5. Dalam Tumpukan Jerami
Sejak lima belas menit yang lalu, Dyra mendengarkan Rio—rekan kerjanya—yang bertugas presentasi. Ada job baru, ada pasangan yang hendak menikah dan menyewa jasa wedding organizer mereka.
Di depan sana, Rio pintar sekali menjelaskan bagian-bagian apa saja yang mempelai butuhkan. Mulai dari dekorasi, tata rias, hingga katering dan pengisi acara. Ah, satu lagi. Lokasi yang mempelai inginkan adalah di rumah pribadi, tapi suasana seperti pesta di gedung.
Kalau itu sih, ISY—singkatan dari It Suits You—tempat Dyra bekerja ini bisa melakukannya.
“Nama pasangan yang kali ini menyewa jasa kita Wina dan Wawan, kan?” tanya Gita setelah Rio selesai memberikan presentasi.
“Betul, Mbak. Mempelai prianya ini teman aku waktu SD. Kita bisa menjelaskan konsep ke mereka setelah Mbak Gita ngasih lampu hijau.” Rio menggeser tangannya pada laptop layar sentuh miliknya. Beberapa gambar dekorasi ditampilkan di layar. “Untuk dekorasinya sendiri, aku menyarankan yang ini. Kalau ada bunga-bunga di dinding gang masuk rumah mempelai nanti pasti tamu pada kaget, takjub gitu.”
“Bunganya sendiri, mempelai mau yang apa?” tanya Gita lagi.
“Bunga asli, Mbak. Fresh from the oven. Kalau jenisnya mereka nggak minta yang khusus gitu, tapi yang aku tangkep dari diskusi pertama kami, Wina dan Wawan sukanya yang colorful. ”
Rio ini termasuk satu-satunya cowok di ISY yang cepat kalau kerja. Tidak bertele-tele dan langsung fokus ke tujuan. Dyra melihatnya sendiri saat pertama kali ia kerja di ISY. Saat itu ia juga ditugaskan bersama Rio untuk memegang salah satu mempelai yang ribetnya minta ampun. Tapi, apa yang terjadi pada mereka saat Rio sudah turun tangan? Mereka langsung setuju karena Rio tahu apa yang mereka inginkan.
Sama seperti sekarang, Dyra juga ditugaskan bersama Rio. Bekerja di ISY memang memiliki sistem yang berbeda. Karena job selalu berdatangan hampir sebulan sekali, Gita—sang pemilik—menerapkan sistem kelompok yang anggotanya utamanya dua orang. Tapi, dengan catatan semua pihak tetap bekerja bersama.
“Ra, kamu udah konfirmasi ke kedua mempelai soal yang aku minta kemarin?” Mata Rio tertuju pada Dyra yang duduk di kursi paling depan. Ada sekitar enam orang yang ikut rapat kali ini. Mejanya pun hanya ada satu, berbentuk oval persis seperti konferensi meja bundar di Belanda.
“Udah, Mas.” Dyra berdiri dari tempat duduknya. Gilirannya menjelaskan. “Setelah rapat pertama dengan mempelai minggu lalu, pihak kita menyarankan menghias gang masuk. Jadi, supaya tamu-tamu yang datang bakal terpesona dan membuat pesta mereka memiliki nilai plus.”
Dyra memperhatikan respons rekan kerjanya yang ikut rapat kali ini, termasuk Gita. Bagaimanapun, meski job kali ini sudah diserahkan sepenuhnya padanya dan Rio, mereka tetap membutuhkan satu kata persetujuan dari Gita.
“Oke, respons mempelai gimana?” Gita menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Persis seperti bos besar yang menuntut penjelasan dari karyawannya. Ah, tapi wanita berusia kepala tiga itu memang bos di ISY.
“Hal pertama yang aku tangkep dari ekspresi mereka itu pancaran bahagia, Mbak. Terutama Mbak Wina. Memang dasarnya penyuka bunga, jadi waktu disaranin begitu, mereka langsung setuju.” Mengingat mata Wina yang berkaca-kaca, membuat Dyra ikut merasakan bahagia. Apa mereka berhasil lagi kali ini?
“Tapi jangan terlalu senang dulu. Masih awal. Untuk sekarang kita buat dekorasi seperti yang diinginkan mempelai. Kalau soal tata rias dan katering gimana?”
“Tata rias udah clear, Mbak,” celetuk Ratih yang duduk di samping Gita. Hari ini seperti biasa, wanita yang lebih tua dua tahun dari Dyra dan berprofesi sebagai MUA itu selalu memakai gamis. Sangat berbeda dengan Dyra yang lebih suka dengan kulot dan blus yang dimasukkan. Jadi terlihat rapi.
