SKSB 11

Acara pagi jogging bersama begitu dinikmati oleh Gendhis. Dia berusaha mengabaikan apa yang terjadi semalam. Setidaknya acara terakhir di tempat ini dirinya akan bersungguh-sungguh menolong Dewa seperti apa yang seharusnya dia lakukan. Namun, sepanjang acara pagi itu, dirinya tidak melihat Dewa.

Pun demikian saat sarapan, Gendhis tidak juga melihat sosok Dewa di sana.

"Mbak Fio."

"Hai, Gendhis, gimana? Gimana? Udah baikan?"

"Sudah, Mbak. Eum ... Mas Dewa ke mana ya?" tanyanya ragu.

Fio mengedarkan pandangan.

"Iya juga ya, tadi nggak ikut jogging. Eum ... apa masih tidur?"

"Tidur di mana, Mbak?"

"Aku kurang tahu, tapi coba kamu tanya Robi!" Dia menunjuk rekan Dewa yang tengah bercakap-cakap dengan istrinya.

Setelah mengucapkan terima kasih, Gendhis mengayun langkah mendekati Robi.

"Dewa? Iya, semalam dia tidur di sofa sih, tapi coba kamu cari di mobil, Dis!" jawab Robi saat ditanya.

Mengangguk bergegas dia meninggalkan tempat itu menuju di mana mobil diparkir. Tidak sulit menemukan mobile Dewa karena bisa dibilang mobil pria itu yang paling berbeda . Selain dari harga yang mahal, karena keamanan dan mesinnya yang juara, plat nomornya juga khusus dipesan Dewa seperti yang dia inginkan.

Benar apa yang dikatakan Robi, Dewa masih terlelap di sana. Ada perasaan bersalah di hati Gendhis. Awalnya dia merasa kesal karena Dewa sudah berbuat jauh dari apa yang seharusnya, tetapi pagi ini pria itu menunjukkan jika dia benar-benar hanya menolongnya agat bisa segera siuman.

Setelah melihat sekeliling, dia mengetuk kaca jendela mobil sembari memanggil nama Dewa berulang-ulang. Cukup lama Gendhis berdiri di tempat itu, karena sepertinya Dewa memang tertidur sanga pulas. Akan tetapi setelah dia sedikit mengangkat suara, akhirnya Dewa membuka matanya.

"Kenapa?" Dewa membuka pintu menatap perempuan yabg masih mengenakan baju olahraga dengan rambut dikuncir ekor kuda.

"Maaf, Pak, sudah waktunya sarapan," jawabnya ragu.

"Kita balik segera setelah aku mandi!" Dewa beranjak keluar mobil lalu menutup pintunya.

"Kamu sarapan aja dulu. Aku mandi!"

"Pak."

"Apa?"

"Terima kasih."

"Untuk apa?"

"Bapak sudah menolong saya."

"Sudah tanggung jawabku. Karena kamu pergi bersamaku." Dewa memberi isyarat agar Gendhis kembali ke villa untuk sarapan.

**

Awalnya setelah sarapan Dewa mengira jika acara sudah selesai, ternyata masih ada satu acara lagi yang harus mereka ikuti.

"Deskripsikan pasangan kalian masing-masing! Yang paling menarik akan dapat sesuatu yang gue jamin bikin kalian happy!"

Gendhis menggigit bibirnya, kali ini dia tidak boleh mengecewakan Dewa. Paling tidak meski tidak mendapatkan sesuatu yang dibilang Fio, dia tidak boleh membuat pria itu kesal.

"Sekarang kalian duduk, nanti akan dipanggil berpasangan, dan duduk di sofa ini!" Ucapan Fio membuat Dewa menarik napas dalam-dalam.

Sati per satu sudah maju mendeskripsikan pasangan masing-masing. Giliran Dewa dan Gendhis. Meski kesal dengan permainan yang menurutnya absurd dan tidak masuk akal, tetapi mau tidak mau dia harus mengikutinya.

Dewa mengulurkan tangan mengajak Gendhis. Terlihat ragu, Gendhis bangkit menyambut tangan Dewa. Mereka lalu duduk di sofa yang sudah disediakan.

"Baik, sepertinya kalau  menurut gesture mereka ini ... kayaknya baru jadian ya, Wa?" Fio menatap Dewa sambil menautkan alis.

Tak menjawab, Dewa membuang napas perlahan dari mulutnya.

"Oke, pertanyaan pertama untuk Gendhis!"

"Aku harap kamu bicara yang baik-baik!" bisik Dewa.

"Apa yang kamu sukai pada pasanganmu? Selain baik ya."

