SKSB 10

Malam merangkak naik, Gendhis memutuskan undur diri kembali ke kamar, sebab dia merasa tubuhnya sudah begitu letih dan dia memang tidak begitu kuat dengan udara dingin.

"Acara masih belum selesai dan kamu mau berhenti?" Dewa menatap tajam saat mengantar perempuan itu kembali ke kamarnya.

"Maaf, Pak, tapi kepala saya pusing sekali," keluhnya meringis menahan sakit. "Maaf, saya boleh melepas sepatu?" Dia menoleh menatap Dewa. "Saya nggak terbiasa."

"Kamu beneran sakit? Kamu pucat, Gendhis!" Dewa mengangguk menyetujui Gendhis melepas sepatunya.

"Maafkan saya, Pak. Saya tidak bisa mengikuti semua acaranya."

"Aku akan memikirkan ganti ruginya nanti, karena gaun yang aku berikan itu tidak murah!" Kembali Dewa muncul sifat arogannya.

"Oke. Saya akan lakukan itu, tapi sekarang saya ...." Gendhis membuang napas dari mulut saat merasa dunia mulai berputar.

Sedetik kemudian tubuhnya melunglai tak berdaya, hampir saja dia jatuh terduduk jika Dewa tak segera menangkapnya.

"Sial! Gendhis, Gendhis bangun!" panggilnya sembari mencoba membopong tubuh perempuan itu. "Ya Tuhan! Gendhis!"

Dewa membawanya masuk kamar, beruntung kamar itu tidak jauh dari tempat mereka. Perlahan dia meletakkan Gendhis di ranjang. Pria yang  memiliki alis tebal itu berusaha menelepon Robi, tetapi sia-sia. Tak ada tanda-tanda Robi mengangkat teleponnya.

Dewa mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tidak ada apa pun yang bisa membantu Gendhis sadar. Dia mengambil ke tas milik Gendhis yang ada di meja, dia berharap menemukan sesuatu yang bisa membantunya.

"Syukurlah!" Menarik napas dalam-dalam, dia membuka botol minyak kayu putih, menuangkan ke telapak tangannya.

Namun, gerakannya berhenti kala menyadari jika dia harus mengusap minyak itu ke dada Gendhis.

"Nyusahin sumpah!" gerutunya sembari duduk di bibir ranjang.

Dewa mengambil tisu lalu kembali meneteskan minyak kayu putih iyu di atasnya. Seperti yang sering terjadi, seseorang yang pingsan akan tersadar jika menghirup aroma yang menusuk. Akan tetapi, gagal. Gendhis tetap terpejam.

"Gendhis bangun, please! Kamu kenapa sih? Pakai acara pingsan segala?" rutuknya. "Sori, aku terpaksa melakukan ini." Dewa secara perlahan mengusap dada Gendhis agar dia merasa hangat dan segera tersadar. Dia mengusapkan minyak itu tanpa melihat.

Setelah dirasa cukup, cepat dia beranjak sedikit menjauh dan kembali memanggil nama Gendhis.

"Bangun, Gendhis!" Kali ini dia sedikit membungkuk sembari menepuk pipinya.

Gendhis mulai bereaksi, dia perlahan membuka mata.

"Bapak? Bapak ngapain di sini?" Mata indahnya membulat. Seperti sadar ada aroma minyak kayu putih menyeruak dan dadanya terasa hangat, cepat Gendhis bangkit menarik selimut.

Sementara Dewa diam, dia hanya menatap tajam pada Gendhis.

"Bapak, oh nggak! Bapak tadi ...."

"Kamu jangan mikir macam-macam! Di sini nggak ada orang selain aku sama kamu. Kamu pingsan, aku nggak bisa menghubungi Robi atau teman yang lain."

Mulut Gendhis ternganga, dia lebih menarik selimut seakan ingin bersembunyi dari tatapan Dewa.

"Kalau aku nggak melakukan apa yang seharusnya aku lakukan ... kamu nggak mungkin bisa sadar secepat ini," tuturnya datar.

Pria itu melangkah ke pantry, mengambil air hangat dari dispenser.

"Minum dulu! Aku nanti suruh Fio mengambil makanan dan teh hangat buatmu!" Dia meletakkan gelas berisi air hangat di meja.

"Aku tinggal. Kamu nggak apa-apa, 'kan sendirian?"

