2. Karena Nila Setitik

Farraz mematung dalam keterpanaan. Dalam balutan gaun merah dan riasan sederhana, Dyra—sahabat yang ia tinggalkan tujuh tahun lalu—sama sekali tidak berubah.

Apakah ia bermimpi? Apakah sosok di depan sana itu nyata?

Farraz tidak pernah melupakan wajah yang memiliki sorot tegas itu. Suara merdu Dyra seolah menariknya kembali ke masa lalu. Memesona dengan caranya sendiri. Masa di mana sumber kebahagiaan melimpah ruah. Bahkan sampai membuatnya lupa kemalangan yang ia terima saat itu.

Sebulir air mata jatuh tanpa bisa dicegah. Buru-buru Farraz menghapusnya sebelum ada yang sadar bahwa ia menangis.

Keramaian mendadak berjalan melambat, orang-orang seperti terkena sihir supaya diam. Hanya dirinya dan objek di depan sana yang bebas bergerak. Kesempurnaan yang dimiliki cewek itu seolah tanpa celah. Apalagi dengan tatanan rambut yang dipotong pendek bergelombang, diikat setengah pula. Sungguh, bak bidadari yang turun dari langit.

Farraz hendak melangkah mendekat ketika suara teriakan Diaz menyerbu telinga. Niat ingin beranjak tadi urung karena cowok itu yang menghalangi pandangannya.

“Farraz!” Diaz seketika maju, berdiri tepat di depan Farraz. Deru napas sepupunya itu naik turun dengan cepat, seperti habis ikut lomba lari maraton. “Ayo ikut gue. Tadi gue ke sana sendiri tapi disuruh pergi. Buruan!”

Farraz memiringkan wajah, bingung dengan ucapan Diaz yang tidak jelas. Sementara pundak kirinya sudah dirangkul Diaz, ia malah bertanya, “Mau ke mana?”

“Nggak usah banyak tanya, deh! Gue mau ambil soto. Lo suka banget sama soto, kan? Ayo, nanti keburu habis!” Sambil berusaha menarik tubuh Farraz yang sama besar dengannya, Diaz bersikukuh.

“Tapi nggak pakai tarik-tarikan bisa, kan? Kenapa lo nggak ambil sendiri?” Farraz berusaha melepas cengkeraman Diaz, tapi gagal.

Memang dasarnya mereka tidak terlalu jauh berbeda. Tenaga Farraz dan Diaz sama. Namun, Farraz tidak melihat sorot menyerah dari manik coklat gelap milik Diaz. Yang ia lihat sebaliknya. Buktinya, Diaz justru bisa menahannya dengan sekuat tenaga saat ia hendak pergi, tanpa kesulitan sekali pun.

“Malas. Gue sebel sama mbak-mbak penjaga stan soto. Masak lihat gue kayak lihat hantu. Mana sinis lagi.” Diaz masih berusaha menarik Farraz menjauh.

Farraz mengaduh, tarikan sekelas guru SD rupanya kuat juga. “Biasanya lo nggak peduli soal begitu, Yaz. Kenapa sekarang kayak orang habis kena rundung?”

“Ish! Nggak ada waktu buat menjelaskan panjang lebar. Gue laper banget, jadi ayo ikut. Kalau lo yang notabene keluarga penyelenggara acara, pasti nggak akan ada yang berani nantang.”

“Tapi, gue mau ke sana.” Farraz juga bersikukuh. Sedikit lagi ia akan tahu jawaban dari semua pertanyaannya. Suara Dyra masih mengalun merdu, membangunkan sisi lain Farraz yang tidak bisa ia hilangkan sejak dulu.

Farraz sebenarnya ragu untuk mendekat. Memangnya ketika sudah sampai sana, apa yang mau ia ucapkan? Apa kalimat seperti: “hai, Dyra. Kamu masih ingat aku?” atau “hai, Dyra. Kamu banyak berubah.”

Farraz menggeleng cepat. Ah, konyol sekali. Tapi, kalau ia menyerah sekarang, tidak ada jaminan ia bisa bertemu Dyra besok.

“Ayo, Farraz!” Kali ini Diaz mengerahkan lebih banyak tenaga sampai-sampai Farraz bergeser dari posisinya semula. “Ayo! Nanti keburu habis.”

“Sebentar-sebentar.” Farraz menahan Diaz sekali lagi. Ia menoleh  ke arah panggung hanya untuk memastikan bahwa ia tidak bermimpi, bahwa seseorang yang bernyanyi di atas sana memang Dyra. Tapi, cewek itu sudah tidak ada di tempatnya. Yang ada malah Tante Hilda, adik kandung bunda.