“Katering juga udah oke, Mbak. Makanannya cocok sama lidah mereka.” Fifi tidak mau kalah. Rekan kerja Dyra yang bertugas di bidang katering itu selalu tampil modis nan elegan. Apalagi setiap pagi, Ratih dan Fifi selalu bergantian mendandani satu sama lain. Alhasil mereka selalu dijuluki twins oleh rekan kerja yang lain.
“Oke kalau gitu. Mempelai minta pakai adat Jawa, kan?” Sudah menjadi kebiasaan bagi Gita untuk selalu memastikan semua hal berjalan lancar. Salah satunya dengan melontarkan banyak pertanyaan seperti sekarang.
Ratih kembali mengangguk, termasuk Dyra dan Rio.
“Put, dekorasi aman, kan?” Kini giliran Putra yang diberi pertanyaan oleh Gita. Kalau begini, mereka seperti ada di ruang interogasi dengan satu sampai dua polisi yang terus mendesak dengan berbagai macam pertanyaan.
“Aman, Mbak!” Putra mengacungkan kedua jempolnya.
“Oke, udah clear semua. Rapat kita sudahi sampai sini dulu, ya. Aku mau bantuin suami siap-siap dulu di atas.” Sebenarnya Gita sudah berdiri. Hendak pergi dan sampai pintu kaca malah, tapi berbalik lagi hanya untuk bertanya sesuatu yang ia tahu betul jawabannya. “Ngomong-ngomong kalian selalu bikin aku puas. Baru rapat pertama dengan klien, tapi sudah dapat kesepakatan yang nggak pakai drama. Siapa sih pelopornya?”
Semua kompak menjawab, “Tentu Mas Rio jawabannya, Mbak!”
***
“Habis gini kamu mau pulang, Ra?” Rio menghampiri Dyra yang sedang menyesap kopi di meja bar sambil membawa segelas penuh es teh.
“Iya, Mas. Dijemput Mas Saga.”
Mendadak Rio terbatuk. Es tehnya tumpah ke mana-mana. Buru-buru cowok yang lahir lebih dulu itu mengambil tisu dan membersihkan sisa tumpahan es teh di meja.
“Kamu punya pacar, Ra? Berarti aku telat, dong!”
“Duh, Mas. Kalau bercanda jangan kebangetan, nanti aku yang didatengin Mbak Nana kan repot.” Nana itu pacar Rio. Katanya sih sudah berjalan lima tahun. Rekor paling lama yang pernah Rio punya. Maklum, selama Dyra mengenalnya, Rio termasuk cowok playboy. Abaikan poin plus Rio soal ketepatannya saat bekerja. Di luar itu, Dyra sampai tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya.
Rio malah tertawa. “Tapi jujur aku kaget loh, Ra. Kok kamu nggak cerita kalau udah punya pacar?”
“Nggak boleh diumbar, Mas. Pamali.”
Rio hendak menanggapi omongan Dyra, tapi tidak jadi karena Gita dan suaminya mendadak datang. Jadilah cowok itu malah mengajak bicara suami Gita. “Mau berangkat kerja, Pak?”
Mahesa—suami Gita mengangguk. “Iya, nih. Hari ini saya shift siang. Jadi mau jemput anak dulu terus langsung kerja. Yuk, duluan ya, semuanya.”
“Hati-hati di jalan, Pak!”
Mahesa hanya menanggapi seruan Rio dengan mengangkat jempol. Sudah rutinitas harian bagi semua karyawan di ISY bahwa bos mereka selalu menebar hal romantis tanpa malu. Tentunya yang masih dalam batas wajar bagi beberapa pasang mata yang melihat, jomlo, dan muda-muda ini.
“Aku mau turun dulu, terus pergi sebentar. Aku titip kantor seperti biasa bisa kan, Yo? Bentar kok, mau ke Candi. Ke rumah saudara.”
“Siap, Mbak. Masih ada anak-anak lain, kok. Palingan Cuma Rain yang pulang,” kata Rio antusias. Ekspresinya sungguh meyakinkan hingga Gita sangat percaya padanya. Rain merupakan nama panggung Dyra sejak dua tahun lalu. Sejak Dyra bekerja di ISY lebih tepatnya.
“Oh, sekarang waktunya kamu pulang, Ra?”
Dyra menggeleng sambil nyengir kuda. “Nggak pulang, Mbak. Tapi mau makan siang.”
“Tadi katamu mau pulang, Ra?” protes Rio.
“Bercanda, Mas. Nggak mungkin aku pulang pas kerjaan belum selesai. Aku izin keluar juga ya, Mbak. Mau diajak makan siang.” Wajah Dyra tampak malu-malu. Lantas beranjak pergi duluan sebelum diinterogasi lebih lanjut. Apalagi Saga sudah ada di parkiran, cowok itu baru saja memberinya pesan singkat.
“Rain mau pergi sama siapa?” Gita membeo.