Gendhis merasa seluruh tubuhnya membeku, karena harus berpikir cepat atas pertanyaan itu.

"Eum ... perhatian."

Seluruh peserta reuni yang berada di ruangan sontak bersorak sambil bertepuk tangan. Karena mereka tahu perhatian memang salah satu kebiasaan Dewa sehingga membuat para cewek jatuh cinta.

"Oke, so sweet!" Fio bertepuk tangan.

"Lalu ... apa yang tidak kamu sukai pada Dewa?"

Gendhis menoleh, mata mereka saling menatap. Gendhis memang belum tahu jauh tentang Dewa, tetapi yang dia tahu Dewa murah hati meski sikapnya terkadang menyebalkan.

"Gendhis?" Suara Fio mengalihkan pandangannya.

"Yang nggak aku suka ... kadang nyebelin!"

Tawa bergemuruh, tak terkecuali Robi yang duduk di bangku paling depan.

"Maaf, Pak," bisiknya sebelum pertanyaan yang sama diberikan kepada Dewa.

"Harus, ya gue jawab?" Dewa menatap Fio.

"Harus dong!"

"Yang aku sukai ... dia mandiri, dan yang nggak aku sukai ... dia nggak percaya diri."

Dewa menatap perempuan yang juga tengah menatapnya. Ada senyum tipis di bibir Dewa sebelum akhirnya mereka berdua bangkit dengan Dewa yang terus menggenggam tangan Gendhis.

"Jadi aku nyebelin ya?" tanyanya saat mereka keluar ruangan.

"Maaf, saya nggak tahu harus bicara apa tentang hal yang tidak saya sukai, tapi ... terkadang sedikit menyebalkan." Gendhis merapatkan bibirnya.

Dewa tersenyum tipis.

"Aku mandi, kamu mau ke mana?"

"Saya mau jalan-jalan di sekitar villa."

"Oke!"

**

Gendhis menutup mata dengan kedua tangannya saat melihat Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dada bidang, lengan kokoh, dan perut kotak-kotak adalah ciri khas pria yang suka berolahraga. Dan satu lagi, ada terlihat bulu-bulu halus di dada Dewa. Dan semua itu muncul di hadapan Gendhis.

"Bapak mandi di sini?" tanyanya masih dengan menutup mata.

Dengan langkah santai Dewa mengambil baju yang ada di tas kecil miliknya. Sembari mengenakan t-shirt putih dia mengangguk.

"Kenapa? Nggak boleh. Aku cuma mandi."

"Bo ... boleh, Pak. Eum ... saya keluar dulu. Maaf."

"Nggak perlu. Kamu cepat mandi! Sebentar lagi kita balik!" titah Dewa.

"Oh iya, pulang dari sini, kamu ikut aku ke rumah sebentar, ada beberapa berkas untuk Desi yang harus dia baca dan pelajari terkait perjanjian kerjasama."

"Baik, Pak."

"Kamu nggak capek, 'kan?"

"Capek? Nggak, Pak."

"Bagus. Eum ... jangan berpikiran macam-macam, aku hanya tidak ingin kamu pingsan lagi nanti!"

Dewa mengemas barangnya kemudian melangkah ke pintu.

"Jujur itu sangat merepotkan!" tuturnya sesaat sebelum keluar dari kamar.

**

Perjalanan pulang tidak semacet yang dibayangkan. Mobil berjalan mulus tanpa gangguan yang membuat mood Dewa buruk. Tak henti-hentinya Gendhis melangitkan dia agar mereka segera tiba di tempat yang dituju. Jika semua lancar itu berarti dia pun akan cepat sampai di rumah.

[Gendhis, lo beneran nggak bisa ikut wisuda?] Satu pesan masuk diterima dari Yani rekan kuliahnya.

[Nggak, Yan. Aku udah mentok. Semua sudah aku upayakan, tapi nggak ada lagi yang bisa kulakukan selain membiarkan semua terjadi.]

[Dua pekan. Masih ada waktu untuk segera menyelesaikan semuanya, Dis.]

[Entah, Yan. Aku nggak bisa bicara apa-apa lagi.]

Chatting berakhir saat Yani mengirim stiker menangis.

"Jonathan bilang kamu mau wisuda sebentar lagi?"

Gendhis mengangguk pelan.

"Good!"

Gendhis tersenyum tipis kemudian menatap ke luar jendela. Ada genangan di matanya mengingat seharusnya dia bisa berfoto bersama ibunya sebagai suatu kebanggaan, tetapi semua harus pupus karena urusan administrasi yang belum selesai.

**


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top