Farraz celingukan. “Lo lihat penyanyi barusan, Yaz? Ke mana sekarang?” tanyanya sambil memasang ekspresi bingung.

“Dari tadi yang nyanyi memang mama gue, kok. Siapa yang sebenarnya lo cari?” Diaz malah balik tanya.

“Nggak mungkin. Lo bohong, ya?” Farraz makin tidak percaya.

“Gila, ya! Kenapa malah nuduh?”

“Kalau nggak bohong, kenapa lo telepon sambil teriak tadi? Tiga puluh satu panggilan loh, Yaz.”

Farraz terus memperhatikan gerak-gerik Diaz. Cowok itu seperti tertangkap basah. Farraz ingin membantah lagi, tapi urung saat dilihatnya Diaz sama sekali tidak mengubah raut wajahnya. Tetap dengan sorot pantang menyerah yang tidak mau kalah.

Akhirnya Farraz luluh juga. Ia memilih mengalah pada cowok itu kali ini. Bukan apa-apa, membuat keributan dengan menemui Dyra—meski Farraz sendiri masih ragu apakah benar dia—di resepsi pernikahan Raka juga bukan hal baik.

“Please, ikut gue sekarang,” kata Diaz masih pantang menyerah.
Farraz mendadak meninju bahu Diaz sambil tertawa. “Jangan nangis. Nggak cocok.”

“Ish, geli! Gila!”

***

Dyra akui ruang pesta ini memang megah. Bunga melati dipasang hampir memenuhi setiap sudut ruangan. Harum wanginya membuat tenang. Apalagi Dyra termasuk cewek penyuka bunga yang dijuluki Puspa Bangsa itu. Kesan yang diberikan pun sederhana nan mewah. Warna putih dan krem yang mendominasi juga berperan sempurna. Memang Mas Raka tidak pernah berubah dari dulu.

Suka sekali dengan warna-warna pastel yang membuat tenang. Panggung kecil khusus wedding singer pun disulap tak kalah cantik. Letaknya di sudut kiri ruangan dengan bunga melati yang lagi-lagi disusun seperti gapura.

Setelah Gita—si wedding singer kedua—selesai menyanyikan tiga lagu, sampai juga gilirannya. Dyra melewati para tamu undangan. Untungnya hak sepatu yang ia gunakan sekarang tidak terlalu tinggi. Jadi mudah baginya untuk bergerak cepat.

“Empat lagu tambahan, terus lo bisa pulang. Semangat!” Gita memberinya semangat sebelum pergi meninggalkannya. Hanya empat lagu tidak masalah. Yang penting honor selalu masuk ke rekeningnya tanpa hambatan.

Di atas panggung, Dyra bersiap sebentar. Riasan, oke. Gaun, oke. Sepatu, tidak ada masalah. Setelah memastikan semuanya siap, Dyra mulai bernyanyi.

Dyra adalah wedding singer yang ketiga. Artinya, ia yang terakhir mengisi acara sebelum pesta ini berakhir pukul sebelas malam. Masih ada waktu sekitar satu jam lebih tiga puluh menit lagi. Dyra harus memberikan persembahan yang memukau.

Seperti biasanya.

Namun, setelah selesai menyanyikan satu lagu, mendadak ibu-ibu berpenampilan mewah naik ke panggung. Dilihat dari warna dan jenis pakaiannya sih seperti keluarga Raka. Karena hanya keluarga dan kerabat yang memakai kebaya warna sage dengan riasan sederhana sekaligus memakai sanggul bagi wanita. Sementara para pria memakai beskap hitam lengkap dengan aksesorinya.

“Mbak, saya mau nyumbang satu lagu buat ponakan saya, itu bintang utama acara ini.” Ibu itu berbicara ramah.

Monggo, Bu,” balas Dyra tak kalah ramah. Beruntung satu lagu sudah selesai ia nyanyikan. Mikrofon yang ia pegang sudah berpindah tangan. Dyra melipir sebentar demi memberi ruang untuk ibu itu agar lebih leluasa.

Saat sampai di meja prasmanan dekat panggung, Dyra mengambil segelas sirop jeruk. Rasanya segar ketika rasa jeruk manis mengalir ke kerongkongannya. “Segar banget. Selera Mas Raka masih aja keren meskipun udah nikah.”

