7. Waktu Adalah Uang

Farraz masuk mobil sambil menutup pintunya lemah. Rasanya seluruh jiwanya terserap habis oleh sesuatu yang tak kasat mata. Melihat Dyra pergi begitu saja jelas membuatnya  merutuki dirinya sendiri.

Apa jadinya hubungan mereka jika Farraz berterus terang tadi?

“Seharusnya lo kejar dia.”

Farraz menatap Diaz dengan wajah berkerut, muram. Cowok itu seperti tukang ramal saja. Sok tahu tentang apa yang sedang Farraz pikirkan. Tapi, memang Diaz menebaknya dengan tepat, sih.

“Percaya sama gue kalau tadi udah gue coba. Tapi ternyata Dyra berubah jadi cewek yang tegas banget.” Farraz menunduk lesu. Sosok Dyra sudah hilang dari pandangannya sejak lima menit lalu. Meskipun begitu, sama sekali tak ada niatan bagi mereka untuk beranjak pergi dari sana. Lebih tepatnya, Farraz tidak ingin pulang.

“Terus, lo menyerah gitu aja?”

Farraz semakin bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan Diaz barusan. Pasalnya, ia sendiri tidak tahu apa penyebab Dyra tidak lagi menemuinya. Bagaimana pula awalnya sehingga mereka menjadi secanggung sekarang?

Padahal dulu hubungan mereka baik-baik saja. Mereka masih sering berbalas pesan atau saling mengunjungi rumah masing-masing. Tidak banyak hambatan, sebenarnya. Mereka hanya terpisah jarak tidak sampai ratusan kilometer. Sangat dekat, malah. Baik Farraz maupun Dyra tinggal di kompleks perumahan yang sama yaitu Perumahan Pucang. Mereka tinggal di satu kota yang sama juga, Sidoarjo.

Yah, meski sekarang Farraz sudah pindah rumah. Sejak kembalinya dari Jakarta empat tahun lalu, mereka sudah menempati rumah di Perumahan Sidokare. Entah Dyra masih tinggal di rumah yang dulu atau sudah pindah sepertinya.

Tapi, jika melihat mereka yang bisa bertemu lagi, intinya mereka tetap satu kota, kan?

Kenapa selama itu Farraz tidak pernah bertemu Dyra lagi? Empat tahun jelas bukan waktu yang singkat hingga menemui orang saja tidak bisa.

“Apa gue cerita aja kenapa tujuh tahun lalu gue ke Jakarta, ya?”

“Emang lo siap kalau Dyra tahu kelemahan lo? Kalau siap, jangan tunda waktu lagi,” sembur Diaz cepat.

“Lidah nggak punya tulang, ya!” balas Farraz tak kalah sengit.

“Ya habis lo ngomong nggak pakai mikir dulu. Kalau lo niat, harusnya dari tadi lo bilang. Kenapa malah biarin Dyra balik sendiri? Lo yang ngajak, harusnya lo juga yang nganter. Jadi cowok jangan lembek. Kalau lo menganggap Dyra penting, letakkan namanya di daftar paling atas bersamaan dengan Tante Luna.”

Diam-diam, Farraz membenarkan ucapan Diaz. Sebagai seorang laki-laki, tidak benar jika menyerah di tengah jalan. Apalagi urusan mereka belum ada yang tuntas satu pun. Tapi, saat melihat ekspresi kaku milik Dyra tadi, perlukah Farraz mengkaji ulang niatnya?

Bukan apa-apa, berbeda dengan dulu, Dyra yang sekarang menjadi pribadi yang sangat sulit ditebak. Jika dulu Dyra sama sekali tidak bisa menolak ucapan Farraz, jelas tidak untuk kali ini. Tadi saja Dyra menolaknya dengan tegas.

Jadi, apakah penyebab berubahnya sikap Dyra karena Farraz sukar berterus terang?

“Perlu lo tahu, Raz. Waktu balik tadi, gue lihat air mata di wajahnya.” Diaz memegang kemudi erat-erat. “Lo bisa tebak sendiri apa penyebabnya.”

“Karena gue nggak usaha dari dulu.”

“Kalau lo sayang dia, setidaknya sebagai sahabat lo satu-satunya yang nggak pernah nganggap lo cowok penyakitan, yang nggak pernah menatap lo dengan sorot kasihan, lo seharusnya jangan berhenti di satu tempat terus.”

Iya, Farraz tahu. Cukup Diaz mengatakannya sekali saja, jangan berulang-ulang.

“Masalahnya, Yaz. Semua keluarga gue bungkam setiap gue tanya soal Dyra—”

“Kan gue nggak diem aja. Gimana, sih?” sela Diaz. Duh, cowok satu ini kenapa sukanya sewot sejak tadi?

“Kalau nggak ada yang mau bantu lo, setidaknya lo usaha sendiri. Jangan bersikap seolah-olah lo cowok lemah karena punya penyakit. Nggak bisa hal itu dijadikan alasan, Raz!” sambung Diaz sekali lagi.

Farraz mengakui semua ucapan Diaz mengenainya telak. Ia tahu di mana letak kesalahannya. Tanpa perlu Diaz ulangi terus-menerus, Farraz sudah menemukannya.

