| VI | SMLA
"JUDIS, NAKA TELEPON! PUJI TUHAN!"
"Bagus, dong."
"Gue harus gimana, Beb?"
"Angkat aja lagi."
"Tapi, gue harus jawab apa?"
"Tinggal jawab."
"Ya, jawab apa?"
"Ya, apa aja."
"Bisa enggak, sih, lo tuh serius dikit! Jadi orang santai bener! Ini demi Tuhan Yesus, dia Nakala Ghassan. Kembaran lo yang sayangnya lo kebanting abis pesonanya sama dia. Naka, lho, Dis. Gue nunggu ini sejak dia sidang, dia baru telepon gue sekarang. Berarti dia save nomor gue, kan? Iya, dong?"
Aku mengembuskan napas lelah. Males banget sebetulnya mau memulai konfrontasi ini. Kalau aku ladenin dan jawab jujur, nih, anak pasti sakit hati. Tapi, kalau dibiarin gitu aja, ngehalunya bisa sampai level jiwa nasionalis.
Susah, ya, jadi satu-satunya orang yang waras di antara segerombolan kaum bucin.
"Dis. Dia nelepon lagi."
"Ya, jangan mewek astagfirullah. Istighfar kek lo, Ra! Ditelepon crush malah mau nangis. Anak SD lo?"
"Gue seneng bego."
"Jijik tahu enggak."
"Bodo."
"Yaudah, bodo."
"Ya, ini angkat apa, enggak?"
"Jangan sampe gue banting tuh hape, ya."
"Masih baru ini, enak aja lo main banting! Dapetinnya juga gue kudu bisa menghidangkan sepiring nasi goreng kambing kesukaan Ayah. Karena dia enggak pernah suka gue gonta-ganti hape meski uang sendiri. Usahanya enggak main-main ini, Dis. Demi sebongkah hape doang. Okay, lupain. Gue harus angkat telepon kakanda dulu. Bye bye, Jomblo ngenes." Ya Allah, itu temanku. Sahabatku. Mau dinajisin, kasihan. "Halo."
"Idih."
Matanya mendelik untukku, lalu memasang senyum sok-sok bidadari. "Oh, ini Naka. Gue kira nomor baru siapa."
Buset, buset, buset! Pandai sekali anak tuyul kalau soal beginian. Judis mah enggak ada apa-apanya.
"Oh, gitu." Mukanya langsung berubah. Kelihatan bete. Aku berdiri dari kursi di meja rias, menghampirinya yang sedang duduk di tepi ranjang. "Nih," katanya, jutek mampus. "Dia nelepon cuma buat nyariin elo."
Aku terbahak, dia langsung menghempaskan tubuh ke atas kasur. Yang kuat, ya, Ra. "Apaan, Ka?"
"Udah mau magrib, kenapa belum pulang? Langsung ke flat memangnya?"
"Please, Allah. Kita tuh udah melewati momen kayak gitu belasan tahun lalu, ya, Ka. Gue bukan anak kecil yang harus diingetin pulang kalau magrib. Demi apa, ih!"
"Kalau udah cekikikan, jangan lupa salat."
"Iya, astagfirullah. Gue tahu kali. Gue juga punya telinga kalau denger azan. Punya alarm waktu salat di hape. Tiara nyiapin mukena dan sajadah dari dulu kalau-kalau lo lupa. Mbak Asih juga salat. Tiara juga enggak punya hewan peliharaan, makanya ngenes idupnya."
"Okay."
Okay? Cuma okay?!
"Basi lo."
"Makasih," jawabnya. Aku tahu dia pasti senyum pas ngomong gitu. Asli, ngeselin abis. "Yaudah, kasihin hape-nya ke Tiara."
"Mau ngapain?"
"Lily ... apa semua hal harus lo tahu?"
"Dia sahabat gue. Lo nyakitin dia, urusan lo enggak akan kelar sampe maut memisahkan. Ngerti?"
Malah ketawa. "Kenapa jadi premannya enggak sejak dulu? Biar gue enggak usah susah-susah nonjokin cowok-cowok yang nyakitin lo."
"Naka!"
"Kasihin hape-nya ke Tiara. Buruan."
"Mau ngapain dulu?!"
"Bilang makasih, Lily. Ada masalah?"
Yaelah. Kukira dia baru sadar kalau Tiara selalu menyebut namanya dalam doa.