My pleasure. Dipuji penyanyi terkenal kayak kamu ternyata menyenangkan.” Dyra tersentak, Raka dan istrinya sudah berdiri di depannya. Tampak anggun dan keren dalam balutan pakaian adat Jawa.

“Mas Raka? Duh, pangling. Selamat ya, Mas Raka dan Mbak Sheina.” Dyra menyalami kedua mempelai ini sambil memeluk mereka bergantian.

“Kamu kok nggak kaget, Ra? Kan kita udah lama banget nggak ketemu. Kirain udah lupa sama wajahku.” Raka berkelakar. Bahunya dipukul pelan oleh sang istri.

“Gini-gini aku cari informasi dulu soal klien, Mas. Pernah ada pengalaman buruk soalnya, jadi ya harus teliti.”

Raka manggut-manggut mengerti. Kemudian ekspresi wajahnya berubah. “Ra, kayaknya enak ngobrol di sana, deh!”

“Boleh, Mas.” Dyra mengikuti langkah Raka dan Sheina menuju sudut ruangan yang tidak terjamah. Sepi, cahaya tidak seterang tempat pesta, dan suasananya suram.

Dyra mengernyit heran, lalu memutuskan bertanya, “Kalian nggak salah tempat? Kupikir tadi kita mau ke pelaminan. Minimal foto-foto buat kenangan. Ini lagi, kenapa Mbak Sheina malah pergi?”

Dyra sempat panik karena hanya tersisa mereka berdua di tempat sepi. Meskipun sangat dekat dengan lokasi acara, tinggal berjalan sepuluh langkah malah. Tapi, yang namanya pria sudah menikah, rasanya tidak pantas ditinggal berdua saja dengan wanita yang tidak ada hubungan apa-apa sepertinya.

“Ra, tolong dengerin Mas.” Raka menatap Dyra lekat sambil memegang kedua bahu Dyra. Dyra balik melihatnya lekat. Dalam sorot mata itu, tidak terpancar aura bahagia. “Mas minta maaf karena nggak kroscek dari awal. Akhirnya malah begini dan kami nggak mau kamu salah paham lagi.”

“Apa maksudnya? Mas nggak minta aku buat pergi lagi kayak dulu, kan?” Dyra sebenarnya asal menebak. Ia pikir mereka sudah sangat dewasa dan tidak cocok lagi untuk main petak umpet, saling menyembunyikan rahasia. Demi apa pun mereka hampir tiga puluh tahun. Tapi, saat dilihatnya sorot mata Raka sama persis seperti tujuh tahun lalu, Dyra tidak bisa berkata-kata lagi sekarang.

“Maaf,” kata Raka lirih. Menunduk sambil menunjukkan kesedihan pun kini tidak mempan lagi bagi Dyra. Ia tidak akan bersikap konyol seperti dulu lagi.

“Nggak masalah.” Dyra menyemburkan napas keras. Ia tidak tahu alasannya. Jelas tidak mau tahu. “Tapi, aturan dalam pekerjaan masih berlaku. Aku harus bersikap profesional dengan klien. Ada masalah begini, aku minta tolong sama Mas supaya menjelaskannya ke Mbak Gita. Bagaimanapun, Mbak Gita adalah bosku dan dia yang nerima tawaran Mas hari ini.”

“Pasti.” Raka berujar mantap. “Terima kasih,” sambungnya lagi.

Dyra tidak mau terlibat lebih jauh. Alasan konyol yang kemungkinan dilontarkan Raka kepada Gita, tidak bisa dipercaya lagi. Sikap mereka jelas tidak masuk akal. Membatalkan kerja sama tanpa pemberitahuan termasuk salah satu perbuatan yang membuat Dyra kesal. Apalagi kerja sama itu batal tepat di hari acara. Sangat tidak bisa ditoleransi.

Namun, Dyra sedikit banyak bisa menebak alasan konyol itu. Sama seperti tujuh tahun lalu saat ia menerobos hujan supaya bisa bertemu Farraz di gazebo rumah cowok itu, Raka juga menyuruhnya pergi tanpa mendapatkan hasil.

“Ra, jangan lewat situ!” teriak Raka tiba-tiba. Mungkin niatnya supaya Dyra tidak melihat seseorang, tapi jelas Raka kalah cepat.

Bagaimanapun juga, mata mereka bertemu. Setetes air mata Dyra jatuh seketika.

***

Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

karena persoalan kecil, seluruh keadaan menjadi berantakan.

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top