dia mengucapkan terima kasih.

"Kapan acaranya?"

"Sepuluh hari lagi."

Dewa mengangguk.  "Oke, selesai! Kamu harus segera pulang!"

"Pak Dewa."

"Ada apa lagi?"

"Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena sudah begitu banyak membantu saya. Saya nggak tahu kalau nggak ada Bapak ... saya ...."

"Membantu itu sudah menjadi kewajiban untuk siapa yang bisa. Kebetulan aku bisa, dan kamu perlu dibantu, itu semua biasa saja. Kamu nggak perlu berulangkali mengatakan terima kasih!"

"Saya janji, kapan pun Bapak butuh bantuan, saya pasti usahakan ."

Tak menjawab Dewa hanya menaitkan alis dan sedikit menaikkan kecepatan kendaraannya.

**

Seorang perempuan terlihat berseri-seri saat menginjakkan kaki kembali ke negaranya setelah bertahun-tahun berada di benua lain.

"Kamu bahagia, Karina?" tanya pria bertubuh tinggi dengan kepala hampir tak berambut.

"Bahagia dong, Pa!"

"Ini, 'kan yang kamu mau? Kembali ke Indonesia dan kembali bertemu Dewa?"

Pipi Karina merona. Delapan tahun dia berpisah dengan harapan dan tujuan hanya kembali untuk bertemu dan bersama Dewa. Sungguh penantian yang tidak bisa dikatakan mudah.

Jika boleh jujur sebenarnya Karina hampir mengubur dalam-dalam niat dan janjinya itu, tetapi entah kenapa perasaan yakin dan percaya pada Dewa begitu kuat menancap di hati meskipun dirinya tak tahu apakah hak yang sama juga dirasakan oleh Dewa teman masa sekolah menengah pertamanya itu.

**



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top