"Ra. Nih, Naka mau ngomong."
"Gue tahu gue semenyedihkan itu. Tapi, makasih banyak hinaannya."
"Beneran, weh. Mau ngomong, enggak?"
"Boong, kan, lo."
"Demi Allah. Buruan. Kesempatan enggak pernah datang berkali-kali. Gih."
Tubuhnya bangkit, mengambil hape dari tanganku dengan wajah terlihat bertanya-tanya. Kalau aja semuanya mudah, Ra, gue bantuin lo sampai titik darah penghabisan. Tapi, ini mah ribet, mendingan ngalah aja, deh.
"Halo."
"..."
"Oh ... iya. Sama-sama." Bibirnya mencebik, menatapku sendu.
Ah, kasihan banget! Kenapa, sih, Tuhan kami harus beda-beda! Mana ada Tuhan satu kita yang tak sama. Kalau memang Tuhannya satu, ya, seharusnya enggak masalah gabung. Toh ibaratnya, tujuan kita ke Singapura, tapi ada yang pilih lewat jalan udara atau laut Batam. Tapi, nyatanya enggak semudah itu, kan? Ya, karena memang semuanya berbeda.
"Susah-susah bangunin badan, dia cuma bilang makasih."
Aku enggak bisa nahan tawa.
"Ketawa aja, Beb. Tawa aja. Gimana, sih, biar idup bisa sesantai lo gitu?"
"Karena sesungguhnya Tuhan bersama orang-orang yang santai, Ra."
"Gubrak. Salat gih, apus dosa lo. Mintain ampunan sekalian buat makhluk Tuhan bernamakan Nakala Ghassan itu, ya. Dia udah nyakitin gue secara enggak langsung. Biarin, dihitung dosa, kan, itu."
"Awas lo kalau mainan hape pas gue salat dan enggak sengaja keputer video lucu."
"Itu mah lo aja yang enggak niat."
"Mending selama gue salat, lo siapin pakaian buat gue. Gue mau berangkat dari sini saja, ah. Naik taksi nanti."
"Sendiko dawuh, Kanjeng Putri."
***
"Mbak, hape-nya ketinggalan."
"Oh, astaga!" Aku masuk lagi ke dalam taksi, meraih benda penting setelah nyawaku itu. "Makasih sekali lagi, Pak."
Okay, Fellas. Aku mau tunjukin ke kamu-kamu semuanya, apa yang sekarang lagi aku lakuin dan kemungkinan-kemungkinan beberapa waktu ke depan. Pertama, pakaian, aku enggak jadi pake dress karena memang males ribet. Sebagai gantinya, aku mengenakan atasan off shoulders berwarna putih dan kupadukan dengan pants polos berwarna oranye-kecokelatan. Tiara selalu punya semua model pakaian yang diinginkan cewek.
Itu hebat.
Kedua, Sangka memilih salah satu restoran ... apa ini aku belum pernah ke sini, intinya yang ada di Kemang. Aku langsung masuk, mengatakan atas nama Arsanggah Narasangka dan aku dibimbing, berjalan menuju ... tunggu dulu, aku enggak salah tempat, kan? Kenapa yang dipilih adalah area yang diperbolehkan merokok? Oh, Sangka merokok. That's okay. Aku enggak masalah.
"Mas ... atas nama Arsanggah Narasangka, kan?"
"Iya, Mbak. Di sebelah sana. Mari."
"Oh, di sini aja, Mas. Saya bisa ke sana sendiri."
"Okay, Kak. Kalau gitu saya permisi."
Aku mengangguk.
Oh, my goodness, my lord, siapa sebenarnya lelaki yang sedang kuhadapi ini? Judis, listen, you are worthy. Jangan pernah merasa insecure, sedikit pun. Jangan takut, seujung kuku pun. Papi mengenalnya, jadi pastilah dia orang yang baik.
Orang baik mana yang ngajak calon-gebetan-apa-pun-itu makan malam, tapi ternyata ada teman-temannya?
Itu benar. Aku melihat ada tiga orang yang sedang ngobrol, haha-hihi di meja yang tadi ditunjuk oleh mas-masnya. Sangka pasti yang sekarang sedang membelakangiku.
Maju. Majulah, Judis. Ayoooo!
"Hai."
"Hai, Dis. Baru sampe?"
Aku menjawabnya dengan senyuman.