Sorry kalau gue terlalu sok tahu. Gue juga baru aja tahu wajah Dyra. Hanya sebatas itu. Bagaimana sifatnya, kebiasaannya, gue sama sekali nggak tahu. Bukan gue yang jadi teman masa kecilnya dulu, tapi lo dan Mas Raka.” Diaz melihat Farraz dengan senyum yang dibuat menyebalkan, lalu menyambung ucapannya. “Tapi, Raz, gue aja bisa menebak dengan tepat. Masak lo nggak bisa?”

“Oke, besok gue bakal datang lagi,” putus Farraz akhirnya. Sejak tadi, ia biarkan suara Diaz memenuhi telinganya. Meskipun kedua organ pendengarannya itu panas karena serangan bertubi-tubi, Farraz jelas tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya.

Seperti kata Diaz barusan, tidak ada alasan mutlak bagi cowok yang tidak mau berusaha.

***

“Eh, Rain! Kamu kenapa?” Fifi menahan Dyra di lobi. Mungkin karena melihat Dyra dengan wajah sembab, bekas air mata di pipi, mata merah, dan kedua tangan yang mengepal sambil sesekali mengusap area mata saat masuk kantor ISY.

“Nggak apa-apa, Mbak.” Meski memaksakan seulas senyum, Fifi masih meneliti wajah Dyra. Kedua tangan cewek berambut pendek itu bertengger manis di bahu Dyra. Seperti memberi semangat dan menguatkan.

“Kamu habis bertengkar?” tanya Fifi lagi.

Dyra menggeleng. “Mas Rio mana, Mbak?” Duh, suaranya serak sekali. Padahal Dyra tidak menyangka air matanya akan tumpah saat di jalan menuju kantor. Waktu dibantu menyeberang oleh tukang parkir saja ia masih sanggup, tapi pertahanannya runtuh ketika hampir masuk kantor.

“Mending kamu cuci muka dulu, Ra. Wajahmu kacau banget.”

Dyra menurutinya, tapi baru saja hendak berbalik, Fifi memanggilnya lagi. “Oh, iya, Ra. Dua hari kemarin ada yang nyari kamu.”

Alis Dyra berkerut, merasa heran. Seingatnya, ia tidak pernah membuat janji dengan siapa pun. Kalau soal klien, mereka bisa langsung menghubungi ponsel Dyra tanpa perlu susah payah mencari ke kantor ISY.

“Siapa, Mbak?” tanya Dyra.

“Kalau itu aku nggak tahu. Orangnya kayak buru-buru sampai lupa memperkenalkan diri. Tapi, bapak itu nanyain kamu yang pulang lebih awal di resepsi pernikahan Raka dan Sheina.” Fifi menjelaskan panjang lebar.

“Orangnya sudah tua atau masih muda, Mbak? Jam berapa datang ke sini?” tanya Dyra lagi. Ingin lebih memastikan dugaannya.

“Masih muda, kok. Kayak seumuran kamu malah. Kalau nggak salah datangnya pas banget sama kamu yang baru keluar makan siang.”

Setelah mendengar ucapan Fifi, barulah Dyra mengerti bahwa Farraz memang mencarinya. Kalau dua hari lalu, berarti waktu Saga menjemputnya. Tapi, cowok itu kenapa baru datang sekarang?

“Makasih ya, Mbak Fi udah ngabarin aku. Kalau orang itu datang lagi, tolong Mbak kasih nomor ponselku aja.” Hanya ini yang bisa Dyra lakukan. Farraz ingin bertemu setelah tujuh tahun berarti ada alasan khusus di baliknya. Dyra jelas tidak ingin jatuh berlarut-larut.

Sesuai prinsipnya, masalah harus selesai tanpa perlu banyak drama.

“Kamu nggak apa-apa, Ra? Orang itu siapa emang? Kenalanmu?”

Duh, Mbak Fifi. Kenapa harus bertanya seperti itu?

Dyra mengerjap sebentar, kemudian kembali berbicara, “Mbak Fi tenang aja. Orang itu teman lamaku, kok.”

“Oh, palingan mau temu kangen. Semoga berhasil, deh! Apalagi orangnya ganteng banget!” Fifi malah girang sendiri. Setiap ada cowok ganteng dengan wajah yang tidak bosan dipandang berlama-lama, pasti di situ ada Fifi. Cewek berambut pendek dan berusia 25 tahun itu tak pernah ketinggalan informasi baru.

“Ra! Katanya udah di depan, tapi ternyata malah ngobrol sama Fifi?” Ups, Dyra lupa soal janjinya dengan Rio. Kemunculan cowok itu dari balik tangga ternyata cukup mengagetkan.

Dyra hanya nyengir kuda sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Biasa, Mas. Obrolan antar cewek.”

“Udah, sana ke atas Ra. Rio kalau udah ngamuk, singa kalah sama dia.” Fifi tertawa, disambut oleh Dyra.

“Mbak, soal tadi, tolong jadi rahasia antara kita berdua aja, ya.”

“Tenang aja. Untung masih pagi, masih sepi. Rahasiamu aman sama aku.”

Dyra bersyukur memiliki Fifi sebagai rekan kerjanya. Padahal Fifi tidak tahu masalahnya, tapi perlakuan Fifi membuat Dyra merasa tenang.

***

Waktu adalah uang

Waktu adalah sesuatu yang berharga dan tidak boleh disia-siakan

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top