Gendhis mengangguk pelan. Jujur saat ini giliran perutnya yang melilit. Akan tetapi, dia tidak mungkin mengutarakan hal yang dia alami, karena sudah pasti itu akan mengganggu acara Dewa. Pingsannya dia saja sudah cukup membuat pria itu gusar. Apalagi jika dia mengatakan nika perutnya melilit. Sudah pasti Dewa akan lebih kesal lagi.

"Kenapa lagi?" selidiknya saat Gendhis menggigit bibir.

"Nggak apa-apa, Pak. Terima kasih, maaf saya merepotkan."

"Akan lebih merepotkan kalau kamu nggak cerita kamu kenapa seperti sedang kesakitan!"

"Saya bisa minta tolong Mbak Fio untuk ke sini, Pak?"

"Oke, baguslah, jadi aku nggak repot!"

**

Fio terkekeh geli mendengar cerita Dewa, perempuan berkacamata itu gak henti-hentinya mengolok-olok Dewa yang dinilainya terlalu lugu untuk seorang player.

"Hilang ekspektasi gue ke elu, Wa!" ungkapnya masih dengan tawa yang berderai.

"Ck! Gue bilang, 'kan gie bukan player, tapi lo sama yang lain yang bikin julukan itu ke gue!"

Robi yang berdiri di samping Dewa hanya menahan senyum. Dia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Dea saat harus mengusapkan minyak kayu putih ke dada Gendhis.

"Gue jamin lo nggak bakal bisa tidur sampai besok, Wa! Gue yakin lo masih deg-degan sampai sekarang. Iya, 'kan?" ledeknya.

"Ck! Terserah kalian! Eum ... tapi dia nggak kenapa-kenapa, 'kan, Fi?"

"Tenang, dia nggak apa-apa, aki rasa cuma kecapean dan ...."

"Dan apa?"

"Dia datang bulan, jadi lo nggak perlu khawatir, cukup diam dan turuti kemauannya!"

"What?" Dewa mengernyit.

"Ck! Dengerin nih ya, buat lo yang belum married, Wa! Perubahan suasana hati atau mood swing merupakan salah satu tanda sindrom pramenstruasi atau PMS. Memasuki masa PMS sebelum menstruasi wanita akan lebih sering marah, mudah menangis tanpa sebab atau mudah sedih. Kondisi ini terkadang bisa membuat perempuan menjadi tidak nyaman dan kurang bersemangat untuk beraktivitas." Fio menaikkan alisnya membalas tatapan Dewa. "Paham? Lo nggak mau, 'kan kena semprot sama cewek lo?"

Tawa Robi pecah mendengar ucapan Fio. Dia lalu menyenggol lengan Dewa.

"Bersyukur dia cuma datang bulan, Wa. Kalau sampai dia sakit, malah bahaya. Masa lo bawa dia sehat terus balik ke rumah malah sakit?  Bisa-bisa lo dicurigai, Bro?"

"Eh udah hampir dini hari, gue ke kamar ya. Kasihan suami gue! Besok pagi agendanya joging! Jadi sebaiknya lo tidur sekarang. Bye!" pamit Fio meninggalkan mereka berdua.

Sepeninggal Fioleta, Dewa mengusap tengkuknya seraya membuang napas panjang. Dia lalu menghenyakkan tubuh di sofa besar yang yang ada di ruangan itu diikuti oleh Robi.

"Jadi? Lo nggak kenapa-kenapa, 'kan tadi?" ledeknya.

Dewa menggeleng lalu merebahkan tubuhnya.

"Lo yakin tidur di sini?"

"Kenapa nggak yakin?"

"Oke. Kalau gitu gue ke kamar ya, Wa. Kalau lo nggak bisa tidur, hubungi gue!"

"Hmm."

Dewa melipat kedua tangan di dada, lalu memejamkan mata.

**

Di kamar, mata Gendhis tak bisa terpejam. Kepalanya sudah tidak lagi pusing setelah diberi obat oleh Fio. Pun perutnya, sudah lebih baik dari sebelumnya.

Berulang kali dia menggeleng membayangkan betapa malunya dia jika esok bertemu Dewa.

"Lagian kenapa pakai pingsan segala sih!" gerutunya sambil menepuk dahi.

"Nggak, nggak! Itu tadi karena darurat, jadi sudah pasti Pak Dewa nggak bakal mikir macam-macam!" Kembali dia menggumam.

Dia kemudian beranjak dari ranjang menuju cermin rias. Menatap pantulan dirinya yang terlihat berantakan.

"Ini sungguh memalukan! Aku ada di sini untuk menolong Pak Dewa, tapi apa yang terjadi justru sebaliknya."

**




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top