Yang perempuan menekan putung rokoknya ke dalam asbak, lalu mengulurkan tangan ke arahku sambil tersenyum lebar. "Andrea."
"Judis."
"Gue Bobby."
"Judis."
"Duduk di sini, Dis," Sangka menggeser kursinya dan menarik kursi lain untukku. "Ada masalah sama asap rokok?"
Aku menggeleng.
"Okay. Ini temen-temen kantorku. Bobby ini yang ngebantuin e-design! dari nol. Kita waktu itu pernah kerja di perusahaan yang sama sebelum akhirnya resign dan bikin sendiri. Kalau Andrea ... dia karyawan pertama kami, umurnya memang di bawah kami, tapi skill-nya enggak usah diraguin. Dia bisa nge-handle banyak hal."
"Woah. Keren."
"Dan, ini Judistia. Anak temennya Papa. Kita dikenalin, dan sekarang gue kenalin dia ke kalian."
"Nice outfit, by the way." Si Andrea yang ngomong. Dia ... memiliki wajah bitchy gitu. Aku merasa kalau dia terlihat dipaksakan menyukaiku. Atau, sebaliknya, aku yang enggak menyukainya?
"Thanks."
"Gue suka cewek berkumis." Kali ini gantian si Bobby. "Kelihatan seksi."
"Oh ya?" Tips untuk tetap hidup adalah mampu beradaptasi. Petuah klise tapi penting. "Gimana sama mitos soal cewek berbulu artinya punya nafsu yang gede?"
"Hahaha. Good question!" serunya. "Fortunately, gue suka cewek yang proaktif. Enggak masalah."
"Gue suka rambut Mas Bobby, cowok rambut dicepol gitu kelihatan seksi."
"Oh ya? Andrea selalu bilang jijik malahan." Dia ketawa. "Salam kenal, Dis. Hidup jangan serius-serius."
"Tentu."
Sangka memanggilku pelan, kemudian bertanya ketika aku menoleh padanya, "Mau pesen apa?"
"Samain kayak punyamu."
Matanya memicing. Kepalanya agak dicondongkan sebelum dia berbisik, "Kamu enggak masalah, kan, aku ajak temen-temenku?"
"Kenapa tanyanya baru sekarang?"
"Kupikir kamu akan seterbuka itu."
"You don't need to ask me then."
Dia diam.
Artinya aku mematahkannya. Good. Kemudian Sangka memanggil pelayan, memesan entah apa aku enggak peduli, karena berikutnya Bobby menyebut namaku.
"Truth or dare?" tanyanya.
"Seriously?" Aku enggak bisa menahan tawa geli. "Masih jaman mainan kayak gitu, Mas Bobby?"
"Ngisi kegabutan aja. Kita selalu mainin ini setiap ngumpul dan enggak pernah ngerasa rugi, kok. Andrea sering dapet mangsa setelah milih dare."
Okay.
Ini seharusnya enggak sulit buatmu, Dis. Enggak terlalu. Meski kamu hanya mau melakukan ciuman dengan lelaki yang berstatus pacar, bukan berarti kamu berhak menilai Andrea buruk. Lantas, kata apa yang harus aku berikan untuk mereka semua ini?
"Harus gue duluan?"
"Karena lo baru gabung. Oh, atau gini, gue kasih contoh." Andrea menengahi. "Gue pilih truth. Lagi males ngapa-ngapain."
"Okay. Lebih suka cowok gendut atau kurus?"
"Sebenernya dua-duanya sama aja. Bohong banget itu yang bilang cowok gendut barangnya kecil. Ada yang enggak, kok, dan jago banget. Tapi, kalau disuruh milih, gue pilih cowok kurus."
Aku menganga.
Gila, ya. Kupikir selama ini obrolanku dan Tiara seputar seks sudah yang paling kotor, nyatanya kami bukan apa-apa.
"Judis siap?"
"Oh! Hahaha. Siap."
"Siapa yang mau kasih pertanyaan? Sangka, mau kasih pertanyaan?"
Sangkakala ketawa, menggelengkan kepala sambil punggungnya bersandar di kursi. Ternyata sudah menyalakan sebatang rokok baru.
"Okay, Andrea mau kasih pertanyaan?"
"Boleh," jawabnya antusias banget. "Kapan terakhir," Andrea menjeda omongannya karena makanan datang. Kemudian kembali melanjutkan, "terakhir kali lo ML?"