“Pacarnya, Mbak.”
Dalam langkahnya, Dyra masih sempat mendengarkan obrolan singkat nan random antara bosnya dan Rio. Biarlah mereka berspekulasi apa saja, yang penting tidak menggangu ketenangan.
Di parkiran, Saga menunggu di depan mobilnya sambil main ponsel. Cowok penggemar Taylor Swift itu melihat Dyra mendekat, lantas tersenyum semringah. Sama seperti kemarin, Saga rupanya langsung menjemput Dyra dari rumah sakit. Buktinya jas snelli miliknya masih tersampir di kursi mobil.
“Udah siap, Ra?” tanya Saga saat dilihatnya Dyra berjalan mendekat.
“Siap, dong!”
***
Pukul satu siang, jam mengajar Farraz sudah selesai. Ada total tiga kelas yang ia pegang hari ini. Semuanya berjalan dengan tepat waktu hingga Farraz tidak perlu bingung jika ingin pergi sebentar.
Sebelum menunggu di gerbang SMANA, Farraz sudah menelepon Diaz untuk menjemputnya. Meski mengomel sejak dihubungi, tapi Diaz tetap datang dengan sukarela.
“Lo hampir buat gue gila!” Baiklah, Diaz memang begitu. Sok takut-takut padahal jiwa bebasnya akan keluar jika ada di dekat Farraz.
Di dalam mobil—dengan Diaz yang menyetir—cowok itu tak henti-hentinya mengomel. “Lo berangkat dianter Mas Raka. Pergi gini nggak izin, Raz?”
“Enggak, lah. Lo mau jadiin gue umpan?” balas Farraz, skeptis.
“Kalau begini lo yang jadiin gue umpan, Farraz!” Diaz gemas sendiri rasanya.
“Bang Raka atau orangtua gue nggak bakal tahu asal lo tutup mulut. Jangan manja, deh!”
Beruntung jalanan sedang sepi karena sekarang bukan jam pulang kerja. Setelah keluar dari gang, Diaz mengarahkan setirnya ke kiri. Pertigaan di depan biasanya ada polisi yang sedang berjaga. Farraz—sebagai cowok yang belum punya SIM dan tidak bisa mengemudikan mobil—jelas ketar-ketir.
“Kali ini aja pokoknya gue ikutin akal bulus lo! Besok-besok nggak mau lagi.” Diaz masih fokus menyetir. Mereka terhalang lampu merah yang berhentinya cukup lama, tapi cepat sekali berubah warna dari hijau ke merah. “Kita mau ke mana sekarang?”
“Ke Gading Fajar. Di samping Hero ada kantor WO yang ngurusin pesta Bang Raka kemarin.”
“Apa urusan lo ke sana?”
“Gue mau cari Dyra.”
Biasanya, Diaz akan tetap mengomel jika apa yang Farraz lakukan tidak sesuai aturan keluarga. Tapi, seberapa lama Farraz menunggu, Diaz tak kunjung memberikan respons. Padahal Farraz sudah siap menyambut omelan yang masuk ke telinganya.
Akhirnya, Farraz memutuskan diam. Mereka tetap berbicara, tapi sebentar-sebentar. Obrolan pun hanya seputar letak bangunan yang Farraz sebut kantor WO.
Saat sampai, buru-buru Farraz keluar mobil, meninggalkan Diaz yang hendak protes. Kantor WO ini memiliki nama unik—It Suits You. Seperti julukan untuk pakaian saja.
Bel bergerincing ketika Farraz membuka pintu kaca kantor WO ini. Seketika ia disambut dua orang perempuan yang sepertinya bertugas sebagai resepsionis.
“Ada yang bisa kami bantu, Pak?” Salah seorang dari mereka—yang berambut pendek nan modis—bertanya.
“Saya mencari Dyra, seorang wedding singer yang bekerja di sini. Apa orangnya ada sekarang?” Baiklah, Farraz akui caranya bertanya salah. Ia abaikan tata krama dan aturan demi mendapat satu jawaban. Yaitu tempat Dyra berada.
“Maaf, Pak. Mbak Dyra sedang tidak ada di kantor, baru saja pergi.” Si rambut pendek menjawab sopan.
“Benar ada karyawan bernama Dyra, kan? Dia wedding singer yang kemarin menjadi pengisi acara di resepsi Raka dan Sheina. Sepertinya yang pulang lebih awal.”
Si rambut pendek tampak berpikir. Sementara temannya yang berhijab langsung menjawab, “Iya, Pak. Tapi, maaf. Mbak Dyra sedang keluar sekarang.”
Sial! Farraz seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
***
Mencari jarum di tumpukan jerami
Melakukan pekerjaan yang sangat sukar; sulit untuk ditemukan, hampir sia-sia saja untuk dilakukan
-Ros-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top