"Sorry?"
Apakah di wajahku tertera tulisan 'aku suka ML! Nikmat! Dan bersahaja!' begitu? Bagaimana mungkin dia bertanya hal ini pada orang asing. Ya Tuhan ... aku rasa aku salah masuk lingkaran. Kenapa, sih, orang yang hadir malah semacam ini?
"Dis, sorry, lo ...."
Aku mengangkat sedikit dagu. "Ya. Gue masih virgin. Apakah itu aneh?" Enggak ada satu pun jawaban yang kudapat. Mereka diam. Andrea membuka mulut, tetapi menutupnya kembali. Ia menatap Sangka dan Bobby bergantian. "Apa gue langsung enggak jadi keren hanya karena gue belum melakukan hal itu?" Aku menatap Bobby terang-terangan, dia tak berkutik. Kenapa semuanya diam? Okay, mari kita lanjutkan. "Apakah gue langsung dinilai kampungan, norak dan kolot karena memegang prinsip seks setelah menikah?"
"Judistia ...."
Ah, ini dia. "Kenapa? Kamu juga kaget? Aku kelihatan ngebet nikah dan itu artinya aku sudah tergila-gila dengan seks?" Matanya sempat membeliak, aku merasa puas. "Aku mau itu! Tapi, aku belum ngelakuin itu."
"You are such a dumbass, Sangka! Are you serious?" Andrea melotot, ngapain dia marah.
Kalian semua memang dumbass!
"Gue enggak tahu ini." Sangka menatapku tajam. "Kita harus ngobrol berdua."
***
"Kamu suka minum?"
Akhirnya!
Kukira kami akan diam berjam-jam di dalam mobil sampai tiba di rumah.
"Nope."
"Temenmu ada yang minum?"
"Kalau memang lagi ada acara. Selebihnya, Tiara enggak minum."
"Merokok?"
"Keluargaku enggak ada yang merokok."
"Ya Tuhan, Judistia." Dia menolehkan kepala, menatapku dengan penuh ... amarah? Kenapa dia yang kesal?! "Kenapa kamu enggak bilang dari awal?"
"Memangnya kamu tanya?"
"Tapi, kamu tawari aku kebutuhan seolah kamu sudah paham betul definisi kebutuhan untuk kaumku."
Aku menelan ludah.
Salah langkah lagi, Judis! Kupikir, dia paham kalau kebutuhan yang kumaksud adalah ... aku ingin ditemani belanja, dia ada. Aku badmood, dia ada. Dan, siapa tahu dia butuh teman kondangan, aku akan ada di sana. Dia butuh teman untuk mendengarkan pekerjaannya, aku pun bisa.
Aku enggak tahu kalau semuanya tentang seks.
"Setelah ini pulang, aku akan minta maaf dengan Om Arjuna, kita enggak bisa—"
"Hanya karena aku masih perawan?"
"Judistia. Listen, lingkunganku dan kamu itu beda. Enggak mudah buat kamu adaptasi tanpa ngikutin kegiatan kami. Dan aku enggak mau itu. Jangan. Bahkan untuk saling kenal, aku enggak mau kamu salah langkah. Sampe sini paham?"
"Aku enggak paham. Kamu main seenaknya batalin cuma karena tahu fakta aku enggak minum dan belum pernah seks. It's not fair, at all."
"Lelaki gila mana yang enggak seneng dapetin perawan?!" teriaknya, lumayan bikin kaget. "Biar aku yang ngomong sama Om, kalau kita—"
"Enggak perlu. Itu bakalan jatuhin harga diriku." Enak aja. Kalau dia yang busuk, ya, busuk aja sendirian. Enggak usah bilang ke Papi soal batalnya pengenalan ini karena itu hanya akan membuat Papi merasa kasihan padaku. "Biar aku yang bilang ke Papi kalau aku enggak tertarik sama kamu. But wait, let me ask you one thing."
"Silakan."
"Apa kamu tertarik sama aku secara fisik?"
"Ya. Cuma cowok buta yang bilang kamu enggak menarik"
"Okay. Tolong anterin aku pulang, aku capek banget hari ini."
"Judis—"
"Aku capek. Males ngobrol."
Aku sama Tiara sebenernya terkena kutukan apa, sih, sampai sebegini rumitnya soal asmara?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top